Kompas; 13 Oktober 2017
TARGET BAURAN ENERGI DALAM RUEN/RUED (APO)
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah akhirnya mengevaluasi kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati di dalam negeri. Dari sejumlah laporan dan temuan, kebijakan pemanfaatan biodiesel dan bioetanol mengalami kendala di lapangan.
Dalam sidang anggota ke-23 Dewan Energi Nasional (DEN), Kamis (12/10), di Jakarta, salah satu topik yang dibahas adalah evaluasi pengembangan bahan bakar nabati. Salah satu kebijakan yang mengatur bahan bakar nabati adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Anggota DEN, Achdiat Atmawinata, mengatakan, penerapan pencampuran biodiesel ke dalam solar menimbulkan masalah teknis untuk mesin-mesin pada alat berat, seperti kereta api serta mesin pada alat utama sistem persenjataan (alutsista). Masalah tersebut berupa timbulnya kerak pada ruang pembakaran.
Penggunaan biosolar (biodiesel bercampur solar) pada alat berat menimbulkan endapan yang berubah menjadi kerak di ruang pembakaran. Akibatnya, ongkos perawatan membengkak karena penggantian filter menjadi lebih sering, kata Achdiat.
Syamsir Abduh, anggota DEN, mengatakan, permasalahan di lapangan terkait pencampuran biodiesel ke dalam solar segera dikaji dan dievaluasi. Ada kemungkinan penerapan kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar sebanyak 30 persen (B30) yang dimulai pada 2030 akan ditangguhkan jika masalah tersebut belum bisa dituntaskan.
Harga jual
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 12/2015, kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar dimulai April 2015 sebanyak 15 persen (B15). Selanjutnya, Januari 2016 sampai akhir 2019 adalah 20 persen (B20). Angka pencampuran naik menjadi 30 persen (B30) terhitung Januari 2020.
Sekretaris Jenderal DEN Saleh Abdurrahman mengatakan, kewajiban pencampuran bioetanol ke dalam bahan bakar selain solar akan menyebabkan harga jual membengkak. Pemerintah sudah memutuskan untuk mengkaji ulang kebijakan itu dengan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perhubungan.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan bahan bakar nabati di Indonesia tersebut terbilang tepat. Namun, sering kali kebijakan tak disertai dengan kajian akademis dan riset pasar. Apabila sampai ditangguhkan, hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian di masa depan pada industri pembuatan biodiesel yang sudah berjalan selama ini.