Kompas, 27 Januari 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
“Transisi energi tidak serta-merta diterjemahkan dengan cara meninggalkan pendayagunaan energi fosil, tetapi dengan menyeimbangkan porsi pembangkit listrik berbasis fosil dan nonfosil”
Transisi energi, sebagai bagian dari upaya pencapaian emisi nol bersih (net zero emission/NZE), dengan berbagai sudut pandang dan kepentingan di dalam pengartiannya saat ini telah menjadi tema utama pengelolaan energi global. Dalam pandangan yang lebih umum dan yang saat ini cenderung lebih mengemuka, transisi energi secara lebih tegas dimaknai sebagai pergeseran dari pendayagunaan sumber energi fosil ke energi baru terbarukan nonfosil.
Negara-negara dengan sumber daya energi fosil yang relatif terbatas tetapi memiliki keunggulan kompetitif di dalam pengembangan energi baru terbarukan dan teknologinya cenderung menggunakan pandangan dan pengertian tersebut.
Sementara negara-negara yang relatif memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di dalam pengembangan sumber daya energi fosil dan nonfosil cenderung secara lebih konservatif menerjemahkan transisi energi sebagai transformasi ke arah pendayagunaan sumber energi (fosil dan nonfosil) dengan tingkat emisi karbon lebih rendah.
Signifikansi energi fosil
Di lingkungan di mana setidaknya dua pandangan umum tentang transisi energi saling membentuk dan mempengaruhi itulah, transisi energi global terus berproses. Merujuk pada data dan laporan (2020-2022) dari Energy Information Administration (EIA), International Energy Agency (IEA), dan BP Statistical Review of World Energy, kajian ReforMiner Institute (2022) mencatat bahwa di tengah kampanye transisi energi global yang cukup masif dan seiring dengan kemajuan pengembangan energi baru terbarukan yang juga progresif, hingga kini peran energi fosil, khususnya migas dan batubara, ternyata masih sangat signifikan di tingkat global.
Porsi migas dalam bauran energi primer global 2020 tercatat masih sekitar 56 persen. Konsumsi minyak bumi global selama 2011-2021 tercatat meningkat sekitar 0,11 persen per tahun. Sementara konsumsi gas bumi global pada periode yang sama meningkat sekitar 1,78 persen per tahun.
Di subsektor kelistrikan, peran gas dalam bauran energi primer pembangkit listrik global juga masih cukup signifikan, yaitu masih sekitar 22,8 persen. Selama 2011-2020, produksi listrik dari gas tumbuh sekitar 2,5 persen per tahun dan tercatat sebagai pertumbuhan produksi listrik terbesar dalam kelompok pembangkit listrik fosil.
Proyeksi IEA (2021) juga menyebutkan bahwa dalam skenario emisi bersih nol, pembangkit gas masih akan terus tumbuh untuk menggantikan pembangkit listrik batubara. Hingga 2035, gas akan menjembatani transisi energi global di kelistrikan, khususnya sebagai jembatan dari pembangkit listrik batubara ke pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan.
Secara keseluruhan, hingga 2030, migas diproyeksikan masih akan memegang peran penting dalam bauran energi sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Australia, dan China. Porsi minyak dalam bauran energi primer Amerika Serikat pada 2030 diproyeksikan masih akan mencapai 36 persen dan porsi gas sekitar 31 persen.
Kajian ReforMiner Institute (2022) juga mencatat, porsi batubara dalam bauran energi primer global masih mencapai 25 persen. Konsumsi batubara global juga meningkat 5,8 persen selama periode 2020-2021. Pada 2021 di mana ekonomi global mulai berjalan beriringan dengan pandemi Covid-19, konsumsi batubara tercatat mencapai 7.947 juta ton, lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19 pada 2019/2020, yaitu 7.801 juta ton.
Peningkatan konsumsi batubara tersebut terutama terjadi di wilayah Amerika Utara sebesar 16,1 persen, Eropa 8,6 persen, dan Asia 5,2 persen. Pada 2022, seiring terjadinya krisis pasokan energi di beberapa wilayah Eropa karena pengaruh perang Rusia-Ukraina, peningkatan konsumsi tersebut juga berlanjut, di mana diperkirakan meningkat 0,7 persen dari level 2021. Peningkatan tersebut membuat emisi karbon dioksida dari batubara pada 2024 diproyeksikan akan mencapai lebih dari 3 giga ton atau lebih tinggi dari target emisi yang ditetapkan.
Fakta bahwa peran sumber energi fosil dalam bauran energi global masih signifikan dan permintaan-konsumsinya bahkan juga meningkat di saat keadaan global sedang berada dalam ketidakpastian tinggi (pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina) menegaskan bahwa terlepas dari adanya perbedaan kepentingan dan cara pandang di dalam menerjemahkan transisi energi, jaminan keamanan pasokan energi adalah hal yang paling utama bagi setiap negara. Posisi dan porsi kepentingan nasional setiap negara berada di atas dan jauh melampaui berbagai macam narasi transisi energi global yang dikampanyekan.
