Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di Media2018Asia Pasifik Diprediksi Jadi Konsumen Energi Terbesar di 2040

Asia Pasifik Diprediksi Jadi Konsumen Energi Terbesar di 2040

Katadata, 03 Desember 2018

Asia Pasifik diprediksi akan menjadi konsumen energi terbesar di tahun 2040. Penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang melesat dan jumlah penduduk yang makin banyak.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro memaparkan peta kekuatan ekonomi dunia akan berubah dalam puluhan tahun ke depan. Tahun 2017, ekonomi global masih dikuasai Amerika Serikat dengan porsi 20% dan diikuti Eropa 18%.

Akan tetapi, dominasi itu akan memudar. Amerika Serikat dan Eropa akan digeser Tiongkok dan India. Tahun 2040, ekonomi Tiongkok akan melesat dengan porsi 24%. Sedangkan India bisa mencapai 15% dari ekonomi global.

Di tahun itu juga, jumlah penduduk negara-negara Asia Pasifik atau negara berkembang akan meningkat. Jumlah penduduk negara-negara berkembang diproyeksikan mencapai sekitar 80% atau 7,4 miliar dari total jumlah penduduk dunia. Dari jumlah itu, sekitar 45 % penduduk negara-negara berkembang dikontribusikan Tiongkok dan India.

Dua indikator itu membuat negara-negara Asia Pasifik membutuhkan energi yang besar. Konsumsi energi negara-negara berkembang itu bisa mencapai 62,6% dari total 364,7 mboepd.

Jumlah energi itu masih didominasi minyak sebesar 101,3 mboepd. Lalu gas, 91,3 mboepd. Kemudian, batu bara 81 mboepd, biomassa 35,5 mboepd, nuklir 22,6 mboped, hidro 10 mmboepd. Sisanya berupa energi baru terbarukan lainnya.

Dengan kondisi itu, menurut Komaidi, Indonesia bisa terancam kekurangan pasokan. Apalagi, Indonesia akan menghadapi perebutan yang ketat dengan “macan-macan” Asia Pasifik seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand untuk pasokan energi dalam negerinya.

“Bisa jadi di masa mendatang Indonesia punya uang tapi tetap tak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri karena tak punya akses untuk mendapatkan barang,” ujar dia dalam sebuah diskusi media di Bogor, Minggu (2/12).

Komaidi mengatakan di tengah perebutan itu, pemerintah Indonesia, harus merencanakan pasokan yang lebih baik. Saat ini, banyak pihak menilai, sektor minyak dan gas bumi (migas) tak menarik lagi, sehingga tak menaruh perhatian khusus terhadap krisis energi nasional. Penerimaan sektor migas terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia juga hanya 6-7%.

Padahal, industri migas memiliki efek domino. Jika sektor migas turun, maka industri di dalamnya—seperti pipa, baja dan lain sebagainya- juga akan terancam. Tak menutup kemungkinan hal ini turut mengganggu pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah hingga tahun-tahun mendatang.

Sementara itu kemungkinan pergantian rezim di tingkat regulator pascapemilu 2019 membuat iklim investasi hulu migas makin tak menarik. Kepastian hukum yang makin tak jelas membuat pada investor enggan dan memilih menunggu. Maka yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah sinergitas antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta nasional untuk menaikkan produksi.

Berkaitan dengan hal itu, salah satu perusahaan swasta nasional, Medco E&P,  telah menyelesaikan beberapa proyek tahun ini untuk menopang ketahanan energi nasonal. Di antaranya proyek pengembangan lapangan Blok A di Aceh yang memasok 58 BBTUD gas bumi.

Tidak hanya itu, Medco juga mengoptimalkan produksi minyak bumi Lica, Blok South Sumatra. Sementara untuk proyek lepas pantai, Medco E&P Natuna baru saja menyelesaikan survey seismik laut 3D di sekitar 85 kilometer (km) dari Pulau Banguran dan 72km dari Pulau Subi di wilayah Laut Natuna.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments