Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2018Defisit Migas Terparah, Pakar: Ini Masalah Struktural

Defisit Migas Terparah, Pakar: Ini Masalah Struktural

CNBC Indonesia; 17 September 2018 15:08

Jakarta, CNBC Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan selama Agustus 2018. Dari paparan BPS, diketahui hasil impor migas masih parah dan lagi-lagi jadi kontributor defisitnya neraca perdagangan.

“Total impor migas mencapai US$ 3,05 miliar , sementara non migas US$ 13,79 miliar,” kata Kepala BPS Suhariyanto, Senin (17/9/2018). Untuk defisit migas tercatat US$ 1,66 miliar.

Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, defisit migas pada dasarnya sudah masalah struktural, akut,  dan terjadinya sudah sejak lama. Menurutnya, tidak perlu kaget karena defisit itu memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu.

“Dalam bulan/periode tertentu akan naik signifikan atau kadang-kadang sedikit menurun, itu lebih karena fluktuasi volume ekspor-impor terkait jadwal ekspor-impor dan inventory crude dan BBM di dalam negeri saja, juga karena pergerakan harga minyak dan nilai tukar Dolar AS,” terang Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Senin (17/9/2018).

Lebih lanjut, lagi-lagi ia menegaskan, solusi sebenarnya untuk mengatasi defisit ini adalah benahi sektor migas secara mendasar, baik di hulu maupun di hilir. Selama permasalahan mendasar di sektor hulu migas belum dibenahi, seperti produksi terus turun, tidak ada penambahan kapasitas kilang di midstream, sehingga impor BBM makin besar, dan di hilir, harga BBM yang tidak dinaikkan, sehingga mendorong konsumsi.

Adapun, menurut Pri Agung, khusus dalam hal ekspor-impor, dengan harga BBM yang naik, harapannya laju konsumsi dapat diperlambat sehingga laju impor BBM dapat ditahan dan tidak menambah parah defisit neraca migas.

Ia menjelaskan, fungsi utamanya adalah untuk menyehatkan kondisi fiskal atau APBN. Diharapkan, juga memberikan sinyal positif kepada pelaku pasar bahwa pemerintah konsisten mereformasi subsidi harga BBM dengan menjalankan kebijakan yang mengedepankan teknokratis dan rasional secara ekonomi dan bukan populis. Ekspektasi lanjutan yang diharapkan, ada capital inflow dan investasi (Dolar AS) yang lebih banyak.

“Dengan fiskal yang lebih sehat, pemerintah juga lebih punya ruang untuk memberi insentif-insentif yang bisa mendorong ekspor. Pemerintah pun lebih punya banyak pilihan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan, termasuk misalnya tidak harus menunda program infrastrukturnya,” pungkas Pri Agung.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments