DuniaEnergi.com; 8 Agustus 2023
JAKARTA – Pemerintah didorong mengkaji lebih luas upaya meningkatkan daya saing industri dan tidak bertumpu atau mengandalkan pada satu faktor saja. Pasalnya banyak faktor untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia seperti perizinan, bahan baku, tenaga kerja terampil dan mesin yang kompetitif, bukan hanya pada harga gas.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan bahkan jika dirinci ada puluhan faktor yang membentuk harga gas industri.
Menurut dia pemerintah perlu berpikir ulang dalam menetapkan upaya yang tepat dalam meningkatan daya saing industri, agar tidak hanya terfokus di dalam konteks harga gas murah. Sebab dikhawatirkan jika upaya tersebut tidak tepat sasaran akan mengorbankan iklim investasi migas menjadi kurang kondusif.
“Itu satu aspek betul bahwa kalau harga gas murah maka daya saing secara relatif katakanlah akan naik tetapi perlu dilihat daya pengungkitya,” kata Komaidi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (8/8).
Memurutnya, berdasarkan catatan studi Reforminer Institute upaya meningkatkan daya saing industri dengan menunurunkan harga gas menjadi US$6 per MMBTU belum berdampak, hal ini tercermin pada serapan gas oleh industri belum optimal sesuai alokasi yang ditetapkan.
“Yang perlu dilihat begitu ada beberapa hal catatan dari kami studi yang kami lakukan selama implementasi harga gas khusus paling tidak selama 3 tahun terakhir itu serapannya selalu di bawah dari alokasi,” ujar Komaidi.
Pengorbanan negara atas kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU menurut Komaidi sudah cukup besar, yaitu kehilangan PNBP mencapai Rp 30 triliun dalam tiga tahun, tapi sayangnya harapan agar industri memberikan kontribusi lebih tidak tercapai
“Sampai sejauh ini besaran yang dikorbankan oleh pemerintah dalam tanda petik karena kemudian pemerintah merelakan untuk bagian penerimaan negara dari PNBP gas berkurang itu belum sepadan dengan yang diterima dari tambahan penerimaan dari pajak dari sektor sektor industri penerima harga gas khusus tadi,” ungkap Komaidi.
Sementara itu, Elan Biantoro, Sekretaris Jenderal ASPERMIGAS, menilai dalam pelaksanaan kebijakan gas murah untuk industri memang perlu perlu diatur lagi sehingga tidak hanya salah satu pihak yang diuntungkan atau dirugikan.
“Itu yang agar diatur oleh pemerintah dan ini memang akan multi sektoral pembahasannya dari usptream sampai ke pembeli perlu ada koordinasi yang baik yang itu semuanya adalah otoritas pemerintah yang harus mengkoordinirnya,” ujar Elan.
Menurut Elan, rencana Pemerintah untuk memperluas cakupan sektor industri yang mendapatkan fasilitas harga gas US$6 per MMBTU, bisa diimplentasikan secara bertahap, disiapkan masa transisinya agar tidak memunculkan masalah dikemudian hari dan tercipta Multiplier effect bagi perekenonomian
“Itu pasti ada masa transisi yang kita persiapkan untuk menuju ke arah apa yang diinginkan gitu bahwa harga gas murah itu bahasa murahnya ya kita itu terjangkau oleh rakyat,” kata Elan. (RI)