CNBC INDINESIA: Minggu, 18 November 2018 16:28
Jakarta, CNBC Indonesia- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih tingginya impor migas di Oktober 2018, dan lagi-lagi jadi biang kerok defisit neraca dagang Indonesia.
Kepala BPS Suhariyanto dalam paparannya pada 15 November mengatakan defisit migas di Oktober mencapai US$ 1,42 miliar.
Secara year on year, BPS mencatat, impor migas pada Oktober 2018 sebesar US$ 2,9 miliar, naik 31,78% dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ini kembali mencatatkan defisit neraca migas yang membengkak 98% jika dibandingkan Oktober 2017, yang sebesar US$ 718,7 juta.
Defisit migas di sepanjang tahun ini sudah mencapai US$ 10,73 miliar atau setara Rp 158 triliun, mengungguli nilai defisit tahun 2017 setahun penuh (US$ 8,58 miliar). Padahal, tahun 2018 masih menyisakan 2 bulan lagi. Jika ditarik lebih jauh, defisit migas tahun ini hanya lebih “mending” dibandingkan defisit di Januari-Oktober 2014 yang mencapai US$ 11,14 miliar.
Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan defisit migas RI adalah masalah struktural, akut, dan sudah terjadi sejak lama.
“Defisit kita sekarang ini hanya akan membesar atau mengecil, terutama dipengaruhi pergerakan harga minyak. Ketika harga tinggi, defisit membesar, ketika harga turun defisit mengecil. Tapi tetap sama-sama defisit.,” terang Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (13/11/2018).
Ia pun menyebutkan, ada lima faktor yang membuat defisit migas masih terus terjadi, yakni;
- Permasalahan mendasar di sektor hulu migas yang belum dibenahi, misalnya produksi yang terus turun.
- Tidak ada penambahan kapasitas kilang di midstream, sehingga impor BBM makin besar
- Di hilir, harga BBM yang tidak dinaikkan, sehingga mendorong peningkatan konsumsi. Ini bakal mengakibatkan impor migas makin tinggi dan defisit menggunung.
- Naiknya harga minyak dunia
- Kurs rupiah terhadap dolar AS juga cenderung terus melemah
“Nomor 1-3 itu permasalahan mendasar di sektor hulu migas yang mestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh pemerintah,” ujarnya.
Sementara penyebab nomor 1 dan 2 perlu waktu agak lama untuk mengatasinya, paling singkat dan cepat adalah dengan menaikkan harga BBM.
Tapi dari kedua calon Presiden RI, siapakah yang berani ambil langkah ini untuk selamatkan keuangan negara?
Presiden Joko Widodo sendiri sudah menegaskan tidak akan ada kenaikan harga BBM setidaknya hingga akhir tahun ini atau sesudah pemilu berakhir di tahun 2019.
“Untuk BBM begini, kami coba agar kenaikan tidak ada karena banyak masyarakat yang daya belinya terbatas. Akhirnya kami coba kendalikan. Itu mengapa untuk solar harganya dipertahankan tapi subsidi naik, karena kalau tidak nanti harga barang-barang lain ikut naik di pasar. Pesannya adalah daya beli terjaga,” kata Jonan saat diwawancarai di kantornya, Oktober lalu.
Pernyataan Jonan ini dilontarkan tak lama setelah insiden batalnya kenaikan harga BBM Premium hanya dalam kurun waktu satu jam.
Sementara, dari kubu Prabowo sampai saat ini belum ada pernyataan tegas. Namun, sikap fraksi Gerindra selaku partai pendukung utama pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandiaga Uno malah menginginkan harga BBM turun.
Keinginan menurunkan harga BBM ini dinyatakan oleh salah satu anggota Komisi VII DPR RI dalam rapat kerja di DPR, yakni Kardaya Warnika, yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Dirjen Migas Kementerian ESDM.
Pekan lalu, Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno Sudirman Said bongkar bobroknya pengelolaan sektor energi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sudirman yang pernah menjadi Menteri ESDM di zaman Jokowi mengatakan sektor energi adalah sektor paling apes. “Menterinya saja diganti empat kali. Ada yang baru 21 hari [menjabat], langsung diganti. [Dirut] Pertamina diganti lima orang [dalam periode pemerintahan]. Yang lucu, PLN yang jadi sumber hambatan, tidak pernah diganti,” paparnya, di acara Indonesia Energy Forum 2018 di The Dharmawangsa, Jumat (16/11/2018).
Ia mengkritik pedas soal kebijakan-kebijakan energi di era Jokowi, dan juga memaparkan solusi yang ditawarkan oleh tim Prabowo-Sandiaga Uno di sektor ini jika nanti terpilih. Sudirman menekankan pentingnya pengembangan energi baru di masa depan. “Kalau sedikit turun ke peraturan pemerintah, lebih eksplisit, maksimalkan EBT dan minimalkan minyak bumi,” tambah Sudirman.
Tapi, di antara kritik-kritik pedasnya itu tak satupun disinggung soal kebijakan harga BBM. Padahal, jika energi baru ingin diseriusi dan dikembangkan akan mustahil selama pemerintah menyediakan energi fosil dengan harga murah.