Berdasarkan studi ReforMiner terhadap Neraca Gas Indonesia 2009-2020 dan Neraca Gas Indonesia 2010-2025 ditemukan bahwa selama 2009 dan 2010 sebanyak 8 wilayah dari 12 wilayah/region mengalami defisit gas. Dimana pada periode 2009 defisit gas nasional tercatat sudah mencapai 2.153 MMSCFD yang terdistribusi dalam 8 wilayah, yang masing-masing wilayah mengalami defisit antara 18 – 916 MMSCFD. Sedangkan pada 2010 defisit gas nasional masih sebesar 1.289,70 MMSCFD, yang terdistribusi dalam 8 wilayah/region, dimana masing-masing wilayah mengalami defisit antara 27 – 367 MMSCFD. Data yang ada menunjukkan 8 wilayah yang mengalami defisit gas mencakup wilayah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Bagian Utara, Sumatera Bagian Selatan dan Tengah, Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur, Kalimantan Bagian Timur, Papua, dan Kepulauan Riau.
Sementara defisit gas masih terus terjadi, PGN justru berencana mengambil kebijakan menaikan harga jual gas domestik. PGN berencana menaikkan harga gas domestik rata-rata sebesar 15 %. Meski harus melalui pro dan kontra terlebih dahulu, dan setelah melalui rapat koordinasi antara Kementerian Perindustrian, Asosiasi-asosiasi Industri dan PGN, rencana kenaikan harga gas domestik oleh PGN akhirnya direalisasikan dan efektif per 1 April 2010.
Di satu sisi kebijakan pemerintah menaikkan harga gas domestik dimaksudkan untuk memberikan insentif agar pengusahaan sektor hulu gas dapat ditingkatkan. Namun di sisi lain, kebijakan kenaikan gas sebagaimana dilakukan oleh PGN tersebut sesungguhnya tidak tepat/tidak sejalan jika dikaitkan dengan peningkatan produksi (ketersediaan pasokan) di sisi hulunya. kenaikan harga gas tersebut hanya terjadi di sektor hilir atau hanya kenaikan harga jual gas oleh PGN yang dikenakan terhadap konsumen, sementara harga beli gas PGN dari KKKS tetap tidak ada evaluasi. Sebagai perbandingan, dengan harga Japan Crude Cocktail (JCC) sebesar 80 US$/barel, harga jual gas Donggi Sonoro di kepala sumur sekitar 7,36 US$/mmbtu. Sementara, dengan asumsi harga minyak (ICP) di APBN-P 2010 yang ditetapkan sebesar 80 US$/barel, harga beli gas PGN dari KKKS masih tertahan pada kisaran 1 – 3 US$/mmbtu.
Dalam perkembangannya, sebagai salah satu cara mengurangi beban subsidi listrik dan menangani permasalahan krisis listrik yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mewacanakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang akan dilakukan pada bulan Juli 2010. Kurangnya pasokan (krisis) listrik sebenarnya sudah dirasakan sejak tahun 2000. Sejak saat itu, laju rata-rata pertumbuhan pemasangan baru dan penambahan daya sudah di bawah laju pertumbuhan kapasitas terpasang. Data dari tahun 2000 hingga tahun 2008 menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan pemasangan baru sebesar 5,81 %, sementara rata-rata laju pertumbuhan kapasitas terpasang hanya sebesar 2,46 %. Kondisi tersebut merefleksikan besaran demand listrik lebih besar dibandingkan dengan supply listrik yang mampu disediakan oleh PLN.
Atas kondisi tersebut, pemerintah/PLN mengklaim bahwa krisis listrik yang berdampak terhadap rendahnya rasio elektrifikasi nasional (sampai tahun 2009 masih sekitar 60 %) disebabkan oleh rendahnya harga jual listrik. Kondisi tersebut diklaim mempersempit ruang gerak PLN dalam melakukan ekspansi usaha dan meningkatkan rasio elektrifikasi. Data pemerintah menunjukkan bahwa sejak tahun 2004-2008, rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok produksi listrik. Bahkan dari tahun ke tahun selisih antara harga jual listrik dan BPP listrik semakin besar. Kondisi tersebut mengharuskan pemerintah menganggarkan subsidi listrik untuk menutup biaya operasi PLN setiap tahunnya.
Buruknya manajemen kelistrikan nasional di dalam penggunaan bahan bakar pembangkit kiranya juga menjadi satu hal yang harus dicermati. Berdasarkan data yang ada, bauran energi untuk bahan bakar pembangkit PLN masih didominasi oleh BBM. Dominasi BBM dalam bauran energi pembangkit listrik PLN perlu dicermati, mengingat porsi kapasitas pembangkit yang menggunakan bahan bakar BBM (PLTD) sebenarnya relatif kecil. Buruknya manajemen penggunaan bahan bakar pembangkit PLN berdampak pada peningkatan biaya produksi listrik dari yang semestinya. Tidak jarang karena tidak mendapatkan pasokan gas, untuk mengoperasikan pembangkit (PLTG dan PLTGU), PLN menggantinya dengan penggunaan BBM.
Studi ReforMiner menemukan fakta bahwa pasokan gas untuk PLTG dan PLTGU periode 2010 tidak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan. Dari 26 PLTG dan PLTGU, tercatat hanya 11 pembangkit yang mendapatkan pasokan gas. Sementara, dari 11 pembangkit yang mendapatkan pasokan gas, hanya 3 pembangkit yang mendapat pasokan penuh (sesuai dengan perkiraan kebutuhan). Dengan kondisi tersebut, untuk menjaga stabilitas produksi listrik, praktis 12 pembangkit (PLTG dan PLTGU) harus beroperasi dengan menggunakan BBM. Sementara, 8 pembangkit sisanya harus beroperasi dengan menggunakan bahan bakar campuran antara gas dan BBM. Kondisi tersebut menyebabkan biaya produksi listrik menjadi lebih mahal (tidak efisien) dan proporsi biaya penggunaan BBM menjadi dominan.
Berdasarkan studi ReforMiner, sebenarnya bukan selalu hanya kenaikan TDL sajalah yang semestinya dipilih sebagai cara untuk menyelesaikan masalah kelistrikan nasional karena hal itu pun sebenarnya juga tak akan menyelesaikan ataupun memperbaiki permasalahan mendasar yang ada tetapi hanya sekedar mengurangi beban anggaran subsidi saja -, tetapi upaya pemenuhan gas bagi PLTG-PLTGU-lah yang semestinya dijalankan dengan segera, sungguh-sungguh dan konsisten.