KOMPAS;Â 30 Maret 2017
JAKARTA, KOMPAS Birokrasi yang berbelit dan panjangnya rantai perizinan masih menjadi penghambat investasi sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Hambatan tersebut berdampak investasi merosot ditandai dengan penerimaan negara yang turun dari Rp 320 triliun pada 2014 menjadi Rp 80 triliun pada 2016.
“Saat ini, waktu yang dibutuhkan investor sejak penemuan cadangan sampai berproduksi rata-rata butuh 8-10 tahun. Dalam sejumlah kasus ada yang sampai butuh 12 tahun,†kata Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Board Ronald Gunawan dalam diskusi bertajuk “Membenahi Iklim Investasi Hulu Migas demi Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional,†Rabu (29/3), di Jakarta.
Banyaknya izin yang perlu diurus di pusat dan daerah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam investasi hulu migas di Indonesia. Investor juga butuh kepastian hukum dan aturan. Revisi undang-undang tentang minyak dan gas bumi yang masih berlangsung juga menyebabkan pengusaha menahan diri untuk berinvestasi.
Narasumber lainnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengakui, memang masih banyak perizinan yang harus diurus pada instansi lain baik yang ada di pusat dan daerah. Perizinan di Kementerian ESDM sejauh ini sudah dipangkas yang semula sebanyak 104 izin menjadi 42 izin.
“Target kami adalah perizinan di ESDM hanya menjadi 6 izin saja. Saat ini sedang dalam proses,†ujar Wiratmaja.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, dalam jangka pendek, pemerintah berupaya mengamankan penerimaan negara dari sektor migas yang merosot tajam dari Rp 320 triliun pada 2014 menjadi Rp 80 triliun pada 2016.
“Selain pemberian insentif untuk memulihkan investasi hulu migas, kami juga meminta SKK Migas cermat dalam perhitungan cost recovery  (biaya operasi yang dapat digantikan). Cara lainnya adalah dengan konsep gross split  (bagi hasil berdasar produksi bruto) yang saat ini baru diujicobakan,†ujar Suahasil.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, kondisi politik dan bisnis sektor hulu migas saat ini berbeda dengan masa lalu. Keterlibatan publik atau daerah penghasil kini jauh lebih besar.
“Arah kebijakan pemerintah saat ini adalah efisiensi dan berkeadilan. Namun, parameternya belum tentu sama dengan investor. Ini yang perlu diselaraskan,†ujar Komaidi.
Sementara itu, Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi mengatakan, pemanfaatan kandungan lokal dalam industri migas dan penunjangnya saat ini belum optimal. Salah satu contohnya adalah meningkatnya impor baja sehingga melemahkan industri baja dalam negeri.
Gambaran kondisi industri hulu migas di Indonesia adalah semakin berkurangnya minat kontraktor berinvestasi. Pada 2015, tercatat ada 312 perusahaan dan angkanya merosot menjadi 288 pada 2016. Sejumlah wilayah kerja migas nonkonvensional yang ditawarkan pada 2016 juga belum mendapatkan peminat.