Thursday, April 24, 2025
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2024Impor, Subsidi, dan Ketahanan Energi

Impor, Subsidi, dan Ketahanan Energi

Kompas.id; 3 Maret 2025

Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di FTKE Universitas Trisakti & Founder and Advisor ReforMiner Institute

Belakangan ini, beberapa persoalan terkait sektor energi mengemuka dan cukup menyita perhatian kita semua. Dua di antaranya adalah antrean elpiji 3 kg di sejumlah tempat selama beberapa waktu dan kebingungan publik yang dipicu narasi soal pengoplosan bahan bakar minyak Pertalite menjadi Pertamax, terkait dugaan tindakan korupsi dalam impor dan tata kelola minyak.

Kedua persoalan itu cukup meresahkan masyarakat. Dalam pengelolaan energi, khususnya dari sudut pandang ketahanan energi, hal ini menjadi peringatan bahwa ada aspek-aspek dalam pengelolaan energi yang memerlukan perhatian dan penanganan secara lebih baik.

Terkait ketahanan energi, Dewan Energi Nasional (DEN) pada 2024 lalu mencatat indeks ketahanan energi nasional pada skor 6,64, atau masuk dalam kategori ’tahan’ (resilient)—skor 6,00 hingga 7,99.

Empat aspek yang menjadi parameter di dalam pengukuran indeks ketahanan energi nasional tersebut adalah availability, accessibility, affordability, dan acceptability—sering diistilahkan sebagai 4A.

Availability merujuk pada ketersediaan ketersediaan sumber energi dan energi, baik dari domestik maupun luar negeri. Accessibility merujuk pada kemampuan untuk mengakses (sumber) energi, yang di dalamnya mencakup daya jangkau infrastruktur jaringan energi, hingga kemampuan dalam menjangkau energi di tengah tantangan geografik dan geopolitik.

Affordability merujuk pada keterjangkauan energi dari sisi ekonomi, yang mencakup sisi biaya atau investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan harga energi pada konsumen.

Adapun acceptability merujuk pada kesesuaian atau kompatilitas energi tersebut dengan aspek lingkungan hidup (tanah, air, udara) dan penerimaan dari masyarakat.

Dalam catatan DEN (2024) juga disebutkan bahwa kondisi ’tahan’ yang ada termasuk dalam kategori tahan di permulaan (skor kepala 6) dan belum ’sangat tahan’ (skor kepala 7). Beberapa hal yang menjadi penyebabnya adalah karena belum teratasinya persoalan impor energi, keterbatasan infrastruktur, dan persoalan subsidi-pengaturan harga energi.

Masih terkait ketahanan energi, World Energy Council/WEC (2024) juga mencatat indeks ketahanan energi Indonesia 2023 secara overall 60,5 (skala 1–100). Skor 60,5 tersebut adalah indeks ketahanan energi Indonesia yang didasarkan atas penilaian pada tiga aspek energi (energy trilemma index), yaitu energy security (66,4), energy equity (57,0) dan environmental sustainability (60,6).

Energy security mencakup bagaimana tingkat ketergantungan terhadap impor energi, diversifikasi dalam energi listrik, dan kapasitas penyimpanan energi. Energy equity mencakup aspek akses terhadap listrik, harga listrik, dan harga BBM (bensin dan solar).

Adapun environmental sustainability terutama berkaitan dengan produksi listrik rendah karbon dan tingkat emisi CO2 per kapita dalam penggunaan energi.

Dengan overall skor 60,5 tersebut, di Asia (Pasifik), Indonesia berada pada peringkat ke-12, di bawah negara seperti Australia (75,7), Jepang (75,0), Singapura (70,1), Malaysia (69,0), Tiongkok (64,4), dan Vietnam (61,9), serta di atas negara seperti Thailand (60,1), Filipina (56,9), India (55,6), Myanmar (46,5), dan Bangladesh (46,2).

Di dunia, Indonesia ada pada peringkat ke-58, dengan beberapa negara memiliki peringkat yang sama. Sekadar untuk memberikan gambaran umum, negara yang termasuk di dalam 10 besar peringkat teratas memiliki skor indeks ketahanan energi di rentang 78,9 (Amerika Serikat) hingga 83,2 (Denmark). Adapun peringkat 10 besar terbawah memiliki skor dalam rentang 41,2 (Senegal) dan 27,7 (Nigeria).

Dapat kita lihat bahwa kriteria 4A dari DEN dan Energy Trilemma WEC yang digunakan sebagai parameter untuk mengukur indeks ketahanan energi nasional pada dasarnya merujuk pada hal yang secara prinsip sama. Availability, accessibility, dan affordability dari DEN berkorelasi dengan energy security and equity dari WEC.

