Friday, November 22, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2023Catatan Keekonomian & Regulasi Pengusahaan Listrik Panas Bumi

Catatan Keekonomian & Regulasi Pengusahaan Listrik Panas Bumi

CNBC Indonesia; 10 April 2023
Penulis:
Pri Agung Rakhmanto,
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti,
Founder and Advisor ReforMiner Institute

Berdasarkan data dari Handbook Energy & Economic Statistics of Indonesia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2022), total potensi energi panas bumi Indonesia saat ini mencapai 23.766 MW yang terdiri dari sumber daya sebesar 9.344 MW dan cadangan 14.422 MW. Dilihat dari sebaran potensinya, sekitar 9.517 MW sumber daya dan cadangan berada di Pulau Sumatra dan 8.050 MW sumber daya dan cadangan berada di Pulau Jawa.

Saat ini Indonesia telah memiliki kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi sebesar 2.286,10 MW, atau berarti sekitar 9,6% dari total potensi yang ada, yang tersebar di sejumlah wilayah, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur.

Permasalahan Utama
Secara umum, pengembangan dan pemanfaatan panas bumi di Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan. Beberapa diantaranya adalah:

(1). Sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang listrik panas bumi dengan pembeli listrik panas bumi,

(2). Kebijakan energi dan khususnya kelistrikan nasional yang ada saat ini masih mengkondisikan harga listrik dari pembangkit EBET harus bersaing dengan pembangkit listrik fosil,

(3). Jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pendanaan pada fase eksplorasi masih terbatas,

(4). Permasalahan perizinan karena wilayah kerja panas bumi seringkali berada di wilayah hutan konservasi,

(5). Faktor risiko menyangkut ketidakpastian potensi cadangan dan kualitas uap yang ada, dan

(6). Permasalahan perizinan berlapis yang harus dipenuhi setelah Izin Usaha Pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi terbit.

Dari sejumlah permasalahan yang ada tersebut, sulitnya tercapainya kesepakatan atau titik temu dalam jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan pembeli listrik dapat dikatakan merupakan permasalahan yang paling utama. Dalam hal ini, agar pengusahaan dan pengembangan listrik panas bumi dapat berjalan, di satu sisi pengembang mengharapkan harga jual uap dan/atau listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomian proyek.

Sementara di sisi lain, sebagai pembeli listrik, dalam hal ini terutama adalah PLN, selalu dihadapkan pada keharusan untuk mengupayakan dan menjaga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik seefisien mungkin untuk tetap berada pada batasan dan tidak melampaui alokasi anggaran subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN.

Dengan objektif melakukan efisiensi BPP, secara logis PLN cenderung akan selalu lebih memilih sumber pasokan listrik yang lebih murah, yang dalam hal ini terutama adalah listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbasis fosil seperti batubara dan gas atau dari pembangkit EBET lain yang dapat lebih murah seperti PLTA.

Mekanisme pasar alamiah – business to business – yang sehat dan efektif, dalam situasi ini sulit terjadi karena pembeli listrik, dalam hal ini khususnya PLN, selalu berada dalam posisi secara keekonomian tidak dapat memenuhi permintaan pengembang panas bumi tersebut.

Biaya Pengadaan dan Operasi
Dalam aspek keekonomian, biaya pengadaan listrik dari panas bumi di Indonesia secara rata-rata relatif masih tinggi dan belum kompetitif jika dibandingkan dengan rata-rata biaya pengadaan listrik nasional. Data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM (2021) menyebutkan bahwa rata-rata harga listrik panas bumi di kontrak baru di atas 10 sen dolar AS per kilo Watt hour (kWh), bahkan sampai 12 sen – 13 sen dolar AS per kWh.

Sementara rata-rata harga listrik EBET non-panas bumi saat ini diinformasikan telah berada di bawah 10 sen dolar AS per kWh. Sebagai contoh, rata-rata harga listrik dari tenaga air (PLTA) berada pada kisaran 6-7 sen dolar AS per kWh dan rata-rata harga listrik dari biomassa berkisar antara 7-8 sen dolar AS per kWh.

Relatif tingginya harga listrik panas bumi salah satunya adalah karena masih tingginya risiko pada tahap eksplorasi, yang menyumbang faktor risiko hingga 50% lebih. Risiko tersebut dimasukkan ke dalam komponen biaya pengadaan listrik panas bumi, sehingga menyebabkan tarif atau harga listrik panas bumi menjadi relatif tinggi.

Dalam hal pengoperasian, biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebenarnya tercatat sebagai salah satu yang terendah. Berdasarkan data Statistik PLN 2021, rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi untuk setiap kWh tercatat berada jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada tahun 2021 tercatat sebesar Rp 1.391,08/kWh. Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 107,15/kWh atau sekitar 7,70% dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Hampir seluruh komponen biaya operasi pembangkit listrik PLTP juga tercatat sebagai salah satu yang paling rendah. Komponen biaya bahan bakar, biaya pemeliharaan, biaya penyusutan aktiva, biaya pegawai, beban bunga, dan biaya lain-lain dari komponen biaya operasi pembangkit listrik PLTP tercatat sebagai salah satu yang terendah dibandingkan biaya operasi pada pembangkit berbasis fosil dan pembangkit EBET yang lainnya.

Regulasi Pengusahaan
Dalam merespons permasalahan terkait aspek kekonomian tersebut, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai harga jual-beli listrik panas bumi. Beberapa di antaranya adalah Permen ESDM No.02/2011, Permen ESDM No.17/2014, Permen ESDM No.12/2017, Permen ESDM No.43/2017, Permen ESDM No.50/2017, dan Permen ESDM No.53/2018.

Meskipun menggunakan formulasi yang berbeda, secara prinsip harga jual-beli listrik panas bumi yang diatur dalam sejumlah regulasi tersebut menggunakan pola kebijakan yang sama yaitu ceiling price atau harga patokan tertinggi. Yang terbaru, Peraturan Presiden No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juga mengatur harga patokan tertinggi untuk produksi uap dan listrik panas bumi.

Dalam Permen ESDM No.50/2017 jo Permen ESDM No.53/2018 ditetapkan dua mekanisme harga. Pertama, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP paling tinggi adalah sebesar BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat. Kedua, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Jika pengusahaan listrik panas bumi merujuk pada regulasi tersebut, peluang industri panas bumi untuk dapat berkembang akan semakin kecil. Regulasi tersebut memberikan batasan bahwa harga pembelian listrik panas bumi yang dapat dilakukan PLN tidak boleh melebihi rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan. Sementara peluang harga jual listrik panas bumi lebih tinggi dari rata-rata BPP di sistem ketenagalistrikan setempat cukup besar.

Apalagi jika pada wilayah tersebut terdapat banyak pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai energi primer pembangkitannya. Peluang bahwa harga jual listrik panas bumi dapat lebih rendah dari rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan memang masih terbuka, terutama pada wilayah-wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan yang umumnya masih di luar jangkauan sistem kelistrikan utama.

Akan tetapi, pada wilayah tersebut umumnya dihadapkan pada masalah permintaan tenaga listrik yang relatif rendah, dimana hal itu akan berdampak pada skala keekonomian proyek panas bumi yang akan diusahakan.

Catatan akhir
Mencermati permasalahan yang ada, pengusahaan dan pengembangan panas bumi domestik mutlak memerlukan komitmen kuat dan dukungan langkah kebijakan yang nyata dari pemerintah. Untuk kondisi saat ini pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional akan berjalan lambat jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business biasa saja.

Di antara pilihan yang tersedia untuk mempercepat pengusahaan dan pengembangan industri panas bumi adalah pemerintah memberikan subsidi khusus atau penugasan khusus kepada PLN dengan kompensasi agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomiannya. Alternatif lainnya adalah pemerintah memberikan sejumlah insentif investasi dan perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN.

Pemerintah kiranya perlu terlibat secara langsung dalam upaya menurunkan risiko bisnis energi panas bumi agar harga jual listrik panas bumi di Indonesia dapat lebih kompetitif. Sejumlah kebijakan yang dilakukan beberapa negara lain seperti dengan melakukan perbaikan kualitas data dan dengan pemerintah secara langsung melakukan kegiatan eksplorasi, dapat menjadi referensi pemerintah untuk menurunkan risiko bisnis panas bumi di Indonesia.

Pemerintah juga perlu mendorong peran dan keterlibatan aktif dari pemerintah daerah agar dapat menjadi fasilitator dalam kegiatan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi di wilayah mereka masing-masing.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments