Sindonews.com; Jum’at, 20 Oktober 2017 – 14:27 WIB
BPH Migas bertugas mengawal agar Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM khusus penugasan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia dengan harga yang sama. Tidak boleh ada industri dan oknum yang menikmati Program BBM Satu Harga. “Jangan sampai ada hal-hal yang dapat mempersulit masyarakat yang membutuhkan BBM,” terang Ifan.
Andil APBN
PT Pertamina (Persero) pada dasarnya siap untuk menerapkan harga BBM satu harga di seluruh wilayah di Indonesia. Sebab, wilayah terluar Indonesia juga memiliki hak yang sama dengan daerah lain di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) untuk harga BBM.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik mengatakan, untuk mendukung program BBM satu harga di seluruh daerah di Tanah Air, perusahaan yang dipimpinnya terus mendirikan lembaga penyalur. Saat ini Pertamina berhasil mendirikan lembaga penyalur BBM di 26 titik wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) per Juli 2017.
“Sesuai rencana dan demi mendukung Program Indonesia Satu Harga kami menargetkan mencapai 159 titik wilayah 3T hingga 2019,” katanya.
Program penyetaraan harga BBM dilakukan di daerah-daerah pelosok. Di antaranya pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Irian Jaya. Khususnya, daerah-daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, maupun Brunai Darussalam dan perbatasan Irian Jaya.
Namun demikian, pemerintah seharusnya tidak membebankan anggaran penerapan BBM satu harga sepenuhnya kepada Pertamina. Sebab, Pertamina disebut-sebut sudah menanggung kerugian hingga Rp12 triliun karena harga BBM jenis premium dan solar tak kunjung dinaikkan.
Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pada dasarnya kebijakan BBM satu harga yang diimplementasikan pemerintah sudah sangat tepat. Baru satu tahun, sudah ada 26 lokasi yang menerapkan kebijakan tersebut. Pemerintah pun telah menjangkau daerah-daerah remote yang selama ini tak pernah menikmati harga BBM dengan murah.
“Kalau penerapannya (BBM satu harga) saya kira tepat sih ya. Ini kan memang diratakan terutama untuk daerah perbatasan atau remote. Saya kira sudah bagus,” tuturnya saat berbincang dengan SINDOnews belum lama ini.
Namun, lanjut dia, kebijakan BBM satu harga menjadi sedikit bermasalah lantaran pembiayaan seluruhnya dibebankan kepada Pertamina. Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya membebankan pembiayaan BBM satu harga ke Pertamina.
“Hanya pembiayaannya kalau dibebankan ke korporasi tidak pas. Kalau nggak ada solusinya segera, ya kasian Pertamina semakin tidak berkembang,” papar Komaidi.
Menurutnya, pemerintah seharusnya menganggarkan biaya untuk program BBM satu harga di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jadi, ada semacam subsidi dari negara untuk program tersebut. “Ini kan kebijakan negara yang semestinya alokasinya dari APBN. Bukan dari Pertamina. Harus dianggarkan dalam APBN,” ungkapnya.
Komaidi menyatakan, anggaran dari APBN untuk BBM satu harga menjadi bentuk lain dari subsidi. Jika sebelumnya subsidi dinikmati oleh masyarakat kota dan desa, kini subsidi diberikan lebih tepat sasaran kepada masyarakat di daerah terluar Indonesia. Hal ini tentu harus menjadi refleksi Jokowi dalam tiga tahun pemerintahannya.
“Jadi ini bentuk lain dari subsidi. kalau dulu dinikmati seluruh masyarakat kota dan nonkota. sekarang saat ini lebih tepat sasaran, jadi yang disubsidi daerah terpencil. Dan ini saatnya membayar untuk mereka yang selama ini kita menikmati,” ungkapnya.