Similaritas global-nasional
Gambaran kondisi bauran energi yang ada di tingkat global tersebut, secara umum juga dijumpai pada bauran energi nasional. Merujuk kepada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)-KESDM 2022, hingga kini migas juga tercatat memiliki peran penting dalam bauran energi primer Indonesia dan diproyeksikan masih akan tetap penting hingga 2050.
Porsi migas dalam bauran energi primer nasional 2021 di kisaran 51 persen dan pada 2050 porsinya diproyeksikan masih akan bertahan di kisaran 44 persen terhadap total konsumsi energi primer. Porsi batubara mencapai 37,6 persen dan energi baru terbarukan tercatat meningkat signifikan dari sekitar 6,3 persen pada 2016 menjadi 12,2 persen pada 2021.
Dalam konteks migas, gas bumi diproyeksikan akan memainkan peran lebih strategis dalam bauran energi nasional ke depan. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer nasional akan menjadi sekitar 24 persen pada 2050, terbesar kedua setelah EBT. Selama 2012-2021 porsi pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik rata-rata meningkat sekitar 1,5 persen per tahun. Porsi pemanfaatan gas untuk domestik tercatat meningkat dari 52 persen pada 2012 menjadi 65 persen pada 2021.
Kemiripan pola bauran energi primer global dan nasional yang ada tampaknya sedikit banyak mengindikasikan bahwa di dalam menerjemahkan transisi energi, Indonesia mengambil posisi relatif moderat, dengan mengambil elemen-elemen positif dan rasional yang ada pada kedua pandangan arus utama transisi energi yang ada. Transisi energi tidak serta-merta diterjemahkan dengan cara meninggalkan pendayagunaan energi fosil. Jika pun itu dilakukan, data yang ada menunjukkan hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sifat sumber suatu energi pada dasarnya tidak hanya sebagai substitusi untuk sumber energi lainnya, tetapi justru lebih sebagai komplemen, melengkapi satu sama lain. Emisi bersih nol juga tampaknya dijalankan dalam koridor yang tetap sesuai dengan norma definisi global di mana emisi bersih nol mengandung pengertian bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan setara dengan jumlah emisi karbon yang mampu diserap oleh atmosfer (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC, 2021). Di sini terlihat ada kesamaan cara pandang dan pada tingkatan tertentu harmoni antara transisi energi yang bergulir di tingkat global dan nasional.
Sejauh ini, di dalam diplomasi dan upaya menunjukkan komitmennya di dalam pencapaian target emisi bersih nol dan implementasi transisi energi, Indonesia dapat dikatakan juga cukup aktif dan proaktif dalam berbagai forum dan inisiatif regional dan global.
Proporsional
Dari sisi kerangka regulasi yang ada saat ini, komitmen Pemerintah Indonesia dalam pencapaian target emisi nol bersih itu salah satunya dapat ditemukan pada Keputusan Menteri KLHK No 168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2002. Merujuk regulasi ini, terdapat tiga skenario terkait upaya pencapaian target emisi nol bersih, yaitu skenario Current Policy (CPOS), skenario Transitions (TRNS), dan skenario Low Carbon Development Compatible with Paris (LCPP).
Dalam skenario CPOS, emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat menjadi sekitar 2.500 juta ton CO2e pada 2050. Emisi diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton CO2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario TRNS. Sementara jika skenario LCPP yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi. Dari ketiga skenario tersebut, sektor energi dapat dikatakan merupakan tulang punggung bagi Indonesia dalam pencapaian target emisi nol bersih.
Mencermati dinamika perkembangan arah kebijakan sektor energi hingga saat ini, jika merujuk kepada dokumen-dokumen kebijakan dan program yang ada, tampak bahwa secara umum pemerintah dan para penyelenggara negara lainnya di sektor energi pada dasarnya telah cukup proporsional dalam merespons tema emisi bersih nol dan transisi energi ini. Dalam konteks ini, sebagai contoh, pemerintah secara jelas menggariskan subsektor kelistrikan sebagai target dan sekaligus instrumen utama di dalam pencapaian target emisi nol bersih di sektor energi.
Hal itu dilakukan dengan menyeimbangkan porsi pembangkit listrik berbasis fosil dan non-fosil. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil khususnya batubara akan dikurangi, digantikan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan, secara bertahap. Aktivitas dan operasi penyediaan energi nasional berbasis fosil dari sub-sektor minyak dan gas juga tidak kemudian begitu saja ditinggalkan, tetap akan terus berjalan dengan penerapan teknologi penangkapan, penyimpanan dan penggunaan karbon (Carbon Capture Storage, CCS/Carbon Capture Utilization and Storage, CCUS). Upaya dekarbonisasi dan pengembangan green business di sektor pengguna energi seperti promosi penggunaan kendaraan listrik dan pengembangan ekosistemnya juga telah menjadi garis kebijakan pemerintah.
Dengan harmoni cara pandang dan respon kebijakan yang relatif telah cukup proporsional tersebut, tantangan sesungguhnya yang lebih besar adalah pada bagaimana hal tersebut dapat direalisasikan secara nyata dan konsisten. Menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkannya.