CNBCIndonesia; 09 Maret 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; Dosen di FTKE Universitas Trisakti.
Sektor hulu minyak dan gas (migas) nasional dapat dikatakan memiliki masa jaya pada periode awal 1972/1973 hingga mendekati 1996/1997. Pada periode tersebut, Indonesia tercatat memiliki cadangan minyak terbukti hingga 11,6 miliar barel lebih dengan rata-rata produksi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari.
Kontribusi sektor hulu migas secara langsung terhadap APBN dari sisi pendapatan selama periode itu juga tercatat sangat signifikan, secara rata-rata mencapai lebih dari 60%. Dari sisi signifikansi, sektor hulu migas dapat dikatakan istimewa pada saat itu.
Sesudahnya, dan sudah lebih dari dua dekade terakhir, tren pencapaian dari angka-angka yang pada tingkatan tertentu merepresentasikan kinerja dan signifikansi sektor hulu migas tersebut, terus menurun. Saat ini cadangan minyak terbukti Indonesia tercatat hanya sekitar 3,95 miliar barel dengan rata-rata produksi sekitar 600 ribu barel per hari.
Kontribusi sektor hulu migas secara langsung terhadap pendapatan APBN tercatat juga mengalami penurunan signifikan menjadi hanya sekitar 5% dalam lima tahun terakhir. Dari sisi signifikansi, sektor hulu migas secara relatif menjadi tidak lagi istimewa saat ini.
Dari berbagai faktor yang berperan, salah satu faktor terpenting yang menopang dan menjadikan sektor hulu migas dalam hal signifikansinya istimewa pada periode 1972/1973-1996/1997 adalah kerangka aturan main dan peraturan perundangannya yang mendukung. Dalam hal ini, adalah Undang-Undang Migas yang berlaku saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina (UU Pertamina 8/1971).
Dalam hal pengusahaan hulu migas, UU Pertamina 8/1971 mengaturnya secara sederhana namun sinkron, sejalan dan mampu memfasilitasi penerapan sistem Kontrak Bagi Hasil Produksi (Production Sharing Contract/PSC) yang digunakan secara efektif.
Tiga Keistimewaan
Dalam aspek pengusahaan, UU Pertamina 8/1971 mengatur setidaknya tiga keistimewaan yang merupakan esensi bagi berlakunya sistem PSC secara efektif di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah: (1) prinsip pemisahan pengelolaan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara, (2) penerapan asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam perpajakan hulu migas, dan (3) prinsip penerapan birokrasi satu atap satu pintu dalam pengurusan perizinan dan administrasi kegiatan operasi hulu migas.
Prinsip pemisahan pengelolaan keuangan pengusahaan hulu migas dengan keuangan negara dalam UU Pertamina 8/1971 diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 yang menetapkan bahwa pengelolaan keuangan kontrak PSC dilakukan di dalam kerangka kerja sama usaha (bisnis) antara perusahaan negara – dalam hal ini Pertamina – dengan kontraktor. Pertamina, dalam hal ini, diwajibkan memiliki cadangan umum yang dipergunakan untuk menutupi kerugian yang mungkin terjadi dari pengusahaan kontrak PSC tersebut.
Dengan prinsip pemisahan tersebut, keputusan investasi maupun pelaksanaan kegiatan usaha menjadi lebih sederhana dan cepat. Pihak yang berkontrak juga tidak dibayangi kekhawatiran akan risiko dipersalahkan menyebabkan kerugian negara jika sekiranya pilihan keputusan investasi ataupun pelaksanaan kegiatan usaha di dalam kerangka kontrak PSC menemui kegagalan atau mendapatkan hasil yang tidak sesuai ekspektasi. Secara singkat, prinsip ini dapat dikatakan memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa kontrak pengusahaan hulu migas adalah kontrak antar entitas usaha yang terpisah dari urusan keuangan atau kerugian negara.
Penerapan asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam UU Pertamina 8/1971 terutama diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Pasal 14 terutama mengatur bahwa ketentuan perpajakan pengusahaan hulu migas PSC mengikuti ketentuan UU Pertamina 8/1971tersebut (lex specialis). Pasal 15 secara prinsip menetapkan bahwa bahwa perhitungan bagian negara dan kontraktor yang berasal dari kegiatan usaha hulu migas telah mencakup perhitungan komponen pajak (assume and discharge). Penerapan asas dan prinsip ini memberikan kepastian hukum dalam aspek fiskal pengusahaan PSC.
Penerapan birokrasi satu atap satu pintu di dalam pengurusan perizinan dan administrasi dalam UU Pertamina 8/1971 secara prinsip dijalankan melalui penyediaan seluruh wilayah migas dan pemberian kuasapertambangannya kepada Pertamina (Pasal 11, 12 dan 13). Dengan konstruksi di mana kewenangan atas wilayah dan Kuasa Pertambangan di tangan Pertamina dan posisi kontraktorPSC sebagai pihak yang membantu mengusahakan wilayah migas tersebut – sesuai filosofi dasarPSC -, maka Pertamina menjadi pihak yang kemudian menjadi pintu masuk dan sekaligus eksekutor bagi pengurusan perizinan dan administrasi kegiatan usaha dan operasi.
Kontraktor PSC dalam hal ini ibarat mendapat karpet merah karena semua perizinan dan administrasi akan diurus dan diselesaikan oleh Pertamina. Logis karena hal itu berkaitan dengan kepentingan Pertamina untuk mengusahakan migas di “wilayahnya” sendiri.
Ketiga keistimewaan itulah yang secara prinsip kemudian tidak ada lagi di dalam pengaturan pengusahaan hulu migas berdasarkan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001). Pengelolaan keuangan kontrak PSC terkondisikan dan pada tingkatan tertentu diperlakukan sebagai bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak adalah institusi atau badan pemerintah.
Isu dan persepsi yang cenderung negatif seputar kewajaran besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery), pembahasan dan pengaitan cost recovery dengan APBN, dan tereksposenya para pihak yang berkontrak dalam PSC karena dianggap merugikan negara, yang muncul selama ini adalah beberapa contoh implikasi dan ekses negatif dari hal tersebut. Dalam hal ini, bukan saja proses pengambilan keputusan dalam pengusahaan PSC kemudian menjadi lebih birokratis dan memakan waktu, tetapi pada kondisi tertentu juga menyebabkan para pengambil kebijakan enggan menerapkan kebijakan progresif atau mengambil keputusan penting yang diperlukan.
Asas lex specialis dan prinsip assume and discharge dalam perpajakan hulu migas juga tak lagi dianut dalam pengaturan berdasar UU Migas 22/2001. Pasal 31 UU Migas 22/2001 mengatur bahwa dalam hal perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku (lex generalis) dan atas kontraktor diwajibkan membayar komponen pajak-pajak sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Jadi, dalam hal ini terhadap kontraktor PSC tidak ditanggung dan dibebaskan (non assume and discharge) atas pajak dan pungutan yang semestinya bukan merupakan bagian dari fiskal PSC.
Persoalan ini bukan tidak disadari oleh para pengambil kebijakan dan upaya untuk menyelesaikannya juga telah dilakukan. Salah satunya adalah melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu. Hal itu pada dasarnya cukup positif dan secara prinsip telah berupaya mengembalikan prinsip assume and discharge, namun secara teknis mekanisme dan administrasinya tetap tidak sama sehingga tetap menimbulkan ketidakpastian dalam aspek fiskal bagi PSC.
Prinsip birokrasi satu atap satu pintu di dalam pengurusan perizinan dan administrasi tidak lagi ada dalam UU Migas 22/2001. Pihak yang berkontrak mewakili negara dalam PSC dalam hal ini bukanlah pihak yang memiliki wilayah migas sendiri.
Pun juga bukan merupakan pihak yang diberikan Kuasa Pertambangan atas wilayah migas yang ada. Ketentuan Pasal 12 ayat 3 UU Migas 22/2001 yang menyebutkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diberi wewenang untuk melakukan kegiatan usaha membawa konsekuensi logis bahwa kontraktor PSC adalah subjek langsung untuk melakukan pengurusan perizinan dan administrasi yang diperlukan.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 36/PUU-X/2012 lalu juga menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi. Jadi, selain aspek konstitusional, di dalam aspek kemudahan birokrasi dan perizinan, ketentuan Pasal 12 ayat 3 tersebut secara langsung dan tak langsung juga telah mengonstruksikan peniadaan prinsip birokrasi satu atap satu pintu yang sebelumnya ada dan sangat sejalan dengan filosofi PSC itu sendiri.
