Investor Daily; 31 Agustus 2023
Pandangan yang sering mengemuka di publik menyangkut harga energi – termasuk harga gas bumi – di tanah air pada umumnya cenderung mengarah pada prinsip bahwa harga haruslah murah (rendah) secara nominal. Tidak hanya di publik kebanyakan, kecenderungan pandangan yang sama tampaknya juga melingkupi sebagian para penyelenggara pemerintahan sehingga mempengaruhi kebijakan yang diambil. Penurunan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri yang telah diterapkan sejak kurang lebih awal 2020 lalu adalah salah satu wujud bentuk kebijakan yang secara langsung maupun tak langsung dipengaruhi oleh pandangan itu. Harga nominal maksimal 6 USD/MMBTU di titik pengguna akhir dianggap cukup untuk menjadi insentif dan pendorong daya saing sektor industri konsumen gas nasional. Harga di atas 6 USD/MMBTU, dengan kata lain, secara tidak langsung dianggap tinggi (mahal), sehingga perlu diturunkan atau ditetapkan dan dibatasi lebih rendah.
Tingkat Competitiveness Harga Gas Domestik
Merujuk data Kementerian ESDM (2020), harga gas hulu Indonesia tercatat berada pada kisaran 3,40 – 8,24 USD/MMBTU, sementara biaya transmisi berkisar antara 0,02 – 1,55 USD/MMBTU, biaya distribusi 0,20 – 2,00 USD/MMBTU, biaya niaga 0,24 – 0,58 USD/MMBTU, dan iuran usaha 0,02 – 0,06 USD/MMBTU. Di sektor hulu, rentang harga gas tersebut tercatat cukup kompetitif dibandingkan negara lain. Tingkat harga gas hulu di Malaysia berada pada kisaran 2,4 – 6,9 USD/MMBTU, di Thailand berada pada kisaran 3,74 – 8,10 USD/MMBTU, Vietnam ada pada kisaran 2,50 – 8,70 USD/MMBTU dan Myanmar ada pada kisaran 3,80 – 5,50 USD/MMBTU. Di midstream, berdasarkan data International Gas Union, pada tahun 2022 besar biaya midstream dalam menyalurkan gas sampai ke pengguna akhir di tanah air berada pada kisaran 2 – 2,8 USD/MMBTU, sementara di sejumlah negara di wilayah Asia berkisar antara 0,5 – 26 USD/MMBTU sampai di titik pengguna.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa di tingkat global, posisi harga gas bumi Indonesia di tingkat pengguna akhir, baik untuk harga gas yang ditetapkan melalui kebijakan HBGT maupun harga gas yang ditentukan melalui mekanisme B to B (Business to Business), pada dasarnya masih berada pada level moderat dibandingkan negara lainnya. Untuk harga gas di tingkat pengguna akhir yang ditetapkan melalui kebijakan HBGT (6 USD/MMBTU), harga gas domestic tercatat lebih rendah dibandingkan Thailand, China, Jepang dan Korea Selatan. Sementara untuk yang ditetapkan melalui mekanisme B to B, harga gas Indonesia tercatat relatif masih cukup bersaing dengan sejumlah negara di kawasan Asean seperti Thailand, Singapura dan Malaysia.
Studi sebelumnya dari ReforMiner Institute (2017) juga menemukan bahwa sebelum penerapan kebijakan HGBT, harga gas Indonesia di tingkat pengguna akhir pada dasarnya memang relatif bersaing dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Rata – rata harga gas Indonesia di tingkat pengguna akhir pada periode 2014 – 2016 berada pada kisaran 7,1 – 7,6 USD/MMBTU.
Prinsip Dasar Kebijakan Harga Gas
Level harga gas di setiap negara pada dasarnya memang dapat berbeda-beda, tergantung pada banyak faktor tekno-ekonomi yang membentuk mempengaruhinya dan juga ditentukan oleh faktor kebijakan – pasar, subsidi, pajak – dan mekanisme yang diterapkan setiap pemerintahannya di dalam pemberlakuannya. Namun, di setiap negara, level harga gas secara prinsip selalu tetap berpijak dan mempertimbangkan tingkat keekonomian yang layak pada seluruh mata rantai sektor yang terkait di dalam penyediaannya. Dari mulai keekonomian yang layak di sisi suplai di hulu, baik suplai yang berasal dari impor ataupun suplai yang bersumber dari produksi dan pengembangan lapangan gas, keekonomian yang layak di sisi midstream dalam hal penyaluran gas baik melalui transmisi dan distribusinya, maupun di sisi keterjangkauan dan proporsionalitas kemanfaatan ekonominya di sisi pengguna akhir. Jadi, penetapan dan pemberlakuan harga gas tidak hanya melihat satu aspek pada berapa secara nominalnya di level pengguna akhir saja.
