metrotvnews.com(28 Desember 2017)
Jakarta:Iklim investasi di sektor hulu migas di Indonesia pada 2018 diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan di tahun ini atau dengan kata lain industri hulu migas Indonesia tetap tidak menarik dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini patut menjadi perhatian dan sewajarnya ada langkah nyata guna mengembalikan kembali kejayaan industri hulu migas Tanah Air.
Tidak ditampik investasi hulu migas di Indonesia masih terbelenggu dalam persoalan mendasar yakni berkaitan dengan ketidakpastian hukum, tidak dihargainya kontrak, dan birokrasi yang masih jalan di tempat. Kondisi tersebut cukup disayangkan mengingat industri hulu migas pernah berjaya di tahunnya dan mampu mendongkrak sejumlah industri di dalam negeri.
“Hulu migas Indonesia kemungkinan tetap tidak akan menarik dibandingkan dengan negara-negara lain. Karena persoalan mendasar yaitu ketidakpastian hukum,†kata Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) sekaligus Pengamat Energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, kepada Medcom.id, di Jakarta.
Hal lain yang membuat industri hulu migas harus kembali menunda kejayaanya adalah ketika skema bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) Gross Split yang digagas pemerintah justru menambah ketidakpastian. Hal itu dinilai akan membuat iklim investasi hulu migas semakin tidak menarik dan ujungnya terjadi perlambatan.
Reforminer Institute mencatat, pada periode 1979-1984 industri migas menyumbangkan penerimaan ke negara mencapai sebesar 62,88 persen. Namun, kini porsi penerimaan negara dari industri tersebut hanya 4,7 persen. Angka itu terus mengecil dari waktu ke waktu dan sudah sewajarnya mulai ada keberpihakan untuk kembali membuat industri tersebut berjaya.
“Justru gross split itu yang akan membuat semakin tidak menarik karena semakin menambah ketidakpastian yang ada,†tegas dia.
Pri Agung memandang potensi investasi hulu migas tahun depan akan sama seperti yang dijabarkan oleh penelitian Fraser Institute yang bertema ‘Global Petroleum Survey 2017‘. Dalam hasil survei tersebut menyatakan Indonesia menduduki posisi ke-92 dari 97 negara dalam urutan negara yang paling diminati untuk berinvestasi di sektor hulu migas.
Dari posisi itu Indonesia tertinggal dengan negara tetangga seperti Malaysia di posisi 57, Brunei di 40, Papua Nugini di posisi 84, Thailand di posisi 36, dan Vietnam di posisi 61. Tentu sangat disayangkan kondisi ini justru terjadi di tengah upaya pemerintah yang terus meningkatkan daya saing dan memacu laju pertumbuhan ekonomi secara merata.
Dalam survei itu setidaknya terdapat dua faktor yang dianggap membuat iklim investasi hulu migas di Indonesia kurang menarik. Pertama, terkait perpajakan yang dipungut pada masa eksplorasi. Kedua, mengenai skema kontrak bagi hasil gross split.
“Dari survei Fraser Institute kan juga disebutkan Indonesia adalah 10 besar terbawah dalam hal menarik investasi hulu migas,†imbuh dia.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut kegiatan eksplorasi adalah kunci dalam mengembangkan bisnis usaha hulu migas. Berdasarkan data SKK Migas, investasi kegiatan eksplorasi di Wilayah Kerja (WK) eksploitasi maupun eksplorasi terus menurun.
Pada 2014, total biaya eksplorasi mencapai Rp31,01 triliun dengan rincian Rp12,9 triliun di WK Eksplorasi dan Rp18,11 triliun di WK Eksploitasi. Sementara, pada 2016, jumlahnya turun menjadi Rp13 triliun yang meliputi Rp4,2 triliun di WK Eksplorasi dan Rp8,8 triliun di WK Eksploitasi.
“Eksplorasi adalah masa depan industri hulu migas karena kegiatan yang dilakukan untuk menemukan cadangan baru menjadi harapan peningkatan produksi migas di masa mendatang,†kata Wakil Kepala SKK Migas Sukandar.
Saat ini, terdapat 270 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKK). Dari jumlah tersebut, 87 KKKS masuk dalam fase eksploitasi. Sedangkan 183 KKKS masih dalam tahap eksplorasi, baik konvensional sebanyak 130 kontraktor maupun nonkonvensional sebanyak 53 kontraktor.
Adapun tren penurunan aktivitas dan penanaman investasi eksplorasi migas banyak didorong oleh penurunan harga minyak dunia yang masih belum menunjukkan perbaikan. Langkah yang diambil oleh negara anggota OPEC dan bukan anggota OPEC pun masih belum membuahkan hasil signifikan untuk kembali membawa harga minyak dunia ke level tinggi seperti dulu.
