(TEMPO.CO, 15 Januari 2017)
Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, menilai harga minyak dunia tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan 2016. Pada awal 2015, harga minyak turun ke level US$ 44 per barel. Penurunan harga minyak terendah terjadi pada Februari 2016, mencapai US$ 26,2 per barel. Saat ini, harga minyak kembali naik sekitar US$ 50-55 per barel. Dengan pulihnya ekonomi beberapa konsumen minyak utama, permintaan terhadap minyak akan meningkat. Hal itu akan membuat harga juga ikut naik.
“Harga, mungkin antara US$ 55-60 per barel,” katanya dalam Diskusi Energi Kita di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Ahad, 15 Januari 2017.
Dengan kenaikan harga minyak dunia tersebut, kata Komaidi, pemerintah memiliki dua pilihan, yakni menaikkan harga bahan bakar minyak atau membiarkan neraca keuangan PT Pertamina (Persero) tergerus.
Anggota Komisi Energi DPR, Kurtubi, menegaskan harga BBM yang boleh naik hanyalah non subsidi, bukan BBM bersubsidi. Menurut dia, dengan naiknya harga minyak dunia, biaya produksi BBM akan naik.
“Komisi VII berpendapat bahwa harga BBM bersubdisi tidak perlu naik. Kalau mau menaikkan harga BBM bersubsidi, harus ngomong dulu ke DPR. Posisi anggota dewan, negara harus tetap hadir dalam hal BBM bersubsidi,” tuturnya.
Dengan anjloknya harga minyak dunia beberapa tahun lalu, Kurtubi menilai, Pertamina sudah mendapatkan keuntungan dari penjualan BBM. “Bahkan, BBM bersubsidi sudah menghasilkan keuntungan. Itu yang menyebabkan keuntungan Pertamina belakangan ini. Karena itu, pemerintah bisa menaikkan harga BBM non subsidi.”
Di tempat yang sama, Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Eri Purnomohadi, mengatakan industri memerlukan harga BBM yang terjangkau. Solar yang merupakan jenis BBM yang masih disubsidi, masih sangat dibutuhkan oleh angkutan logistik bahan-bahan kebutuhan pokok.
Karena itu, menurut Eri, harga bahan pokok akan naik ketika harga solar juga naik. “Memang dilematis. Berani tidak pemerintah (menaikkan harga) di saat ekonomi slow down? Pemerintah butuh menaikkan karena anggaran pendapatan belanja negara kurang. Tapi, harga BBM ini juga berkorelasi dengan popularitas presiden,” ujar Eri menambahkan.