Sementara itu, environmental sustainability dari WEC berkorelasi dengan acceptability dan (sebagian) affordability dari DEN. Skor indeks ketahanan energi nasional 6,64 dari DEN dan 60,5 dari WEC pada dasarnya juga dapat dikatakan memberikan penilaian yang relatif sama, yaitu bahwa dalam hal ketahanan energi, Indonesia masuk dalam kategori cukup ’tahan’ (resilient), dengan beberapa catatan yang ada.

Jika DEN menggarisbawahi belum teratasinya persoalan impor energi, keterbatasan infrastruktur, dan persoalan subsidi-pengaturan harga energi sebagai tiga isu utama yang menjadikan indeks ketahanan energi kita belum bisa mencapai skor 7, hal itu juga relatif cukup sejalan dengan penilaian dari WEC yang memberi skor 66,4 pada energy security, 57,0 pada energy equity, dan 60,6 pada envirommental sustainability di sistem ketahanan energi kita.

Hanya saja, dalam hal energy equity dan environmental sustainability, WEC memberi penekanan lebih besar pada hal yang berkaitan dengan penyediaan energi hijau dan kebijakan harga tanpa subsidi. Secara lebih spesifik, hal itu mencakup penyediaan infrastruktur kelistrikan yang lebih rendah karbon, termasuk di dalamnya adalah aspek kapasitas dan aksesnya, dan pemberlakuan kebijakan harga energi yang (semestinya) lebih mencerminkan nilai keekonomiannya (tanpa subsidi harga).

Persoalan elpiji 3 kg yang belakangan mencuat terkait dengan tiga hal sekaligus, yaitu persoalan impor, keterbatasan infrastruktur, dan subsidi harga. Dari sekitar 8 juta ton per tahun kebutuhan elpiji, kita mengimpor 6–7 juta ton per tahun karena kapasitas kilang domesik baru mampu memproduksi sekitar 1,7 juta ton per tahun.

Harga elpiji 3 kg yang diberlakukan adalah harga subsidi, dengan besaran mencapai Rp 12.000 per kg. Persoalan terkait narasi adanya pengoplosan Pertalite-Pertamax juga berkaitan dengan impor dan subsidi harga.

Konsumsi BBM nasional mencapai 505 juta barel per tahun (1,38 juta barel per hari), dipenuhi dari impor sebesar 297 juta barel, berupa 129 juta barel impor dalam bentuk minyak mentah dan 168 juta barel impor dalam bentuk BBM.

Harga yang diberlakukan untuk BBM Pertalite tidak sepenuhnya sesuai dengan harga keekonomiannya, sehingga ada kompensasi selisih harga yang bersumber dari keuangan negara. Kompensasi atas selisih harga itu pada dasarnya secara prinsip sama dengan subsidi harga, hanya dibedakan secara istilah, mengikuti peraturan perundangan yang ada.

Akar masalah dari kedua persoalan tersebut, dengan demikian, pada dasarnya adalah sama, yaitu persoalan impor, keterbatasan infrastruktur, dan subsidi harga. Tiga hal yang oleh kita, khususnya DEN, sudah sejak lama diidentifikasi sebagai hal yang menjadikan indeks ketahanan energi kita masih belum bisa mencapai skor 7.

Iklan
Iklan
Dengan skor energy security 66,4 yang tergolong relatif cukup tinggi—skor energy security negara lain seperti Kanada-tertinggi (76,6), Denmark (72,2), Australia (66,6), Jepang (61,1)—untuk mencapai indeks ketahanan energi yang lebih baik, dengan skor di atas 7 atau 70,0 (dalam skala DEN dan WEC), secara teknokratis bagi kita sebetulnya relatif cukup tergambar.

Untuk mengatasi ketiga persoalan utama tersebut, kuncinya ada pada investasi dan kebijakan harga energi yang tepat. Kedua hal itu berkaitan. Investasi masif diperlukan di seluruh tahapan penyediaan energi, dari mulai eksplorasi, produksi, hingga infrastruktur untuk distribusi, akses dan harga energi yang lebih baik.

Kebijakan harga yang tepat diperlukan, bukan semata untuk keperluan realokasi anggaran subsidi dan sumber daya yang lebih efisien dan produktif, tetapi karena harga yang tepat (tanpa subsidi, sesuai nilai keekonomian) akan memberikan sinyal positif dan daya tarik bagi investasi itu sendiri.

Jika secara teknokratis cukup jelas tergambar, barangkali, yang belum cukup jelas bagi kita adalah secara politis. Bagaimana politik energi kita akan mewujud dan merealisasikannya. Namun, yang jelas adalah bahwa jika politik energi kita mewujud (hanya) menjadi politik energi yang populis, kita akan makin kesulitan meningkatkan ketahanan energi kita sendiri.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments