Petrominer; 07 Juni 2023
Penulis:
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti;Founder & Advisor ReforMiner Institute
Merujuk laporan International Energy Agency (IEA) tentang World Energy Investment 2023, investasi hulu migas (upstream) global tahun 2022 nilainya mencapai US$ 470 miliar lebih. Sementara tahun 2023 ini, diproyeksikan nilainya akan mencapai US$ 500 miliar, atau berarti kurang lebih diproyeksikan tumbuh sekitar 6 persen dibandingkan tahun 2022 lalu.
Akan halnya investasi hulu migas nasional, merujuk data SKK Migas 2023, pada tahun 2022 nilainya mencapai US$ 12,1 miliar, atau berarti kurang lebih adalah 2-3 persen dari investasi hulu migas global. Pada tahun 2023, investasi ini oleh Pemerintah ditargetkan menjadi US$ 15,5 miliar. Ini artinya tumbuh 26 persen dibandingkan tahun lalu dan melebihi rata-rata global yang hanya tumbuh sekitar 6 persen.
Porsi terbesar dari investasi hulu migas nasional adalah untuk produksi (US$ 8,1 miliar) dan pengembangan (US$ 2,6 miliar).
Pola investasi hulu migas nasional dengan porsi alokasi terbesar untuk produksi dan pengembangan seperti ini relatif tetap dari waktu ke waktu. Dari pola tersebut, yang tercermin adalah investasi yang dialokasikan pada dasarnya memang terutama ditujukan untuk memelihara tingkat produksi yang ada, baik itu dengan upaya pemeliharaan atas operasi yang ada dan pada skala terbatas melalui upaya pengembangan.
Bagi Pemerintah, pencapaian target produksi, dan kemudian lifting, yang menjadi salah satu asumsi makro APBN dapat dikatakan memang merupakan objektif utama dari investasi hulu migas yang selama ini berjalan. Dalam pada ini, tren produksi dan lifting migas nasional, hingga saat ini terus menunjukkan tren menurun, baik dalam target yang ditetapkan maupun dalam realisasi pencapaiannya.
Mengutip data SKK Migas 2023, capaian lifting minyak bumi pada tahun 2022 adalah 612.300 barel per hari atau 87,1 persen dari target APBN 2022. Ini lebih rendah dari realisasi tahun 2021 yang masih pada angka 660.300 barel per hari. Adapun realisasi salur gas bumi pada tahun 2022 adalah 5.347 standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 92,2 persen dari target APBN, serta di bawah capaian tahun 2021 yang sebesar 5.505 MMSCFD.
Mature Field
Tren penurunan produksi dan tidak tercapainya target lifting secara teknis sebetulnya tidak terlalu mengherankan dan relatif sudah dapat diprediksi. Pasalnya, di dalam pencapaiannya mengandalkan lapangan yang sudah dapat dikategorikan sebagai mature field.
Mature field yang dimaksud adalah lapangan atau wilayah kerja migas yang berdasarkan perhitungan teknis telah mencapai puncak produksi. Lapangan atau wilayah kerja ini juga telah berada pada fase natural decline menuju akhir masa produktifnya.
Merujuk pada data Ditjen Migas dan SKK Migas, ReforMiner Institute (2022) mencatat setidaknya terdapat 40 wilayah kerja, atau sekitar 52 persen dari total 75 wilayah kerja produksi yang aktif sampai tahun 2020, merupakan wilayah kerja yang masuk dalam klasifikasi mature field. Dari jumlah tersebut, 36 wilayah kerja tercatat berumur sekitar 25 sampai 50 tahun. Sementara 4 wilayah kerja berumur lebih dari 50 tahun.
Dalam hal porsi produksi minyak, pada tahun 2021 tercatat sekitar dari 36,52 persen produksi minyak nasional tercatat berasal dari lapangan–lapangan yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun. Dengan rincian, wilayah kerja Rokan dengan porsi sekitar 24,61 persen, wilayah kerja Offshore Southeast Sumatra (OSES) 3,64 persen, wilayah kerja Offshore North West Java (ONWJ) 4,06 persen, dan Mahakam 4,06 persen.
Sementara untuk produksi gas, hingga tahun 2021 masih mengandalkan lapangan–lapangan yang telah berproduksi lebih dari dua dekade. Seperti wilayah kerja Corridor dengan porsi sekitar 14,0 persen dan wilayah kerja Mahakam dengan porsi 8,0 persen.
Insentif Keekonomian
Selain permasalahan teknis, aspek penting lain yang menentukan operasi dan keberlanjutan pengelolaan mature field adalah keekonomiannya. Sejalan dengan umur lapangan yang terus menua, biaya yang harus dikeluarkan di dalam melakukan optimalisasi produksi di lapangan–lapangan mature field cenderung terus meningkat seiring dengan tuntutan penerapan teknologi tertentu. Karena itulah, penerapan insentif fiskal sangat diperlukan untuk menjaga tingkat keekonomian proyek agar lapangan dapat terus beroperasi dan berproduksi.
