Kompas: 12 September 2017 (APO/INA)
JAKARTA, KOMPAS PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tengah menjajaki rencana pembangunan infrastruktur gas alam cair di Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dengan perusahaan asal Singapura. Sementara rencana impor gas alam cair perlu matang dipertimbangkan.
Direktur PLN Amir Rosidin membenarkan pihaknya sudah menandatangani pokok-pokok perjanjian dengan Pavilion Gas Pte Ltd dan Keppel Offshore & Marine Limited di Singapura beberapa waktu lalu. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah studi bersama untuk kesiapan pembangunan infrastruktur gas alam cair (LNG) di wilayah Natuna dan Tanjung Pinang.
Masih sebatas studi bersama yang berlaku sampai enam bulan ke depan. Pilihannya, apakah membangun terminal LNG atau terminal regasifikasi terapung belum diputuskan, kata Amir, Senin (11/9), di Jakarta.
Amir menambahkan, dalam perjanjian itu sama sekali tidak disinggung rencana jual beli LNG dengan perusahaan asal Singapura tersebut. Namun, menurut Amir, tidak tertutup kemungkinan untuk itu. Apabila harga LNG yang ditawarkan perusahaan itu lebih murah daripada harga LNG dalam negeri, PLN siap membeli.
Jadi, perjanjian tersebut bukan jual beli LNG. Hanya studi persiapan infrastruktur mini LNG untuk mendapat solusi yang paling efisien. Apabila dari hasil studi diperoleh biaya yang lebih tinggi, studi berakhir tanpa tindak lanjut, ucap Amir.
Dalam laman Pavilion, perusahaan tersebut bergerak di bidang infrastruktur LNG, distribusi, dan jual beli gas. Adapun Keppel lebih banyak bergerak di bidang jasa desain, konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas kilang LNG di lepas pantai.
Dalam keterangan resmi Pavilion Energy, kerja sama ini terkait dengan pengadaan dan distribusi LNG ke wilayah Indonesia bagian barat, terutama daerah pedalaman dan pulau-pulau terpencil. LNG akan diangkut ke terminal LNG terapung ataupun terminal LNG di darat menggunakan kapal kecil. Pasokan LNG tersebut cocok untuk pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan kapasitas 25 megawatt sampai 100 megawatt.
Pasokan melimpah
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengaku heran dengan kerja sama tersebut. Menurut dia, pasokan LNG di dalam negeri terbilang melimpah sehingga PLN tak perlu impor. Apalagi, impor LNG dari Singapura yang tidak punya sumber daya gas.
Padahal, gas dari Tangguh masih belum ada kepastian pembelinya. Jika dengan alasan lebih murah impor, sumber daya LNG, kan, milik negara. Seharusnya bukan sebuah masalah bagi negara untuk menurunkan harga, ucap Achmad.
Selain itu, lanjut Achmad, apabila persoalannya adalah infrastruktur, ada terminal regasifikasi Arun di Aceh yang bisa dimanfaatkan. Cara itu lebih efisien ketimbang membangun infrastruktur baru di Natuna dan Tanjung Pinang.
Pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, impor LNG memang tak menyalahi aturan. Pasalnya, pilihan impor tersebut juga berlandaskan aturan. Namun, alasan harga LNG impor lebih murah ketimbang harga LNG di dalam negeri sebaiknya dipertimbangkan masak-masak.
Singapura, kan, tidak memiliki sumber daya gas. Jangan sampai gas tersebut berasal dari Indonesia yang dijual lagi ke kita. Ini akan terasa aneh di akal, kata Pri Agung.
Mengenai harga LNG, imbuh Pri Agung, pemerintah sebenarnya bisa menurunkan harganya dengan cara mengurangi bagian penerimaan negara di hulu. Pemerintah juga bisa menurunkan ongkos pengangkutan gas melalui pipa.
PLN membangun infrastruktur LNG untuk pembangkit listrik di Natuna dan Tanjung Pinang dengan pertimbangan untuk memperkuat pasokan listrik di kedua wilayah tersebut.
Saat ini, pasokan listrik di Natuna menggunakan tenaga diesel, sedangkan listrik di Tanjung Pinang dipasok dari Batam lewat kabel bawah laut. Apalagi, Natuna termasuk wilayah yang akan dikembangkan pada masa mendatang.
Diperkirakan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik di Natuna dan Tanjung Pinang adalah 40 juta british thermal unit per hari. Sejauh ini, porsi tenaga gas dalam bauran energi pembangkit PLN mencapai 25 persen atau setara 1.100 miliar british thermal unit per hari.