Saturday, September 21, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011Gejolak Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan BBM Nasional

Gejolak Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan BBM Nasional

KomaidiDeputi Direktur ReforMiner Institute
Media Indonesia, 9 Mei 2011

Sampai dengan awal kuartal kedua 2011 harga minyak di pasar internasional masih terus bergejolak. Berdasarkan data yang ada, rata-rata harga minyak jenis WTI dan BRENT sejak Januari-April 2011 masing-masing mencapai 97,53 dolar per barel dan 109,53 dolar per barel. Sementara pada periode yang sama rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) mencapai 109,20 dolar per barel jauh melampaui asumsi ICP yang ditetapkan di dalam APBN 2011 yang ditetapkan sebesar 80 dolar per barel. Jika dibandingkan dengan realisasi harga minyak pada bulan yang sama tahun sebelumnya, harga minyak dunia dan ICP mengalami peningkatan sebagaimana disampaikan dalam tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1 : Realisasi Harga Minyak Dunia (Jenis WTI & BRENT) dan ICP

Sebagaimana telah banyak disampaikan oleh banyak analis bahwa kenaikan harga minyak didorong oleh faktor fundamental dan non fundamental. Pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik di beberapa negara dan keputusan produsen minyak (utamanya OPEC) untuk tidak menambah kuota produksi adalah diantara faktor fundamental yang mendorong terjadinya kecenderungan peningkatan harga minyak. Sementara, ketegangan politik di negara-negara kawasan Timur Tengah, baik negara yang berperan sebagai produsen minyak dan/atau negara yang memiliki posisi strategis dalam jalur distribusi minyak, adalah faktor non fundamental yang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pergerakan harga minyak di tahun 2011. Bagi Indonesia, dimana postur anggaran negara yang dijalankan memiliki keterkaitan yang besar terhadap migas, mengetahui faktor-faktor penentu gejolak harga minyak di pasar internasional menjadi penting. Akan tetapi, mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat gejolak harga minyak, baik terhadap postur anggaran dan perekonomian nasional, serta bagaimana respon kebijakan (solusi) yang tepat untuk permasalahan tersebut, adalah yang lebih penting dan substansial. Sementara itu, berdasarkan beberapa asumsi makro-migas yang ditetapkan di dalam APBN 2011, sensitifitas APBN 2011 (pos-pos yang terkait dengan harga minyak) terhadap gejolak harga minyak adalah sebagaimana disampaikan pada tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2: Sensitifitas APBN 2011 Terhadap Harga Minyak (ICP)

Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute tersebut, jika ICP meningkat hingga rata-rata mencapai 100 dolar per barel (20 dolar lebih tinggi dari asumsi APBN 2011), akan berdampak terhadap meningkatnya penerimaan migas dan subsidi energi (BBM & Listrik) pada nominal yang relatif besar. Penerimaan migas akan bertambah sekitar Rp 51,39 triliun, sementara disisi lain subsidi energi akan bertambah sekitar Rp 69,79 triliun. Sehingga terdapat penambahan defisit APBN sekitar Rp 18,39 triliun. Besarnya sensitifitas (tambahan) subsidi energi yang lebih besar dibandingkan dengan sensitifitas (tambahan) penerimaan migas terkait kenaikan harga minyak dikarenakan konsumsi minyak domestik telah jauh melampaui kemampuan produksi minyak nasional. Karena itu, meski pada dasarnya merupakan masalah klasik yang hampir selalu berulang-pemerintah selalu dibingungkan untuk mencari pilihan kebijakan yang tepat ketika harga minyak di pasar internasional bergejolak (naik). Sementara, terkait kecenderungan kenaikan harga minyak pada tahun 2011, dari sejumlah pilihan kebijakan yang ada, guna merespon kecenderungan kenaikan harga minyak, pemerintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Premium dan solar bersubsidi dibatasi hanya boleh dikonsumsi oleh sepeda motor dan angkutan umum. Kebijakan tersebut (menurut pemerintah) diklaim dapat membuat subsidi BBM lebih tepat sasaran, tidak sama (tidak identik) dengan menaikkan harga BBM, dan dapat menghemat pengeluaran APBN. Sementara itu, berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika rata-rata harga minyak tahun 2011 mencapai 100 dolar per barel, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak kompatibel dengan kenaikan harga minyak. Artinya, penghematan yang diperoleh dari kebijakan pembatasan tidak mencukupi untuk menutup tambahan defisit APBN akibat kenaikan harga minyak. Selain itu, implementasi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi masih menghadapi beberapa permasalahan yang diantaranya belum siapnya infrastruktur penunjang, potensi distorsi kebijakan yang besar, dan membutuhkan pengawasan yang ekstra dalam implementasinya. Jika tujuan kebijakan BBM 2011 adalah semata-mata untuk mengatasi tekanan fiskal dalam APBN, pada prinsipnya terdapat beberapa opsi kebijakan yang dapat diambil. Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika hanya berorientasi pada penyelematan APBN 2011, berikut adalah beberapa opsi kebijakan BBM Nasional beserta biaya-manfaatnya, disampaikan pada tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3: Perbandingan Biaya-Manfaat Kebijakan BBM

Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute tersebut, jika kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi diimplementasikan di Jawa-Bali – untuk Premium dan Solar, dan diimplementasikan sejak Januari 2011, potensi penghematan yang didapatkan hanya sekitar Rp 9,29 triliun, jauh di bawah potensi tambahan subsidi energi yang diproyeksikan akan mencapai Rp 18,39 triliun. Karena itu, jika objective kebijakan BBM hanya untuk menutup defisit APBN, maka kebijakan kenaikan harga BBM (dalam besaran terbatas) dengan berbagai pilihan nominal kenaikan adalah pilihan yang rasional. Sementara, jika objective kebijakan BBM adalah mempertahankan subsidi untuk menolong daya beli masyarakat , pilihannya adalah melakukan pembiayaan (utang) untuk menutup potensi defisit APBN. Namun demikian, semua pilihan kebijakan yang akan diimplementasikan akan berpulang kepada pemerintah, tentunya tergantung dari kebijakan mana yang paling optimal menurut pemerintah. Berbagai pilihan kebijakan BBM sebagaimana disampaikan, pada prinsipnya adalah kebijakan jangka pendek, dimana tujuanya semata-mata untuk menyelamatkan tekanan fiskal APBN. Akan tetapi jika tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam kebijakan energi nasional (tetap tergantung pada BBM), tekanan fiskal APBN masih akan terus berulang hampir di setiap tahun, terutama ketika harga minyak di pasar internasional bergejolak. Jika mengacu pada aspek ketersediaan dan biaya penyediaan, pengembangan dan pemanfaatan gas domestik (utamanya untuk sektor transportasi) adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menjawab permasalahan energi nasional untuk beberapa tahun mendatang. Dari aspek ketersediaan, dengan total cadangan sekitar 158 TSCF, gas yang kita miliki masih mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik hingga sekitar 60 tahun mendatang. Sementara dari aspek biaya penyediaan, bahan bakar gas (BBG/CNG) jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penyedian BBM. Karena hal inilah negara-negara seperti Argentina, Brazil, Pakistan, Italy, India, Amerika, dan China serius mengembangkan pemanfaatan gas untuk kebutuhan energi di negara mereka, utamanya untuk sektor transportasi. Berdasarkan kalkulasi PT Energy Compressed Natural Gas, jika kebutuhan premium dan solar bersubsidi 2011 dikonversi dengan BBG dapat menghemat masing-masing sekitar Rp 67 triliun dan Rp 41 triliun (total Rp 108 triliun). Artinya, jika 60 % saja kebutuhan BBM bersubsidi dapat disubstitusi dengan BBG, nilai penghematan subsidi yang didapatkan adalah sekitar Rp 65 triliun per tahun. Berdasarkan pengalaman di negara lain, utamanya Argentina yang hampir 60 % kebutuhan bahan bakar sektor transportasinya dipenuhi dari BBG (CNG), kunci sukses kebijakan di Argentina tersebut adalah terletak pada konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam membangun infrastruktur penunjang seperti SPBG. Dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun, Argentina telah mampu membangun sistem jaringan distribusi BBG (CNG) di 18 Provinsi dan di 255 kota, melakukan tidak kurang dari 2.400 workshop terkait kebijakan pengembangan BBG, dan mampu membangun sekitar 1.200 SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas). Bandingkan dengan Indonesia, meskipun telah lama mewacanakan pengembangan dan pemanfaatan BBG, hingga Juli 2010 Indonesia baru memiliki 16 SPBG, yang terdistribusi atas 6SPBG beroperasi dan 10 SPBG tidak beroperasi. Berdasarkan fakta dan pengalaman baik di domestik maupun di negara lain, apapun pilihan kebijakan yang diambil, termasuk kebijakan BBM di dalamnya, menjadi tidak memberikan manfaat jika tidak dilaksanakan dengan konsisten dan sungguh-sungguh. Semoga kebijakan pengembangan dan pemanfaatan gas (BBG/CNG), pengembangan biofuel, dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang lain, tidak hanya muncul dan diwacanakan oleh penyelenggara negara ketika pemerintah terjepit dengan besarnya beban subsidi BBM, namun memang merupakan kebijakan yang memang direncanakan dan diimplementasikan dengan baik dan sungguh-sunguh. Semoga-

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments