Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti,Pendiri ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia; Selasa, 27 September 2016
Sejak direkomendasikan Panitia Khusus Hak Angket BBM pada 2008, proses revisi Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) sudah bergulir. Namun progres yang dicapai hingga saat ini relatif tidak signifikan. Draft Rancangan Undang-undang (RUU) yang resminya pun belum diparipurnakan di DPR. Perbedaan pandangan dan tarik menarik kepentingan dari berbagai pihak disebut sebagai penyebab alot dan lambannya proses revisi tersebut.
Beberapa isu utamanya yang selama ini cukup alot adalah yang menyangkut aspek penguasaan dan pengusahaan, kelembagaan pengelolaan migas baik di hulu maupun hilir, harga BBM dan gas dalam negeri, kepastian hukum dan kontrak pengusahaan migas, dan pengaturan dan ketentuan menyangkut perpajakan dan aspek fiskalnya.
Perbedaan pandangan tersebut merupakan hal yang sangat wajar sebenarnya, mengingat saat ini di DPR saja tidak kurang terdapat sepuluh fraksi, belum lagi unsur pemerintah baik pusat maupun daerah, industri, dan pihak-pihak terkait lainnya. Namun, saya melihat, jika prinsip-prinsip mendasar dari pengelolaan migas yang diturunkan dari Pasal 33 UUD 1945 itu dipahami dan benarbenar dijadikan pegangan, perbedaan dan tarik menarik kepentingan itu sebenarnya tetap dapat dijembatani secara konstruktif. Beberapa prinsip dasar di dalam konstitusi tersebut menurut saya sangat esensial, dapat menyederhanakan, dan oleh karenanya semestinya menjadi pegangan kita di dalam merevisi UU Migas.
Di dalam aspek penguasaan dan pengusahaan, sepanjang migas masih berupa kekayaan alam dan sebelum titik penyerahan, masih harus dikuasai dan tetap milik negara. Sementara itu, ketika migas sudah menjadi komoditas atau ketika sudah menjadi BBM, tidak lagi harus dikuasai negara.
Dalam hal ini yang masih harus dikuasai atau negara masih harus memiliki kendali yang kuat adalah di dalam cabang produksinya, pengolahan (industri kilang). Sementara itu, untuk pengangkutan, penyimpanan, dan niaga yang bukan merupakan bagian dari cabang produksi, tetapi lebih merupakan bagian dari sistem distribusi, tidak harus dikuasai oleh negara dan pengusahaannya dapat diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Untuk kegiatan usaha hulu migas, prinsip pokok yang harus dipenuhi adalah hak kepemilikan atas kekayaan (mineral rights) harus di tangan negara, sedangkan penyelenggaraan kegiatan migas (mining rights) harus di tangan pemerintah, sebagai wakil negara. Penyelenggaraan kegiatan pertambangan juga harus menggunakan prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, dalam pelaksanaannya mining rights harus diserahkan kepada badan usaha, yang dalam hal ini adalah badan usaha milik negara (BUMN). Jika diperlukan BUMN dapat bekerja sama dengan pihak yang lain, sepanjang memberikan manfaat ekonomi lebih besar dan tidak menghilangkan kedaulatan negara.
Butir prinsip menyangkut harga BBM dan gas di dalam negeri adalah bahwa pengaturan dan penetapannya menjadi kewenangan pemerintah. Dalam teknis pengaturannya, kewenangan itu mencakup penentuan acuan dan formulasi perhitungan harga, penentuan sistem harga yang ditetapkan, dan penentuan masa pemberlakuan harga. Penetapan harga juga harus didasarkan pada aspek keekonomian yang wajar, dengan tetap tidak mengabaikan perlindungan terhadap golongan masyarakat yang tidak mampu.
Prinsip-prinsip konstitusional tersebut sangat prinsip dan menjadi suatu keharusan untuk dijalankan. Mengabaikan prinsip-prinsiap konstitusional di atas di dalam revisi UU Migas hanya akan menjadikan UU Migas baru nanti (kembali) rawan gugatan dan menciptakan ketidakpastian hukum yang dimensi maupun implikasinya sangat luas.
KEPASTIAN HUKUM
Prinsip konsistensi penerapan aturan main untuk menjamin kepastian hukum juga harus diterapkan di tingkat yang lebih operasional. Di dalam pengusahaan, revisi UU Migas harus tetap menjamin kontrak-kontrak pengusahaan yang sudah ada harus tetap dihormati hingga berakhir.
Terkait dengan bentuk kontrak, negara dapat menggunakan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) atau bentuk lainnya yang menguntungkan negara. Jangka waktu kontrak dapat ditetapkan untuk kurun waktu yang cukup menjamin pengembalian investasi, misalkan 30 tahun, dan sesudahnya dapat atau tidak diperpanjang dengan periode dan ketentuan peralihan yang cukup dan jelas. Jangka waktu kontrak terdiri dari masa eksplorasi dan masa produksi. Dalam hal ini kewenangan memperpanjang atau mengakhiri kontrak berada di tangan Menteri ESDM.
Di dalam masalah perpajakan, prinsip lex specialist dan assume and discharge perlu diberlakukan kembali untuk industri hulu migas. Pengenaan perpajakan untuk industri hulu migas harus konsisten mengacu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama atau ketentuan perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani dan tidak berubah-ubah di tengah periode kontrak.
Terhadap kontrak PSC yang masih berlaku, revisi UU Migas dan peraturan pelaksana di bawahnya harus berfungsi sebagai payung hukum untuk penerapan pengenaan perpajakan hulu migas yang lebih konsisten.
Sesuai filosofi kontrak PSC bahwa seluruh aset operasi dan pengelolaan hulu migas adalah milik negara, maka revisi UU Migas harus menegaskan bahwa pajak eksplorasi dihapus dan berbagai pajak pada periode produksi seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, Bea Masuk, PPN dalam negeri, dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) menjadi tanggungan pemerintah.
Revisi UU Migas dan peraturan pelaksana di bawahnya juga harus dapat menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk secara lebih fleksibel menerapkan berbagai skema insentif yang kondusif bagi iklim investasi sesuai perkembangan dan dinamika yang terjadi.
Berbagai insentif yang diperlukan di saat harga minyak rendah seperti pembebasan PPH Pemotongan atas Pembebanan Biaya Operasi Fasilitas Bersama (cost sharing) dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overhead kantor pusat, penerapan sistem block basis dalam pengembalian biaya operasi, pemberianinvestment credit, DMO holiday, ataupun depresiasi yang dipercepat semestinya bisa difasilitasi oleh payung hukum yang lebih kuat melalui revisi UU Migas ini.
Dengan demikian, UU Migas yang baru di satu sisi harus kokoh dan konsisten di dalam aspek konstitusional, di sisi lain UU Migas baru juga harus tetap ramah dan kondusif bagi iklim investasi.