Kelayakan keekonomian di sektor hulu perlu dipenuhi untuk menjaga keberlanjutan suplai gas itu sendiri. Suatu lapangan gas tidak akan diproduksikan jika keekonomian pengembangan lapangannya tidak terpenuhi. Investasi untuk eksplorasi dan produksi, bagi penemuan cadangan gas dan bagi pengembangan lapangannya tidak akan bergulir jika harga gas yang diberlakukan ditekan terlalu rendah. Harga gas di hulu tetap perlu dijaga pada level yang menjamin tingkat pengembalian investasi yang menarik bagi investor hulu. Dengan karakteristik segmen hulu yang secara relatif lebih padat modal padat teknologi dan lebih berisiko – potensi kegagalan eksplorasi tinggi -, pemberlakuan harga gas di hulu semestinya lebih didasarkan atas prinsip ekonomi willingness to sell – willingness to buy antara masing-masing entitas pelaku usaha (B to B) dan bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Kebijakan pengaturan sebaiknya bersifat makro dan tidak menetapkan suatu batas angka tertentu yang rigid, statis, apalagi rendah secara nominal.
Kelayakan keekonomian di midstream sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan penyaluran dan serapan gas di pengguna akhir itu sendiri. Biaya penyaluran di midstream, baik dalam hal transmisi dan distribusi maupun dalam mode penyaluran lainnya perlu dijaga pada level yang membuat industri midstream tidak hanya cukup bisa bertahan hidup tetapi juga mampu berekspansi untuk mengembangkan infrastruktur dan memperluas jaringan transmisi distribusinya. Infrastruktur gas yang semakin luas akan mendorong peningkatan serapan gas itu sendiri. Pada gilirannya, tersedianya infrastuktur penyaluran gas yang cukup juga akan membuat iklim investasi dan iklim berusaha di dalam penyaluran gas itu sendiri menjadi lebih kondusif. Pada sektor midstream yang struktur pasarnya sudah mendekati kompetitif – infrastruktur tersedia cukup dan banyak alternatif -, biaya midstream dengan sendirinya nanti juga akan menjadi lebih kompetitif, tanpa harus diatur terlalu mikro melalui kebijakan yang membatas-batasi tingkat pengembalian investasi.
Prinsip dasar kelayakan ekonomi di sektor hulu dan midstream di atas itulah yang semestinya menjadi basis di dalam bagaimana level harga gas di tingkat pengguna akhir akan terjadi. Jika prinsip ekonomi dalam arti luas yang menjadi basis dan dikedepankan, memang kemudian menjadi tidak cukup proporsional ketika level harga gas di pengguna akhir dipatok dan dibatasi di harga tertentu, sementara di sisi hulu dan midstream nya kemudian terkondisikan untuk melakukan penyesuaian at all cost.
Ilmu ekonomi mengajarkan subsidi (insentif) semestinya diberikan secara langsung kepada yang ditargetkan dan tidak dilakukan dengan memberikan subsidi terhadap harga. Di dalam ekonomi, subsidi terhadap harga hanya akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar dan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) secara keseluruhan. Kebijakan HGBT, dengan membatasi harga atas gas domestic pada nominal 6 USD/MMBTU di pengguna akhir termasuk di dalam kategori subsidi harga. Kebijakan ini sebaiknya dievaluasi dan ditinjau kembali secara lebih menyeluruh. Jika objektif pemerintah adalah mendorong dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas, maka alternatif kebijakan atau mekanisme lain yang dalam pandangan penulis layak unutk dipertimbangkan adalah melalui pemberian insentif fiskal secara langsung (direct fiscal incentives) kepada industri pengguna gas terpilih. Pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas terpilih berpotensi akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai objektif yang sama karena bersifat lebih terfokus dan mengangkat “daya mampu” industri pengguna gas tersebut secara langsung. Pemberian insentif fiskal secara langsung juga akan meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul dari kebijakan HGBT, yaitu terganggunya investasi di sisi hulu dan midstream di dalam penyedian, penyaluran gas dan pengembangan infrastrukturnya.