Merujuk studi Inter-American Development Bank (2020), disebutkan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun. Optimalisasi mature field melalui pemberian insentif lazim diterapkan dan tercatat telah berhasil meningkatkan produksi migas di sejumlah negara.
Australia misalnya, melalui pemberian insentif fiskal untuk mature field, telah berhasil meningkatkan produksi minyak sekitar 1,6 persen per tahun dan gas sebesar 10,3 persen per tahun pada periode 2010–2019. Beberapa bentuk insentif fiskal yang diberikan diantaranya insentif pembatasan royalti dan juga insentif bea cukai migas.
Keberhasilan meningkatkan produksi migas melalui pemberian insentif fiskal pada mature field juga terjadi di Brazil dan Kanada. Pemerintah Brazil tercatat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pembayaran royalti sekitar 5 persen untuk mature field dengan skala kecil, dan 5 sampai 7,5 persen untuk mature field dengan skala besar. Sementara Kanada, bentuk kebijakan yang diterapkan adalah pengurangan pajak pendapatan, penangguhan kerugian pajak hingga 20 tahun, dan penerapan tax credit.
Hasilnya, selama periode 2010-2019, produksi minyak dan gas di Brazil masing-masing meningkat sekitar 3,2 persen dan 3,5 persen per tahun. Sementara produksi minyak dan gas di Kanada untuk periode yang sama tercatat meningkat sekitar 1,3 persen per tahun untuk minyak dan 4,6 persen per tahun untuk gas.
Perubahan Kontrak
Untuk hulu migas nasional, salah satu langkah “biasa” yang sebetulnya secara langsung dapat dilakukan pemerintah untuk memberikan insentif keekonomian adalah melalui perbaikan komponen-komponen fiskal yang ada di dalam Kontrak Kerja Sama (KKS).
Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract/PSC) dengan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery) merupakan salah satu bentuk kontrak yang sangat dapat memfasilitasi hal itu. Beberapa komponen di dalamnya yang dapat diubah atau dibuat fleksibel untuk meningkatkan kelayakan keekonomian pengembangan lapangan diantaranya adalah perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), First Tranche Petroleum (FTP) yang diturunkan, pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indonesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit.
Seiring dengan terus menuanya umur lapangan yang ada dan makin menurunnya tingkat keekonomian yang ada, besaran-besaran di dalam komponen-komponen fiskal tersebut semestinya menjadi subjek untuk dievaluasi yang bersifat fleksibel dan negotiable bilamana diperlukan dari waktu ke waktu.
Dalam konteks mendukung pencapaian target lifting, beberapa wilayah kerja migas yang sudah masuk kategori mature dan masih menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional sudah semestinya mendapatkan insentif keekonomian yang lebih. Diantaranya yang dapat dikategorikan di sini misalnya adalah lapangan/wilayah kerja Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES) dan North West Java (ONWJ). Sebagian besar dari lapangan/wilayah kerja tersebut umumnya saat ini masih menggunakan PSC Gross Split yang regulasinya diberlakukan sejak tahun 2017 lalu.
Dibandingkan kontrak PSC Cost Recovery, dalam hal insentif untuk melakukan investasi (eksplorasi dan produksi) lebih, terlebih untuk investasi yang masih berisiko seperti halnya Enhanced Oil Recovery (EOR) atau pengembangan lanjut lapangan, PSC Gross Split secara relatif dapat menjadi tidak terlalu menarik karena risiko sepenuhnya ditanggung kontraktor. Faktor lain seperti halnya yang menyangkut diskresi dan variabel split yang beragam dan ditentukan kemudian pada dasarnya secara relatif juga cenderung menambah risiko yang ada. Berbeda dengan PSC Cost Recovery dimana antara negara dan kontraktor relatif berbagi risiko di dalam berbagai aspeknya.
Maka, fleksibilitas, baik dalam menyangkut perubahan besaran atas komponen-komponen fiskal yang ada dari waktu ke waktu maupun fleksibilitas bagi kontraktor untuk dapat memilih bentuk kontrak yang (lebih) sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya merupakan kunci dan sekaligus cara yang efektif bagi pemerintah untuk dapat memberikan insentif keekonomian yang diperlukan. Dan pemerintah dalam hal ini pada dasarnya juga telah memiliki landasan (awal) untuk menerapkannya. Salah satunya adalah melalui instrumen Peraturan Menteri ESDM No.23/2021 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas untuk Kontrak Kerja Sama yang Akan Berakhir. Yang diperlukan dalam konteks ini barangkali adalah kemudahan untuk mengimplementasikannya.