CNBCIndoneisia, 30 Mei 2023
Transisi energi, baik dalam pengertian bergesernya pengelolaan energi dari yang lebih berbasis pada sumber energi non-terbarukan ke sumber energi baru-terbarukan maupun dalam pengertian bertransformasinya pengelolaan energi ke arah yang lebih ramah lingkungan telah menjadi tema dan gerakan kolektif dengan skala global.
Bauran energi (energy mix) baik untuk energi primer maupun energi final, di tingkat global, regional, maupun nasional, tak terkecuali Indonesia, bergerak ke arah bauran energi dengan porsi energi “bersih” yang terus meningkat.
Dalam konteks ini, mencermati perkembangannya hingga saat ini, gas bumi (natural gas), sebagai salah satu sumber energi fosil yang relatif (paling) bersih dan secara teknis-ekonomis telah memiliki kemapanan (established), terlihat memainkan perannya yang strategis dan sentral, baik sebagai komponen maupun sebagai jembatan transisi energi.
Gas dalam Bauran Energi Global
Merujuk pada BP Statistical Review of World Energy 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer global saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama 2011-2021 tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun.
Sampai dengan 2030, rata-rata konsumsi gas global diproyeksikan terus meningkat hingga mencapai sekitar 74 billion cubic feet (bcf) per hari di tahun 2030. Sekitar 76% dari porsi peningkatan konsumsi gas bumi global tersebut diproyeksikan terutama berasal dari negara-negara Non-OECD.
Salah satu faktor pendorong relatif stabilnya pertumbuhan permintaan gas global adalah penggunaan gas di sektor ketenagalistrikan. Dalam skenario Net Zero Emission – International Energy Agency (IEA), pembangkit gas diproyeksi tumbuh untuk menggantikan fungsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Permintaan gas untuk kebutuhan pembangkit diproyeksi meningkat dari 3,849 billion cubic metres (BCM) pada tahun 2018 menjadi 4,613 BCM pada 2035. Hal ini karena dari aspek teknis pembangkit gas memiliki keunggulan dan karakteristik yang relatif sama dengan PLTU.
Pembangkit gas memiliki capacity factor yang cukup tinggi sehingga dapat sangat berfungsi menjadi pembangkit base load. Biaya investasi per Mega Watt untuk pembangkit gas sejauh ini tercatat juga masih lebih rendah dibanding sebagian pembangkit energi non-fosil.
Kebijakan pemanfaatan gas sebagai jembatan transisi energi memang menjadi pilihan rasional dan dilakukan oleh negara-negara dengan kelompok ekonomi utama seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan China.
Sampai dengan 2030, AS diproyeksi masih akan mempertahankan porsi gas di dalam bauran energi primernya sebesar 31%. Pada periode yang sama, porsi gas bumi di dalam bauran energi Rusia dan Jerman masing-masing diproyeksi masih sekitar 50% dan 12%. China juga berencana meningkatkan porsi gas dalam bauran energinya dari sekitar 10% pada 2020 menjadi 15% pada 2030.
Gas dalam Bauran Energi Nasional
Pada tahun 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer nasional mencapai kisaran 15,96%. Proporsi tersebut diproyeksi terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi baru terbarukan.
Peran penting gas di dalam memenuhi kebutuhan energi nasional juga tercermin dari porsi dan volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik yang terus meningkat. Pada tahun 2022 porsi pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik tercatat sekitar 67,3%, meningkat dari tahun 2010 yang tercatat sekitar 43,8%.
Pada periode yang sama, volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik juga meningkat sekitar 9%. Sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan tercatat sebagai kontributor utama dalam peningkatan konsumsi gas bumi domestik. Porsi konsumsi gas bumi sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan pada tahun 2022 masing-masing tercatat sekitar 31,7%,11,31% dan 10,92% dari total produksi gas nasional.
Khusus di sektor industri, peran gas bumi sangat vital di industri petrokimia, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku. Dari data Kementerian Perindustrian (2022) diketahui bahwa kapasitas produksi petrokimia Indonesia yang saat ini sekitar 7,1 juta ton per tahun, dengan sekitar 70 % kebutuhan petrokimia untuk domestik masih dipenuhi dari impor.
Berdasarkan perhitungan ReforMiner Institute, kebutuhan gas untuk bahan baku industri petrokimia domestik dengan kapasitas 7,1 juta ton per tahun tersebut dapat mencapai kisaran 716 BBTUD. Kebutuhan gas untuk bahan baku dan sumber energi untuk industri petrokimia berpotensi meningkat signifikan jika pemerintah menerapkan kebijakan substitusi terhadap sekitar 70% kebutuhan petrokimia yang masih diimpor dengan produksi dalam negeri.
Ketersediaan Gas Nasional
Berbeda dengan minyak bumi yang dalam hal ketersediaan – cadangan dan produksinya – dalam dua dekade terakhir ini trennya terus menurun, ketersediaan gas bumi nasional dari sisi kondisi dan perkembangannya relatif lebih baik.
Berdasarkan data Kementerian ESDM (2022), Indonesia memiliki cadangan gas bumi terbukti sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi (trillion standard cubic feet/TSCF), dan diproyeksi masih dapat memenuhi kebutuhan nasional di periode transisi energi hingga 20 tahun mendatang.
Dalam hal cadangan potensial yang jumlahnya mencapai 18,99 TSCF lebih dapat dikonversi menjadi cadangan terbukti, ketersediaan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan nasional akan lebih memadai untuk waktu yang lebih lama lagi.
Penemuan cadangan migas di tanah air dalam beberapa tahun terakhir seperti penemuan di Bronang-02, Wes Belut, Parang-02, Rembang-3B, dan Wolai- 02 juga lebih didominasi oleh gas bumi, Kandidat proyek strategis nasional sektor energi 2020-2024 seperti poyek Jambaran Tiung Biru, pengembangan lapangan Abadi Masela, proyek gas laut dalam IDD (Indonesian Deepwater Development) lapangan Gendalo-Gehem dan pengembangan Train-3 Tangguh merupakan proyek pengembangan dan pemanfaatan gas bumi.
Meskipun dari sisi ketersediaan cadangan dan potensinya masih (sangat) memadai, bukan berarti itu sudah akan menjamin berfungsinya gas bumi sebagai komponen dan jembatan transisi energi nasional secara optimal.
Keterbatasan infrastruktur baik dalam hal infrastruktur pemrosesan, penerima, transmisi, distribusi untuk dapat menghubungkan titik-titik suplai dengan sentra-sentra konsumen gas bumi tetap dan akan terus menjadi penghalang optimalnya pengembangan dan pemanfaatan gas nasional, jika tidak ada terobosan langkah dan kebijakan yang dilakukan.
Ketidakpastian perihal keberlanjutan pelaksanaan proyek-proyek strategis seperti halnya pengembangan lapangan gas Abadi Masela dan proyek IDD Gendalo-Gehem, jika dibiarkan berlarut-larut dan tidak ditangani dengan baik, bisa membawa implikasi negatif dalam hal pemenuhan kebutuhan gas bumi nasional ke depan.
Kemudahan berusaha dan jaminan pengembalian investasi yang kompetitif pada infrastruktur dan proyek-proyek gas tersebut, dengan demikian, dapat dikatakan merupakan kunci bagi Indonesia untuk dapat menerapkan transisi energi nasional secara mulus, dengan gas bumi sebagai salah satu komponen utama dan sekaligus jembatannya.