Revisi UU Migas
Jika ingin mencapai lagi kondisi yang istimewa bagi sektor hulu migas – mencapai target 1 juta barel minyak per hari misalnya – , maka secara konseptual, idealnya ketiga keistimewaan yang sebelumnya berlaku di dalam pengusahaan hulu migas tersebut perlu diterapkan kembali. Revisi UU Migas yang dikatakan saat ini kembali (lagi) bergulir di DPR, normatifnya adalah pintu masuk untuk itu.
Di dalam draft RUU yang berkembang hingga tulisan ini dibuat, setidaknya terdapat tiga aspek yang memiliki keterkaitan dengan ketiga keistimewaan di atas, yaitu (1) aspek penguasaan dan pengusahaan; (2) aspek kelembagaan hulu migas; dan (3) aspek penerimaan negara.
Di dalam aspek penguasaan dan pengusahaan, prinsip yang sejauh ini diatur di dalam draft RUU Migas yang ada adalah bahwa pemegang Kuasa Pertambangan adalah Pemerintah Pusat sementara pemegang Kuasa Usaha Pertambangan diberikan kepada Badan Usaha Khusus Migas (BUK Migas).
Dalam aspek kelembagaannya, BUK Migas disebutkan sebagai badan usaha yang dibentuk oleh UU dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BUK Migas akan berfungsi mengelola dan mengendalikan kegiatan usaha hulu. BUK Migas dapat melakukan kegiatan usaha hulu baik secara mandiri atau melalui kerja sama.
Dalam kaitan dengan tiga keistimewaan di atas, pengaturan dalam draft RUU ini terlihat berupaya menempatkan pengusahaan hulu migas untuk kembali ke tingkatan badan usaha. Namun, konstruksi pengaturan yang ada tetap tidak dapat mengembalikan birokrasi perizinan dan administrasi menjadi satu atap satu pintu karena pemegang Kuasa Pertambangan dan Kuasa Usaha Pertambangan dalam hal ini adalah dua entitas yang berbeda.
Adapun dalam hal prinsip pengelolaan keuangan usaha dengan keuangan negara yang terpisah, pengaturan yang ada juga tidak menyebutkannya secara jelas. Satu hal yang terlihat jelas dan cukup positif dari pengaturan yang ada adalah bahwa hal tersebut adalah untuk memenuhi amanat Putusan MK No 36/PUU-X/2012 di dalam aspek konstitutional.
Dalam aspek penerimaan negara, pengaturan dalam draft RUU yang ada secara prinsip masih mengatur hal yang sama dengan UU Migas 22/2001, di mana penerimaan negara dari pengusahaan migas terdiri dari penerimaan bukan pajak dan penerimaan pajak dan atau iuran pungutan lain. Dalam hal perpajakan, pengaturan yang ada juga masih menyebutkan akan mengikuti ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Dari pengaturan tersebut, secara tidak langsung dapat kita ketahui bahwa di dalam perpajakan hulu migas, prinsip yang diterapkan dalam UU Migas mendatang kemungkinan memang bukan lex specialis dan bukan assume and discharge.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa di dalam draft RUU Migas yang sejauh ini berkembang, pengaturan yang ada cukup positif di dalam memenuhi aspek konstitutionalitas, namun tidak akan dapat mengembalikan ketiga keistimewaan mendasar yang diperlukan untuk berjalannya kontrak PSC secara efektif.
Sama halnya dengan UU Migas 22/2001, draft yang ada pada dasarnya hanya menyebut tentang kontrak pengusahaan migas, tetapi tidak secara integral memuat ketentuan-ketentuan yang dapat memfasilitasi operasionalitas dari kontrak tersebut. Situasi dan kondisi memang telah banyak berubah.
Berharap ketiga keistimewaan yang ada di dalam UU Pertamina 8/1971 untuk diterapkan kembali secara utuh di dalam pengusahaan hulu migas saat ini tentu sudah tidak proporsional. Namun, dengan pemahaman atas konsepsi dan konsekuensi yang ada, prinsip dan fundamentalnya yang perlu kita adopsi mestinya tetap kita gunakan sebagai pijakan dalam melakukan revisi UU Migas yang ada, untuk menghasilkan UU Migas baru yang lebih baik.