Friday, April 25, 2025
HomeReforminer di Media2024Kebutuhan Terus Meningkat, Produksi Minyak Dalam Negeri Kudu Didongkrak

Kebutuhan Terus Meningkat, Produksi Minyak Dalam Negeri Kudu Didongkrak

RM.id; 20 Maret 2025

RM.id Rakyat Merdeka – Direktur Eksekutif Reformainer Institute Komaidi Notonegoro mengingatkan, potensi bahaya yang muncul jika ketergantungan impor terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) terus meningkat.

Komaidi mengatakan, selama periode 1965 hingga awal 2000-an, produksi minyak nasional lebih tinggi dibandingkan konsumsi domestik. Bahkan di periode tersebut produksi pernah mencapai surplus sekitar 1,5 juta barel per hari (bpd).

Namun di awal tahun 2000-an, terjadi persimpangan antara produksi dan konsumsi. Bahkan di tahun 2004, konsumsi minyak nasional melebihi produksi, menyebabkan defisit energi yang terus melebar.

Hingga pada tahun 2023, konsumsi BBM membengkak mencapai 1,6 juta barel per day (bpd), jauh di bawah kemampuan produksi yang hanya mampu mencapai 600 ribu bpd.

“Kondisi ini menciptakan gap yang signifikan sehingga pemenuhan kebutuhannya harus dipenuhi melalui impor,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Komaidi menjelaskan, selama periode 2019-2023, rata-rata impor minyak mentah dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri adalah sebesar 100,94 juta barel per tahun, atau sekitar 22,50 persen dari kebutuhan minyak mentah di periode tersebut.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam periode tersebut, rata-rata produksi BBM Indonesia mencapai 295,075 ribu Barel Oil Ekuivalen (BOE) per tahun. Sementara rata-rata impor sebesar 149.175 ribu BOE per tahun. Adapun rata-rata konsumsi domestik sebesar 451.428 ribu BOE per tahun dan ekspor mencapai 20.866 ribu BOE per tahun.

“Kenapa impornya semakin besar? Ya karena memang produksi domestiknya kan kita sudah stagnan di kisaran 600 ribu BPD, bahkan mungkin terakhir nggak nyampe. Sementara kalau kita butuh 1,6 juta BPD, berarti kalau kita asumsikan 600 ribu itu 100 persen katakanlah masuk ke kilang domestic, maka masih perlu impor kombinasi sekitar 1 juta baik produk maupun crude (minyak mentah),” ungkapnya.

Makanya, untuk mengatasi gap impor yang cukup besar ini, maka tidak ada pilihan lain kemampuan produksi dalam negeri harus ditingkatkan. Hanya saja masalahnya, industri hulu migas itu rantai bisnisnya panjang. Sehingga jika menemukan cadangan minyak hari ini, itu baru bisa diproduksi sekitar 4-5 tahun ke depan.

“Artinya dari tahun sekarang sampai 5 tahun ke depan, mau tidak mau kita harus menambah produksi. Itu kalau kita doing something,” ujarnya.

Di satu sisi, sambung dia, produksi nasional yang mencapai 600 ribu bpd ini, tidak sepenuhnya untuk dalam negeri mengingat, 40 persen dari jumlah tersebut akan kembali dalam bentuk Cost Recovery (penggantian biaya operasi), dan bagi hasil dengan mitra.

Sebab mitra dalam KOntrak Kerjasama (K3S) minyak dna gas (migas) seperti Exxon Mobile, BP Tangguh, Chevron, Conoco Philips, dan lainnya, dalam Production Sharing Contract (PSC)-nya itu bebas menggunakan produk yang didapatkannya itu untuk dibawa pulang atau dijual di Indonesia.

“Jadi seperti Exxon, itu mereka akan bawa pulang karena kapasitas atau speknya sesuai dengan kilang yang mereka punya. Artinya dari 600 ribu itu pun kita nggak dapat 100 persen,” ujarnya.

Situasi ini pula, yang menurutnya, membuat situasi dalam negeri menjadi cukup rawan. “Kesimpulannya apa? Berarti angka impornya makin gede. Karena yang 600 ribu (bpd) pun mungkin kita cuma dapet 450 ribu (bpd), sementara kebutuhan 1,6. Nah impor yang semakin gede ini artinya di situ ada celah yang luar biasa besar karena berkaitan dengan nilai uang yang cukup besar,” tambahnya.

Memang tak bisa dipungkiri, sambung pakar energi jebolan Universitas Airlangga ini, impor menjadi solusi untuk pemenuhan energi sebagai upaya menghindari berbagai resiko sosial ekonomi dari BBM. Sebab bisa dibayangkan bagaimana kekacauan sosial yang bisa terjadi jika BBM langka.

“Jadi betapa luar biasanya, di dalam konteks APBN, di dalam konteks perputaran cashflow-nya BUMN maupun di dalam konteks kepentingan sosial ekonomi BBM ini memegang peran yang sangat vital,” tambahnya.

Sementara pakar energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri mengatakan kegiatan mencampur/blending/oplos adalah proses yang lazim dilakukan dalam pembuatan bensin.

Adapun kegiatan blending ini biasanya dilakukan untuk menghasilkan BBM Pertamax (RON 92) dengan mencampur 60 persen Pertalite (RON 90) dan 40 persen RON 95.

Namun demikian, dia mengingatkan kegiatan blending ini hanya boleh dilakukan oleh pihak yang mendapat ijin baik di Kilang maupun di Terminal Bahan Bakar (TBBM). Tujuan blending ini pun dimaksudkan untuk memenuhi spesifikasi Migas atau memperbaiki kinerja bahan bakar.

“Namun harus diingat, Jika BBM RON tinggi dicampur dengan BBM RON rendah, maka kinerjanya akan berkurang dan akan menimbulkan masalah deposit di dalam mesin,” wantinya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments