CNBC Indonesia; 06 Juli 2021
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai tahun depan. Dengan penerapan pajak karbon ini, maka diperkirakan akan berdampak pada kenaikan harga beberapa komoditas berbasis energi fosil.
Misalnya saja, harga Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik yang sebagian besar bersumber dari batu bara, dan gas. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Komaidi beralasan, energi fosil di Indonesia masih mendominasi bauran energi nasional, yakni sebesar 85%-90% dari total bauran energi saat ini.
“Kalau pajak karbon diterapkan, kami dalam posisi gak pro dan kontra, tapi berikan saran ke pemerintah, kalau ini diterapkan, maka hampir semua energi fosil terdampak. BBM, listrik, gas terdampak, harganya akan lebih mahal,” ujarnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (05/07/2021).
Kenaikan harga ini menurutnya akan berdampak secara makro ekonomi karena tiga besar pengguna energi ini adalah industri, transportasi dan kelistrikan. Ketiganya punya kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto.
“Kalau ada shock di sana, akan ada ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” ujarnya.
Selanjutnya, biaya ekonomi akan menjadi besar, sehingga kontraksi ekonomi lebih besar. Jika kontraksi terjadi, maka ini akan berpengaruh pada penerimaan pajak.
“Penerimaan pajak akan berkurang,” lanjutnya.
Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) juga memerlukan beberapa jenis logam. Akankah pajak karbon mendorong penambangan makin masif? Apalagi, komponen dari pembuatan panel surya memerlukan baja dan tembaga.
Dari satu sisi, niat pemerintah mereduksi karbon, namun di sisi lain muncul karbon dari penambangan. Oleh karena itu, menurutnya perlu dikalkulasikan selisihnya.
“Di satu sisi berkurang 5, lalu tambah 4, apakah 1 ini korbankan kondisi ekonomi, tentu berbiaya tinggi,” tuturnya.
Kemudian, jika harga listrik ini lebih besar, akan dibebankan ke siapa? apakah konsumen dalam hal ini masyarakat dan industri secara langsung atau dari subsidi? Hal ini menurutnya juga perlu menjadi pertimbangan.
“Kalau subsidi, kantong kiri kanan, zero-zero saja. Jangan-jangan subsidi malah jauh lebih besar, maka aspek fiskal harus dikalkulasi, ini harus dikaji menyeluruh,” paparnya.