KumparanBisnis, 24 September 2018
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 94 Tahun 2018 tentang Ketentuan penggunaan Letter of Credit (L/C) untuk Ekspor Barang Tertentu. Permendag ini diundangkan pada 7 September 2018 dan akan berlaku pada 7 Oktober 2018.
Ada empat sektor usaha yang diwajibkan menggunakan L/C, yaitu mineral, batu bara, kelapa sawit, serta minyak dan gas bumi. Aturan ini betujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan memperkuat nilai tukar rupiah yang sedang tertekan dolar AS.
Ekspor migas sebelumnya direncanakan akan dikecualikan dari kewajiban menggunakan L/C, tapi ternyata aturan yang terbit tetap memasukkan sektor migas.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, sebaiknya aturan ini ditinjau ulang karena berdampak negatif pada iklim investasi hulu migas. Padahal dampak kebijakan ini pada rupiah tak seberapa.
“Kalau kewajiban menggunakan L/C pada sektor migas dipaksakan, dampaknya pada rupiah enggak signifikan. Tapi menghambat investasi. Investasi hulu migas mencapai USD 15 miliar per tahun, dibutuhkan juga untuk memperkuat rupiah,” kata Komaidi kepada kumparan, Senin (24/9).
Ia menuturkan, Kemendag juga pernah mengeluarkan aturan yang mirip pada 2015, tapi segera direvisi karena terbukti menjadi disinsentif bagi investor hulu migas.
Menurut Komaidi, minyak mentah yang diekspor adalah bagi hasil milik kontraktor, sepenuhnya hak kontraktor. Jika diuangkan, uangnya sepenuhnya hak kontraktor, tentu aneh jika pemerintah meminta kontraktor mewajibkan uang itu disimpan di Indonesia.
“Minyak yang tercatat sebagai ekspor itu adalah hak kontraktor, misalnya punya Chevron, ConocoPhilips, dan sebagainya. Itu kan bukan barang punya kita, uangnya enggak di kita. Secara filosofis, enggak pas kalau wajib disimpan di dalam negeri,” tegasnya.
Meski dalam Permendag No. 94/2018 diatur juga penangguhan kewajiban menggunakan L/C bagi kontrak yang sudah disepakati sebelum Permendag diterbitkan, Komaidi menambahkan, aturan ini tetap merepotkan investor. Karena itu, ia meminta sektor migas dikeluarkan dari kewajiban menggunakan L/C.
“Untuk mendapat penangguhan tentu ada proses yang harus dilewati, butuh waktu bagi kontraktor untuk mendapatkannya. Ini perlu ditinjau ulang,” ucapnya.
Sementara itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah soal aturan wajib L/C bagi eksportir migas.
“Kami akan mematuhi ketentuan pemerintah, saat ini kami sedang dalam proses mengkonsultasikan lebih lanjut dengan Kementerian ESDM,” kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Wisnu Prabawa Taher, kepada kumparan.
Sebelumnya diberitakan, kebijakan memperkuat cadangan devisa negara melalui L/C dengan penerbitan Permendag Nomor 94 Tahun 2018 ini merupakan amanat PP Nomor 29 Tahun 2017, pasal 4, ayat (3) tentang Cara Pembayaran Barang dan Cara Penyerahan Barang dalam Kegiatan Ekspor dan Impor, di mana Menteri Perdagangan diberi kewenangan mengatur cara pembayaran ekspor barang tertentu.
Dalam Permendag ini ditetapkan pokok-pokok pengaturan, yaitu kewajiban pembayaran ekspor barang tertentu dengan L/C, kewajiban penggunaan bank devisa di dalam negeri atau lembaga pembiayaan ekspor yang dibentuk Pemerintah, kewajiban pencantumkan cara pembayaran L/C pada Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).