Selain itu, gagalnya eksplorasi di laut dalam di wilayah timur Indonesia pada periode 2006-2012, peraturan-peraturan yang tidak kondusif, serta kendala nonteknis seperti perizinan, sosial kemasyarakatan, maupun keuangan internal kontraktor KKS ikut memberi kontribusi penurunan investasi eksplorasi migas.
Untuk meningkatkan eksplorasi berbagai perbaikan untungnya sudah ada langkah nyata seperti diterbitkannya PP 27 Tahun 2017 sebagai revisi PP 79 Tahun 2010 tentang Bebas Masuk Impor Barang-Barang termasuk Pajak Insentif, Incestmebt Credit, DMO Holiday, dan Waktu Depresiasi.
Industri Migas Lebih Menarik
Sementara itu, Indonesia Petroleum Association (IPA) memperkirakan industri migas tahun depan masih penuh tantangan meskipun sudah lebih menarik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini dinilai akan memberikan dorongan terkait perkembangan industri di tahun-tahun mendatang, termasuk nantinya mendukung laju perekonomian.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong berpandangan pemerintahan sekarang ini lebih terbuka dan mau berdiskusi langsung dengan pelaku industri migas. Ia menilai langkah semacam itu bisa membantu perkembangan industri di tahun depan. Namun, di sisi lain upaya terus menerus guna menekan sejumlah persoalan di industri migas sangat diperlukan.
“Tapi dari apa yang kami lihat di 2017 ini, pemerintah sudah mau untuk berdiskusi lebih baik dengan para pelaku industri migas dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,†kata Meti, sapaan akrab Marjolijn, kepada Medcom.id.
Meti mengungkapkan, untuk pandangan mengenai industri migas tahun depan secara nyata bisa dilihat dari hasil lelang wilayah kerja migas yang dilakukan pemerintah hingga akhir 2017. “Kita harus lihat hasil dari lelang daerah yang sedang berjalan,†ucap Meti.
President IPA Christina Verchere menambahkan, berdasarkan dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 ada dua kegiatan yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang yaitu Eksplorasi dan Enhanced Oil Recovery (EOR).
“Oleh karena itu, IPA berharap Pemerintah Indonesia dapat membuat peraturan yang mampu menarik investasi hulu migas masuk ke dalam negeri,†kata Christina.
Seperti diketahui, pada awal 2017, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Peraturan ini dimaksudkan untuk menghapus pola cost recovery pada kontrak bagi hasil antara pemerintah dan KKKS.
Setelah melalui sejumlah diskusi yang melibatkan IPA dan para pemangku kepentingan lainnya, pemerintah memperbaiki ketentuan-ketentuan di dalam Permen 8 Tahun 2017 dengan menerbitkan Permen Nomor 52 Tahun 2017.
Dua hal signifikan yang berubah seperti terdapat dalam Permen itu adalah besaran progresif dan variable split, dan dibukanya batasan insentif yang dapat diberikan Menteri ESDM untuk menjaga tingkat keekonomian suatu wilayah kerja.
Lain dari itu, lanjut Christina, kebijakan lain yang dinilai IPA cukup baik pada 2017 adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 yang merupakan perubahan dari PP Nomor 79 Tahun 2010.
Jika dibandingkan dengan PP Nomor 79 Tahun 2010, aturan baru ini memang memberikan beberapa perbaikan khususnya untuk kontrak setelah 2010. Tetapi perbaikan tersebut tidak semenarik dengan prinsip assume and discharge seperti untuk kontrak-kontrak sebelum 2010.
Anggaran Kementerian ESDM Memberi Efek Langsung
Meski demikian, Kementerian ESDM menegaskan bahwa masyarakat akan merasakan langsung anggaran sektor ESDM di 2018. Sebab, setidaknya 51 persen anggaran yang diusulkan dalam pagu indikatif Kementerian ESDM 2018 akan langsung ditujukan untuk pembangunan fisik sektor energi.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, sesuai dengan arahan Presiden Jokowi maka belanja publik untuk pembangunan fisik itu sekitar 51 persen. Presiden juga berpesan untuk mengurangi pengkajian-pengkajian dan rapat-rapat yang menguras anggaran negara.
“Idealnya belanja publik fisik itu sekitar 51 persen,†kata Jonan.
Adapun pagu indikatif Kementerian ESDM di 2018 tercatat sebesar Rp6,5 triliun. Anggaran itu rencananya akan digunakan untuk berbagai jenis kegiatan. Untuk belanja publik fisik sebesar 51 persen atau Rp3,3 triliun, untuk belanja publik nonfisik sebesar 15 persen atau Rp1,1 triliun, dan belanja aparatur sebesar 34 persen atau Rp2,2 triliun.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menambahkan, Kementerian ESDM siap mengimplementasikan sejumlah regulasi yang sudah banyak dibuat di 2017 terkait rencana kerja di tahun depan. “Kan regulasi sudah banyak. Sekarang implementasi seperti apa,†kata Arcandra Tahar.
Substansi untuk sektor kelistrikan, misalnya, yang akan ditekankan pemerintah adalah penggunaan teknologi canggih agar lebih efisien dalam menciptakan listrik. Selama ini seperti yang diketahuinya tidak ada teknologi tersebut, apalagi yang dapat diterapkan di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T).
Contoh lainnya di sektor migas yakni Kementerian ESDM akan konsentrasi untuk memikirkan apa yang dilakukan untuk lapangan migas brown field di Indonesia. Lalu, pemerintah juga akan mendorong penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery(EOR).
Setelah itu, penerapan open data sub surface yang meliputi data geologi dan data geofisika pada potensi-potensi wilayah migas di Indonesia. Serta teknologi apa yang cocok untuk mengeksekusi lapangan tersebut. “Kita bicara substansi,†kata Arcandra Tahar.
Terlepas dari itu semua, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM diminta lebih memaksimalkan pengelolaan migas di Tanah Air. Mundurnya beberapa perusahaan migas terkait mengelola lapangan migas perlu dicermati dengan baik dengan harapan kondisi itu tidak berdampak negatif bagi sektor energi di masa-masa mendatang.
Pri Agung Rakhmanto menegaskan mundurnya perusahaan migas dalam mengelola lapangan migas di wilayah Indonesia perlu diwaspadai, apalagi jika jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Perlu ada perubahan kebijakan yang berpihak terhadap pertumbuhan sektor migas.
“Pertama kalau kebijakan tidak diubah maka yang seperti ini akan terus terjadi di mana satu per satu perusahaan migas akan mundur atau beralih ke portofolio lain. Itu yang tidak kita inginkan,†ujarnya.
Meski ia tidak menampik kondisi itu bisa menjadi peluang bagi perusahaan migas dalam negeri lainnya untuk mengelola lapangan migas yang ditinggalkan. Namun, ia menegaskan, pemerintah tetap perlu mencermati terkait mundurnya beberapa perusahaan migas tersebut.
“Kita tidak inginkan, meski di dalam hal seperti itu katakan ada peluang misalkan bagi MedcoEnergi atau perusahaan yang lain. Tapi, dalam konteks keseluruhan ini perlu dilihat,†tegasnya.
Lebih lanjut, dirinya berharap, pemerintah benar-bener mendukung secara maksimal pertumbuhan sektor migas di masa mendatang. Apalagi kondisi itu sejalan dengan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakni Nawacita. Pertumbuhan sektor migas diharap bisa terus menerus mendukung laju pertumbuhan ekonomi.
“Melingkupi semua sektor migas ini ada juga di Nawacita. Kan bagaimana memudahkan investasi dan mendorong ease of doing business. Termasuk meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi,†tuturnya.
Harga Minyak Mentah Mulai Membaik
Sedangkan terkait dengan harga minyak dunia, sepertinya sulit kembali ke level USD100 per barel di tahun depan meski secara perlahan terlihat harga minyak kembali mengalami kenaikan. Meski demikian, negara anggota OPEC dan negara bukan anggota OPEC masih terus berupaya melakukan sejumlah langkah nyata agar harga minyak dunia bisa terus menguat.
Beberapa persoalan sulitnya harga minyak dunia kembali menguat yakni masih memanasnya geopolitik di Timur Tengah, pemangkasan produksi minyak dunia yang belum optimal, langkah Amerika Serikat (AS) yang masih menggenjot produksi minyak dan kinerja ekspor minyaknya, hingga terjadinya diversifikasi dari minyak mentah ke komoditas lainnya.
Pri Agung Rakhmanto senada dengan perkiraan tersebut. Menurutnya harga minyak dunia tidak akan menembus USD100 per barel di 2018. Meskipun diakuinya saat ini harga minyak dunia semakin membaik. “Harga minyak secara fundamental harusnya tidak akan USD100 per barel di tahun depan,†ucap dia.
Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail bin Mohammed al-Mazroui mengatakan produsen minyak OPEC dan non-OPEC berencana untuk mengumumkan sebuah strategi keluar dari pemotongan pasokan global pada Juni. Namun itu tidak berarti bahwa kesepakatan tersebut akan berakhir pada saat itu.
Mazroui mengatakan terlalu dini untuk membicarakan tentang bentuk atau wujud strategi keluar tersebut sebelum Juni, ketika OPEC, Rusia dan produsen lainnya yang berpartisipasi dalam kesepakatan pengurangan pasokan -yang bertujuan untuk meningkatkan harga minyak- akan bertemu berikutnya.
“Kami akan mengumumkan sebuah strategi dalam pertemuan di Juni. Itu tidak berarti kita akan keluar pada Juni. Itu berarti kita akan menghasilkan strategi. Mudah-mudahan pasar akan berada dalam posisi yang jauh lebih baik bagi kami untuk datang dan mengumumkan strategi keluar,†pungkasnya