Liputan6.com; 3 Maret 2025
Penulis:Pri Agung Rakhmanto – Pengajar di FTKE Universitas Trisakti Founder dan Advisor ReforMiner Institute.
Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan swasembada energi menjadi salah satu visi dan pilar utama dalam Asta Cita. Di dalam implementasi program pemerintahannya, ketahanan energi (energy resilience), yang secara teknokratis lebih memiliki rasionalitas tampaknya kemudian menjadi semacam terjemahan dari swasembada energi, yang mungkin memang lebih bernuansa slogan atau penyemangat dalam konteks (politik) tertentu.
Hal ini dapat dilihat salah satunya di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPPKEN) yang dalam waktu dekat disampaikan akan segera diberlakukan menggantikan PPKEN No. 79 Tahun 2014. Di dalam berbagai kesempatan di publik, istilah ketahanan energi belakangan ini juga lebih sering digunakan oleh para pejabat di jajaran pemerintahannya, dari pada swasembada energi.
Merujuk (Hikam, 2014:9) ketahanan energi nasional didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga terjangkau (rasional) dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Ketahanan energi adalah sebuah gambaran sampai sejauh mana energi dapat disediakan secara tepat waktu dan terjamin ketersediaannya dengan harga yang terjangkau dan mutu yang dapat diterima. Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan energi meliputi empat aspek yaitu availability, accessibility, affordability, dan acceptability– sering diistilahkan sebagai 4A.
Availability merujuk pada ketersediaan sumber energi, baik dari domestik maupun luar negeri. Accessibility berkaitan dengan kemampuan untuk mengakses (sumber) energi, yang didalamnya mencakup daya jangkau infrastruktur jaringan energi, hingga kemampuan di dalam menjangkau energi di tengah tantangan geografik dan geopolitik.
Affordability berhubungan dengan aspek keterjangkauan energi dari sisi ekonomi, yang mencakup sisi biaya atau investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan harga energi pada konsumen.
Sedangkan acceptability berkaitan dengan kesesuaian atau kompatibilitas energi tersebut dengan aspek lingkungan hidup (tanah, air, udara) dan penerimaan dari masyarakat.
Dewan Energi Nasional (DEN) pada 2024 lalu mencatat indeks ketahanan energi nasional pada skor 6,64, atau masuk dalam kategori ‘tahan’ (skor 6 hingga 7,99). Disebutkan bahwa kondisi ‘tahan’ yang ada termasuk di dalam ketgori tahan di permulaan (skor kepala 6), dan belum ‘sangat tahan’ (skor kepala 7).
World Energy Council/WEC (2024) juga mencatat indeks ketahanan energi Indonesia 2023 secara overall adalah 60,5 (skala 1 – 100). Skor 60,5 tersebut adalah skor ketahanan energi Indonesia yang didasarkan atas penilaian pada tiga aspek energi (energy trilemma index) yaitu, security (66,4), equity (57,0) dan environmental sustainability (60,6).
Energy security mencakup bagaimana tingkat ketergantungan terhadap impor energi, diversifikasi dalam energi listrik, dan kapasitas penyimpanan energi. Energy equity mencakup aspek akses terhadap listrik, harga listrik dan harga BBM (bensin dan solar).
Sedangkan environmental sustainability terutama berkaitan dengan produksi listrik rendah karbon dan tingkat emisi CO2 per kapita dalam penggunaan energi.
Dengan skor tersebut, di Asia (Pasifik), Indonesia berada pada peringkat ke-12, di bawah negara seperti Australia (75,7), Jepang (75,0), Singapura (70,1), Malaysia (69,0), Tiongkok(64,4) dan Vietnam (61,9), dan di atas negara seperti Thailand (60,1), Filipina (56,9), India(55,6), Myanmar (46,5) dan Bangladesh (46,2).
Di dunia, Indonesia ada pada peringkat 58,dengan beberapa negara memiliki peringkat yang sama. Sebagai gambaran umum, negara yang termasuk di dalam 10 besar peringkat teratas, memiliki skor indeks ketahanan energi direntang 78,9 (Amerika Serikat) dan 83,2 (Denmark), sedangkan peringkat 10 besar terbawah memiliki skor dalam rentang 41,2 (Senegal) dan Nigeria (27,7).
Sementara itu, indeks ketahanan energi negara dengan sumber energi melimpah seperti Arab Saudi, Kuwait, Iran,dan Irak, memiliki skor berturut-turut 66,9 ; 65,8; 59,8; dan 52,2.
Dari hal di atas, jelas bahwa ketahanan energi memang bukan sebatas keberlimpahan akan sumber energi – apalagi yang masih sebatas potensi dan belum terbukti – ataupun berupa surplus produksi dan ekspor energi yang berlebih, tetapi mencakup bagaimana suatu negara mengelola sektor energinya hingga mampu menyediakannya secara cukup, dapat diakses-diandalkan, selaras dalam aspek ekonomi-lingkungan dan berkelanjutan.
Persoalan-persoalan di sektor energi yang belakangan terjadi di tanah air hingga menimbulkan kesulitan dan keresahan masyarakat luas, dua diantaranya adalah terjadinya antrean elpiji 3 kg di berbagai tempat selama beberapa waktu dan adanya kebingungan publik terkait dugaan adanya pengoplosan dan korupsi penyediaan BBM Pertalite-Pertamax, menunjukkan bahwa ketahanan energi bukan sebatas pada bahwa elpiji dan BBM itu ‘barang’nya tersedia.
Lebih jauh daripada hal itu, adalah apakah di dalam ketersediannya itu memenuhi kelayakan indikator-kriteria pengelolaan energi lainnya, yang membuat negara itu tidak lagi rentan terhadap persoalan-persoalan energi tersebut.
Dalam kasus antrean elpiji 3 kg, ada setidaknya tiga aspek yang terkait di dalam pengelolaan sektor energi kita yaitu persoalan (ketergantungan) impor, keterbatasan infrastruktur dan subsidi harga.
Dari sekitar 8 juta ton per tahun kebutuhan elpiji, kita mengimpor 6 – 7 juta ton per tahun karena kapasitas kilang domesik baru mampu memproduksi sekitar 1,7 juta ton per tahun. Harga elpiji 3 kg yang diberlakukan adalah harga subsidi, dengan besaran mencapai Rp 12 ribu per kg.
Dalam hal dugaan adanya pengoplosan dan korupsi dalam pengadaan-penyediaan BBM, juga berkaitan dengan impor-keterbatasan infrastruktur dan subsidi-pengaturan harga. Konsumsi BBM nasional mencapai 505 juta barel per tahun (1,38 juta barel per hari), dipenuhi dari impor sebesar 297 juta barel, berupa 129 juta barel impor dalam bentuk minyak mentah dan 168 juta barel impor dalam bentuk BBM.
Harga yang diberlakukan untuk BBM domestik tertentu tidak sesuai dengan harga keekonomiannya,sehingga ada kompensasi selisih harga yang bersumber dari keuangan negara. Kompensasi atas selisih harga itu secara prinsip sama dengan subsidi harga, hanya dibedakan secara istilah, mengikuti peraturan perundangan yang ada. Akar masalah dari kedua persoalan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya adalah sama, yaitu persoalan impor, keterbatasan infrastruktur dan subsidi harga.
Ketiga hal tersebut, sejatinya sudah merupakan permasalahan akut sektor energi di tanah air lebih dari dua dekade, dan terbukti masih bertahan hingga kini. Kunci untuk mengatasi permasalahan tersebut, secara teknis, sejatinya juga sudah sangat dipahami para penyelenggara pemerintahan di sektor energi, yaitu ada pada investasi dan kebijakan harga energi yang tepat.
Keduanya pada dasarnya saling berkaitan. Investasi masif diperlukan di seluruh tahapan penyediaan energi, dari mulai eksplorasi, produksi, hingga infrastrukturu ntuk distribusi, akses dan harga energi yang lebih baik. Kebijakan harga yang tepat diperlukan, bukan semata untuk keperluan realokasi anggaran subsidi dan sumber daya yang lebih efisien dan produktif, tetapi karena harga yang tepat (tanpa subsidi, sesuai nilai keekonomian) akan memberikan sinyal positif dan menjadi daya tarik bagi investasi itu sendiri.
Dalam hal investasi, seberapa masif skala yang diperlukan?
Ketua Delegasi Indonesia Hashim Djojohadikusumo pada UN Climate Change Conference (COP29) di Baku Azerbaijan menyebutkan, pemerintah diantaranya telah menggariskan program investasi mencapai USD 235 miliar di sektor energi untuk 15 tahun ke depan hingga 2040 (rata-rata sekitar USD 15 miliar per tahun).
Investasi itu ditujukan untuk penambahan 100 gigawatt kapasitas kelistrikan yang 75 persen diantaranya merupakan energi baru dan terbarukan (EBT). Nilai investasi sebesar itu berarti kurang lebih hampir dua kali lipat dari nilai realisasi investasi kelistrikan dan EBTKE tahun 2024 yang sebesar USD 7,7 miliar dan USD 1,8 miliar.
Di hulu migas, untuk bisa mengejar ambisi produksi sebesar 1 juta barel minyakper hari (BOPD) dan gas menjadi 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) di tahun 2030, Indonesia membutuhkan investasi hingga sekitar USD 20 miliar per tahun (SKK Migas,2023).
Untuk pembangunan kilang BBM baru, investasi yang diperlukan bisa mencapai USD 40 miliar. Investasi sebesar itu tentu tak dapat dipenuhi dengan hanya mengandalkan pembiayaan APBN. Perlu investasi dari badan usaha, baik BUMN dan swasta baik dari dalam maupun luar negeri.
Tugas pemerintah (mestinya) lebih pada menjadi enabler dan fasilitator yang baik untuk dapat membuat investasi itu terealisasi dan berjalan baik. Dalam hal kebijakan (pengaturan) harga energi, formulanya secara teknis sejatinya juga sudah sangat jelas; berlakukan harga energi di setiap mata rantai penyediaannya dengan didasarkan atas nilai keekonomiannya.
Subsidi atau insentif tidak diberikan kepada produk atau harga komoditas energi, tetapi langsung kepada subyek pelaku usaha atau pengguna energi yang tertarget. Pasar atau sektor energi, dengan demikian, tidak terdistorsi, karena ada insentif bagi seluruh pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumber daya dan menggunakannya secara rasional dan efisien.
Kebijakan pengaturan harga secara langsung dan kebijakan populis dalam bentuk penetapan harga energi yang tidak sesuai nilai keekonomian dan pemberian subsidi energi dalam bentuk subsidi harga komoditas tidak selayaknya dilanjutkan.
Ya, secara teknokratis, pembenahan terhadap dua hal fundamental itulah yang sejatinya merupakan elemen kunci untuk meningkatkan ketahanan energi kita. Merealisasikan investasi dan mereformasi sistem-kema subsidi energi, dapat dikatakan merupakan tugas terbesar siapa saja yang menduduki posisi kunci di sektor energi negeri ini.