Media Indonesia: Minggu ,5 November 2017 06:44 WIB
TREN pergerakan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat hingga di atas US$50 per barel harus diwaspadai pemerintah. Hal tersebut bisa berpotensi menekan anggaran subsidi energi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Perlu diingat bahwa indikator ekonomi makro dari sisi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN Perubahan 2017 dan APBN 2018 dipatok sebesar US$48 per barel. Dengan begitu, anggaran subsidi energi di APBN rentan untuk terlampaui, ungkap pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.
Berdasarkan situs www.bloomberg.com, harga minyak dunia dari sejumlah patokan terus terpantau naik. Patokan AS, minyak mentah light sweet atau WTI crude oil (Nymex) mencapai US$55,64 per barel. Kemudian patokan global, yaitu minyak mentah Brent North Sea (ICE), tercatat US$62,07 per barel.
Sementara itu, alokasi subsidi energi pada APBN-P 2017 ditetapkan sebesar Rp89,9 triliun dengan rincian subsidi BBM dan elpiji 3 kg Rp44,48 triliun serta subsidi listrik Rp45,37 triliun. Alokasi subsidi energi dalam APBN 2018 sebesar Rp94,5 triliun. Rinciannya yakni untuk subsidi BBM dan elpiji Rp46,9 triliun, serta subsidi listrik mencapai Rp47,7 triliun.
Pri melanjutkan agar subsidi energi tidak terlampaui, pemerintah mesti kembali menyesuaikan harga BBM di tengah fluktuasi harga minyak dunia. Hal itu disebabkan harga minyak dunia merupakan salah satu indikator penentu harga BBM, selain nilai tukar rupiah dan inflasi.
Jika harga BBM tidak berubah, beban PT Pertamina (persero) sebagai BUMN yang mendapat penugasan akan kian bertambah. Pertamina jelas semakin terbebani dengan tidak adanya (penyesuaian) harga BBM. Kalaupun bicara efisiensi, itu normatif karena selama ini sudah dilakukan Pertamina, tutur Pri.
Karena itu, lanjut dia, kebijakan penyesuaian harga BBM secara berkala per tiga bulan perlu dilakukan kembali. Terlebih, harga BBM yang telah ditetapkan pemerintah saat ini selisihnya semakin lebar dengan harga keekonomian. Jika ini (penyesuaian) dilakukan, bisa berdampak positif pada APBN sekaligus kinerja Pertamina, tutup Pri.
Defisit
Senada dengan dia, ekonom dari Indef Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah bahwa belanja untuk subsidi energi sampai akhir 2017 berpotensi tidak cukup dengan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia.
Begitu realisasi belanja subsidi energi melebihi pagu anggaran, itu bakal mendorong defisit fiskal di atas 2,9% terhadap produk domestik bruto. Padahal, dalam APBN-P 2017, outlook defisit anggaran ditetapkan 2,67%.
Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih rasional menugasi Pertamina untuk menjalankan program BBM satu harga. Sebaiknya, implementasi BBM satu harga dilakukan perlahan pada lokasi terbatas.
Selain itu, Bhima menyoroti strategi pengurangan distribusi premium di berbagai wilayah agar masyarakat beralih menggunakan produk BBM ramah lingkungan dengan kadar RON lebih tinggi. Padahal, migrasi produk BBM bisa memengaruhi inflasi, tuturnya.
Terkait dengan hal itu, pada kesempatan terakhir saat jumpa pers APBN 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah tetap berkukuh menahan kebijakan penyesuaian harga atau administered prices policy saat ini dan tahun mendatang. Hal tersebut ditempuh untuk menjaga daya beli masyarakat serta demi mengendalikan inflasi.