(KumparanBisnis, 28 Agustus 2018)
Pemerintah akan menerapkan perluasan penggunaan Solar dicampur dengan biodiesel 20 persen atau B20 pada 1 September 2018. Penerapan ini bersifat mandatori atau wajib dilakukan di sektor subsidi dan non subsidi.
B20 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi impor minyak dan BBM. Ini dilakukan agar neraca perdagangan tidak lagi defisit.
Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, B20 menjadi satu-satunya opsi yang paling memungkinkan untuk mengurangi impor BBM saat ini di tengah pelamahan rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, langkah ini masih lebih baik terlihat manfaatnya dalam waktu dekat ketimbang berharap dari pembangunan dan modifikasi kilang-kilang Pertamina.
“(Kilang-kilang Pertamina) cukup membantu sebetulnya tapi kan butuh waktu. Yang paling cepat itu kebijakan B20, relatif bisa dilakukan dan ada manfaatnya, bisa sedikit mengurangi. Tapi tentu ada catatannya. Kalau yang lain, seperti kilang itu kan butuh waktu, tapi (modifikasi dan pembangunannya) harus dilalukan dari sekarang,†kata dia kepada kumparan, Selasa (28/8).
Sebenarnya hampir sudah tidak ada lagi cara instan untuk menekan impor BBM dalam jangka panjang. Perkiraan dia, penerapan mandatori B20 pun belum benar-benar mampu menekan impor BBM. Sebab, Indonesia sudah menjadi net importir migas sejak 2004.
Saat ini, kebutuhan BBM di dalam negeri mencapai 1,5 juta barel per hari (bph). Sebanyak 800 ribu bph diolah di dalam negeri dari minyak mentah jatah pemerintah dan Pertamina dan dari impor. Sementara 50 persennnya lagi, Pertamina mengimpornya dalam bentuk BBM siap pakai.
Angka ini diprediksi akan bertambah setiap tahunnya seiring dengan jumlah produksi kendaraan dan populasi manusia, sementara sumur-sumur minyak dalam negeri sudah tua.
“Saya belum sampai pada efektif atau enggak. Tapi dari kalkulasi itu, kan ada kelebihan produksi biodiesel yang masih bisa dialokasikan subtitusi sekian jumlah solar yang tidak jadi impor. Tentu tidak bisa langsung buat neraca perdagangan jadi surplus karena ini kan permasalahan sudah lama dan bukan hal baru,†lanjutnya.
Menurut Pri Agung, untuk bisa menekan angka impor BBM jangan serba instan. Tapi harus dilakukan upaya dari berbagai sisi yang mendukung dan membutuhkan waktu panjang. Misalanya di sektor hulu, pemerintah harus terus menggalakan eksplorasi secara masif agar produksi minyak bisa naik.
Di sektor midstream, pembangunan kilang-kilang harus terus dilakukan agar bisa memproduksi BBM lebih banyak lagi dengan kualitas di atas Premium. Di sektor hilir, menurunkan konsumsi BBM itu sendiri.
“Caranya bagaimana? Ya dikasih harga yang rasional, jangan hitungan politik. Kalau harganya rasional, orang juga akan pakainya secara rasional juga,†jelas dia.