CNBC Indonesia, 13 November 2018
Jakarta, CNBC Indonesia- Lagi-lagi, defisit transaksi berjalan (CAD) tercatat mengalami pembengkakan. Bank Indonesia mencatat, penurunan kinerja terutama dipengaruhi oleh meningkatnya defisit neraca perdagangan migas.
Defisit neraca migas sebenarnya bukan hal baru, defisit migas konstan terjadi di neraca perdagangan Indonesia sejak 2013. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah pun untuk mengatasi hal ini adalah melalui kebijakan B20.
Lantas, apakah kebijakan ini berdampak besar?ÂÂ
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia menilai, kebijakan tersebut diharapkan masih bisa meredam defisit, paling tidak negara bisa menghemat devisa sampai US$ 2 miliar. Selain itu, ia juga menilai, penurunan harga minyak baru-baru ini juga mestinya bisa memberikan impak, yang mungkin akan dirasakan di akhir tahun.
“(Penurunan harga minyak) harusnya tetap ada dampak ya di akhir tahun. Semoga juga bisa menghemat devisa,” kata Telisa kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (13/11/2018).
Lebih lanjut, ia mengatakan hasil pemilu sela Amerika Serikat juga bisa menjadi sumber optimisme baru untuk perekonomian negara, karena investor finansila sudah mulai masuk lagi ke Indonesia.
Adapun, pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, defisit migas pada dasarnya sudah masalah struktural, akut, dan terjadinya sudah sejak lama. Menurutnya, tidak perlu kaget karena defisit itu memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu.
“Defisit kita sekarang ini hanya akan membesar atau mengecil, terutama dipengaruhi pergerakan harga minyak. Ketika harga tinggi, defisit membesar, ketika harga turun defisit mengecil. Tapi tetap sama-sama defisit.,” terang Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (13/11/2018).
Harga BBM yang tidak naik, kata dia, hanya mendorong peningkatan konsumsi. Sementara harga minyak trennya cenderung naik, ditambah dengan rupiah yang melemah. Ini bakal mengakibatkan impor migas makin tinggi dan defisit menggunung.
“Defisitnya tidak diatasi sungguh-sungguh, ya makin lama akan makin besar pasti, seperti sekarang ini,” kata Pri.
Kondisi yang sudah berlarut dan terjadi struktural di sektor migas RI menurutnya tak pernah dibenahi sungguh-sungguh, solusi yang dicari biasanya solusi instan. “Solusi sebenarnya benahi sektor migas secara mendasar, baik di hulu maupun di hilir.”
“Selama permasalahan mendasar di sektor hulu migas belum dibenahi, seperti produksi terus turun, tidak ada penambahan kapasitas kilang di midstream, sehingga impor BBM makin besar, dan di hilir, harga BBM yang tidak dinaikkan, sehingga mendorong konsumsi,” tambahnya.
Ia menilai, solusi perbaikan neraca perdagangan migas tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split, dan untuk sektor hilir, kebijakan harga bbm jangan dipolitisir. Pri Agung berpendapat, solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini, seperti B20, membeli minyak KKKS, itu cenderung reaktif saja.
“Apa tidak ada manfaatnya? Tentu ada, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yang ada,” tambahnya.
Sebelumnya, defisit dagang migas lagi-lagi jadi biang kerok makin bengkaknya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).
Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan kuartal III-2018 sebesar US$ 8,8 miliar. “Peningkatan defisit neraca transaksi berjalan dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan meningkatnya defisit neraca jasa,” tulis BI dalam keterangannya seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/11/2018).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, defisit yang disumbang oleh sektor migas sejak Januari hingga September mencapai US$ 9,37 miliar atau setara Rp 142 triliun. Jumlah ini naik signifikan dibanding capaian di periode serupa tahun lalu, yang hanya mencapai US$ 5,87 miliar.
Secara keseluruhan, defisit impor migas Januari-September 2018 naik 59% dibanding periode serupa di 2017.