CNBCIndonesia; 12 Oktober 2023
Gas bumi diyakini dan diprediksi memainkan peranan penting dalam transisi energi, baik di tingkat global maupun untuk transisi energi di Indonesia. Peranan penting itu adalah sebagai jembatan dan sekaligus salah satu komponen utama yang keberadaannya vital.
Di tingkat global, merujuk BP Statistical Review 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama sepuluh tahun terakhir tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun.
Di tingkat nasional, pada tahun 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer mencapai kisaran 15,96%. Proporsi tersebut diproyeksi terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah memroyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi terbarukan.
Ketersediaan infrastruktur yang mampu menyalurkan gas bumi dari sumber pasokannya hingga termanfaatkan di titik-titik pengguna akhirnya dengan jangkauan konektivitas dan kapasitas yang memadai merupakan kunci bagi percepatan peningkatan pemanfaatan gas bumi di tanah air.
Dalam konteks Indonesia, di mana secara geografis baik sumber pasokan maupun pengguna gas bumi yang ada lokasinya tersebar – dan tidak selalu merata – di dalam pulau-pulau yang membentang dari NAD di bagian barat hingga Papua di bagian timur, maka infrastruktur yang diperlukan tidak hanya berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi, tetapi juga meliputi infrastruktur LNG yang dapat berupa kilang, fasilitas pengisian, penyimpanan dan terminal regasifikasinya.
Kebijakan Makro
Terkait dengan ini, di tingkat kebijakan makro, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menetapkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor Nomor 10.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang RIJTDGBN tahun 2022-2031 yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2023 yang lalu.
Dalam Kepmen ESDM tentang RIJTDGBN tahun 2022-2031 tersebut, secara geografis Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) terbagi ke dalam 6 region yaitu Region I : Aceh dan Sumatera Bagian Utara; Region II : Kepulauan Riau, Sumatera Bagian Tengah dan Selatan dan Jawa Bagian Barat; Region III : Jawa Bagian Tengah; Region IV : Jawa Bagian Timur; Region V : Kalimantan dan Bali; Region VI : Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Dalam jangka menengah, pemerintah menggariskan kebijakan bahwa selama kurun waktu 2020 sampai dengan 2024 pembangunan infrastruktur pipa transmisi-distribusi gas bumi ditargetkan akan bertambah sebanyak 2.000 km dengan proyeksi akumulasi panjang pipa di tahun 2024 mencapai 17.300 km.
Sebagian besar dari target ini direncanakan berada di wilayah Indonesia bagian barat, yang kurang lebih mencakup Region I hingga Region IV. Sementara itu, untuk wilayah Indonesia bagian Timur (Region IV hingga Region VI), pembangunan infrastruktur gas lebih difokuskan pada pembangunan fasilitas LNG berupa kilang, pengisian-penyimpanan, dan regasifikasi.
Dari perspektif makro, garis kebijakan yang telah disusun dan ditetapkan pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan telah cukup jelas di dalam mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan infrastruktur yang selama ini menjadi isu utama di dalam pengembangan pemanfaatan gas di tanah air.
Rencana makro infrastruktur yang ada tersebut, jika terealisasikan dengan baik, selain akan lebih mendorong pengembangan lapangan-lapangan gas yang ada, juga akan dapat lebih menyeimbangkan neraca kebutuhan-pasokan gas antar wilayah yang selama ini tidak cukup berimbang.
Di tingkat implementasinya, beberapa rencana strategis pengembangan infrastruktur, baik yang akan dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun yang sudah sekaligus merupakan rencana strategis dan program kerja dari BUMN terkait, seperti halnya Pertamina (khususnya subholding gas, PGN) dan PLN, jika dicermati, pada dasarnya secara umum juga telah sejalan dengan garis kebijakan makro yang ada.
Pada tingkatan yang lebih operasional, namun demikian, dan dalam konteks untuk dapat lebih mempercepat implementasi kebijakan yang ada, tetap diperlukan setidaknya tiga hal pokok berikut, yaitu konsistensi, sinkronisasi, dan intervensi proporsional atas kebijakan tersebut.
Konsistensi Kebijakan
Konsistensi kebijakan sangat diperlukan, terutama di dalam hal bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif pada seluruh mata rantai penyediaan gas bumi. Hal ini mencakup bagaimana memberikan sinyal yang positif bagi para pelaku ekonomi untuk: 1) mendorong investasi eksplorasi-produksi lapangan gas di sisi hulu, 2) melakukan investasi di dalam ekspansi dan pembangunan infrastruktur penyaluran gas di sisi midtream, 3) meningkatkan pemanfaatan gas di tingkat pengguna akhir.
Instrumen kebijakan yang diperlukan dalam hal ini adalah kebijakan harga yang tepat, yang didasarkan atas prinsip dan kaidah keekonomian. Harga, di setiap segmen mata rantai penyediaan gas, haruslah sesuai dengan nilai keekonomiannya dan memberikan sinyal adanya (jaminan) pengembalian investasi atau maksimalisasi pemanfaatannya yang menarik.
Kebijakan insentif dan disinsentif, dalam konteks ini, semestinya diterapkan secara langsung-tertutup kepada yang ditargetkan (baik produsen maupun konsumen), dan tidak diterapkan di dalam bentuk intervensi atau pengaturan secara langsung terhadap level harga yang diberlakukan.
Dalam kaitan dengan ini, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri, misalnya, sebaiknya dievaluasi untuk diarahkan menjadi kebijakan insentif fiskal langsung-tertaget untuk sektor industri.
Sinkronisasi Rencana Program
Sinkronisasi diperlukan terutama untuk menyelaraskan berbagai konsep, rencana, dan program yang ada dan tersebar di berbagai institusi perumus maupun pelaksana kebijakan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sinkronisasi atas Rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN).
Sinkronisasi juga diperlukan misalnya di dalam rencana dan program gasifikasi pembangkit listrik PLN untuk dapat selaras dengan rencana dan program pembangunan infrastruktur penyediaan dan penyaluran gasnya. Sinyal utama yang hendak dicapai dari sinkronisasi dalam konteks ini adalah kejelasan (kepastian) tentang pasar.
Bagi pelaku usaha di segmen hulu dan midstream, hal itu akan memberikan gambaran dan kepastian lebih jelas tentang permintaan gas. Bagi konsumen gas dan juga bagi pelaku usaha di midstream, hal itu sekaligus juga akan memberikan gambaran dan kepastian tentang pasokan Kejelasan dan kepastian tentang pasokan dan sekaligus permintaan ini dapat dikatakan merupakan kunci bagi para pelaku usaha di midstream dalam pengambilan keputusan dan eksekusi investasinya.
Kecepatan perluasan dan pengembangan infrastruktur gas, di dalam konteks ini, dengan demikian, ditentukan oleh sinkronisasi rencana program yang ada dan sinyal kepastian terkait pasokan-permintaan tersebut.
Intervensi Proporsional
Intervensi secara proporsional, seringkali diperlukan karena merupakan konsekuensi logis – yang tak terhindarkan dan (semestinya) harus dilakukan – dari adanya suatu pilihan kebijakan. Dari sudut pandang teori ekonomi, intervensi secara proporsional (dari pemerintah) diperlukan pada dasarnya untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) untuk membuat mekanisme pasar dapat bekerja.
Pada tingkatan praktikal, sebagai misal di dalam implementasi kebijakan yang memerlukan investasi dari pelaku usaha, ketika investasi (mekanisme pasar) itu tidak dapat berjalan secara mandiri karena adanya gap (harga) antara willingness to sell di sisi produsen dan willingness to buy di sisi konsumen, di situlah letak intervensi proporsional dari pemerintah diharapkan hadir.
Penugasan kepada badan usaha, PLN misalnya dalam konteks ini, untuk melakukan gasifikasi pembangkit listrik – dari pembangkit listrik batubara misalnya – tentu perlu dibarengi dengan “intervensi” berupa jaminan fiskal (kompensasi) di dalam menanggung selisih biaya produksi yang dikeluarkan. Hal yang serupa juga semestinya berlaku pada penugasan kepada PGN untuk melakukan perluasan jaringan pipa gas perkotaan untuk rumah tangga.
Mengingat, di dalam keduanya, sebenarnya terdapat opportunity cost yang harus ditanggung oleh badan usaha di dalam pilihan mereka untuk mengalokasikan sumberdaya dan modal yang dimilikinya.
Pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas adalah salah satu bentuk intervensi proporsional yang secara relatif lebih tepat – dibandingkan penerapan kebijakan HGBT – di dalam konteks untuk lebih mendorong pemanfaatan gas dan memberi dukungan daya saing sektor industri.
Ketiga hal di atas itulah yang semestinya ada di dalam upaya percepatan pengembangan dan pembangunan infrastruktur penyediaan gas bumi di tanah air.
Pelaksanaan atas ketiganya tidak hanya sekadar akan melengkapi garis kebijakan makro dan beragam rencana program strategis yang telah ada, namun akan menjadi faktor yang memungkinkan (enabling factor) kebijakan dan rencana program strategis pengembangan infrastruktur gas bumi di tanah air dapat benar-benar berjalan dan terealisasi dengan baik.