Saturday, December 7, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2024Beban Berat Subsidi LPG, Gas Bumi Solusi bagi Keuangan Negara

Beban Berat Subsidi LPG, Gas Bumi Solusi bagi Keuangan Negara

Katadata.co.id; 11 Mei 2024

Dalam beberapa tahun terakhir, alokasi anggaran untuk subsidi LPG terus meningkat. Peningkatan anggaran subsidi ini di antaranya karena volume konsumsi LPG dalam negeri meningkat signifikan. Dalam kurun 10 tahun terakhir, konsumsi LPG untuk rumah tangga di Indonesia meningkat hingga 200 %. Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024, porsi subsidi LPG merupakan yang terbesar yaitu 44,55 % dalam komposisi subsidi energi. Total anggaran subsidi energi tahun ini sebesar Rp 186,90 triliun, terdistribusi untuk subsidi BBM Rp 30,03 triliun, LPG Rp 83,27 triliun, dan listrik Rp 73,60 triliun.

LPG, Gas Bumi, dan Keuangan Negara

Peningkatan alokasi anggaran subsidi LPG mulai terjadi sejak 2006, seiring konversi penggunaan minyak tanah ke LPG. Pelaksanaan program konversi ditujukan untuk mengurangi beban subsidi minyak tanah yang saat itu semakin meningkat. Realisasi subsidi minyak tanah pada tahun anggaran 2006, misalnya, mencapai sekitar 50 % dari total subsidi BBM. Pelaksanaan program konversi juga mengacu kepada kondisi neraca minyak tanah dan LPG saat program diimplementasikan. Pada 2006, kemampuan produksi minyak tanah dalam negeri sebesar 8,54 juta kilo liter (kl), sementara konsumsi telah mencapai 10,02 juta kl.

Pada saat yang sama, produksi dan konsumsi LPG dilaporkan 1,42 juta ton dan 1,1 ton. Sehingga saat itu Indonesia masih memiliki kuota untuk ekspor LPG sekitar 289 ribu ton.

Berdasarkan perhitungan pemerintah pada saat itu, konversi penggunaan minyak tanah ke LPG dapat menghemat subsidi sekitar Rp 12,13 triliun per tahun. Perhitungan penghematan tersebut berdasarkan sejumlah asumsi, di antaranya (1) konsumsi minyak tanah 10 juta kl per tahun; (2) kesetaraan minyak tanah dan LPG adalah 1 liter : 0,57 kg; (3) kebutuhan subsidi minyak tanah Rp 3.068 per liter; dan (4) kebutuhan subsidi LPG Rp 3.253 per kg.

Jika dibandingkan dengan minyak tanah, penggunaan LPG memang telah terbukti memberikan sejumlah manfaat ekonomi, salah satunya perbaikan kondisi fiskal melalui penghematan anggaran subsidi di APBN untuk setiap tahun anggaran. Namun dalam perkembangannya, ketergantungan cukup besar terhadap impor menyebabkan penggunaan LPG di dalam negeri justru memberikan tekanan secara langsung terhadap kondisi fiskal dan stabilitas nilai tukar rupiah.

Tekanan tersebut karena program konversi minyak tanah menyebabkan konsumsi LPG di dalam negeri meningkat signifikan dari sekitar 1,27 juta ton pada 2007 menjadi sekitar sembilan juta ton pada 2023. Di sisi lain, kemampuan produksi LPG dalam negeri hanya meningkat dari 1,40 juta ton pada 2007 menjadi 1,98 juta ton pada 2023. Selama kurun waktu tersebut konsumsi LPG meningkat 608 %, sementara kemampuan produksi hanya bertambah 41 %.

Kondisi yang tidak seimbang tersebut menyebabkan 75 – 80 % pemenuhan konsumsi LPG dalam negeri harus dari impor. Dalam kurun lima tahun terakhir, rata-rata impor LPG Indonesia meningkat 5 % untuk setiap tahunnya. Sekitar 42 % impor LPG Indonesia berasal dari negara di Timur Tengah dan 48 % dari Amerika Serikat.

Dalam kondisi dan perkembangan geopolitik Timur Tengah saat ini, terlebih Amerika Serikat secara tidak langsung juga terlibat di dalamnya, semakin berpotensi memperberat kondisi Indonesia dalam kaitannya dengan kebijakan penggunaan LPG. Permasalahan penggunaan LPG yang dihadapi kemudian tidak hanya terkait dengan beban subsidi dan kebutuhan devisa impor yang cukup besar, tetapi juga terkait aspek keamanan dan keberlanjutan pasokannya.

Sebagai gambaran, terkait aspek fiskal simulasi pemerintah menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan subsidi LPG sekitar Rp 1,07 triliun. Saat ini, harga minyak telah mencapai kisaran US$ 80 per barel, lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024. Terkait dengan kebutuhan devisa impor, dengan rentang harga CP Aramco saat ini, kebutuhan devisa impor LPG mencapai US$ 3,5 – 6,65 miliar untuk setiap tahunnya.

Mencermati permasalahan tersebut, konversi penggunaan LPG dengan meningkatkan pemanfaatan gas bumi dapat menjadi solusi atas sejumlah kendala dalam penggunaan LPG di dalam negeri. Untuk aspek fiskal, misalnya, kondisi keuangan negara atau APBN berpotensi lebih baik karena harga gas bumi untuk satuan yang sama lebih rendah dibandingkan dengan harga LPG. Rata-rata harga gas bumi 30 % lebih rendah dibandingkan dengan harga LPG non-subsidi. Artinya, jika seluruh penggunaan LPG dapat dikonversi dengan pemanfaatan gas bumi, anggaran subsidi LPG untuk 2024 yang dialokasikan Rp 83,27 triliun akan turun menjadi Rp 58,28 triliun.

Jika program konversi minyak tanah dengan penggunaan LPG dapat menghemat anggaran subsidi sekitar Rp 12,13 triliun per tahun, konversi LPG dengan penggunaan gas bumi berpotensi menghemat anggaran subsidi sekitar Rp 25 triliun per tahun. Selain berpotensi menghemat anggaran subsidi, konversi LPG dengan penggunaan gas bumi juga akan dapat menghemat kebutuhan devisa impor US$ 3,5 – 6,65 miliar untuk setiap tahunnya. Penghematan tersebut penting untuk membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang dalam beberapa waktu terakhir terdepresiasi cukup besar.

Secara umum, peningkatan pemanfaatan gas bumi berpotensi dapat membantu meningkatkan kesehatan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan. Hal itu karena meningkatkan pemanfaatan gas bumi akan menurunkan anggaran subsidi LPG, mengurangi kebutuhan devisa impor, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan TKDN, menurunkan emisi karbon, dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments