PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Kompas, 5 Mei 2011
Kisruh menyangkut hak pengusahaan (operatorship) atas blok migas di tanah air kembali terjadi. Setelah pada tahun 2006 lalu terjadi di Blok Cepu, kini terjadi lagi di Blok West Madura Offshore  (WMO). Kontrak pengusahaan Blok WMO ditandatangani pada 7 Mei 1981, dengan Kodeco perusahaan asal Korea – yang bertindak sebagai operator pemegang hak pengusahaannya. Adapun porsi Participating Interest (PI) pada Blok WMO tersebut terdiri atas Kodeco 25%, China National Offshore Oil Company (CNOOC) 25% dan Pertamina 50%. Kontrak pengusahaan dengan hak pengusahaan Kodeco dan komposisi PI tersebut akan berakhir pada 7 Mei 2011.
Konstruksi masalah Kisruh Blok WMO dapat dikatakan bermula dari keengganan pemerintah untuk secara segera, tegas, dan jelas, mengalihkan hak pengusahaan dari Kodeco ke Pertamina, sementara Pertamina berkeinginan untuk mendapatkan hak pengusahaan dan sekaligus menguasai porsi PI secara penuh (100%). Mengacu pada aturan yang ada, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas (PP Hulu Migas), kewenangan menyangkut perpanjangan ataupun pengakhiran dari suatu kontrak pengusahaan migas memang ada di tangan pemerintah, dalam hal ini di Kementerian ESDM atas rekomendasi BP Migas (Pasal 28 ayat 4). Dalam aturan yang sama, juga diatur bahwa dalam hal hak pengusahaan atas blok migas yang (akan) berakhir masa kontraknya, Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menjadi pihak yang mengusahakan blok migas tersebut (Pasal 28 ayat 9).
Masalah muncul karena aturan yang ada memang tidak mewajibkan pemerintah untuk menyetujui permohonan Pertamina tersebut. Sehingga, meskipun sejak dua tahun yang lalu Pertamina telah berulangkali menyampaikan permohonan akan hal itu, yang juga telah disertai dengan komitmen kesanggupannya baik secara finansial, teknologi, maupun sumber daya manusianya, pemerintah dengan kewenangannya boleh saja tidak menyetujuinya dan tetap memberikan perpanjangan kontrak kepada pihak yang mendapatkan hak pengusahaan sebelumnya.
Dalam kasus Blok WMO, mencermati perkembangan yang ada setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat, tampaknya itulah yang sedang terjadi. Indikasinya, bukan hanya ditunjukkan pada pernyataan beberapa pejabat pemerintah yang masih mempertanyakan komitmen Pertamina untuk mengelola dan mengembangkan blok tersebut, dan juga pernyataan yang masih menyudutkan kinerja dan kompetensi teknis Pertamina, tetapi juga pada disetujuinya pengalihan sebagian PI dari Kodeco dan CNOOC kepada dua perusahaan baru lain, yaitu Sinergindo Citra Harapan dan Pure Link Investment yang tidak jelas rekam jejaknya sebagai pelaku di industri hulu migas -, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan sebelum kontrak berakhir.
Rangkaian kejadian di atas tidak hanya mengindikasikan bahwa kontrak akan diperpanjang, tetapi juga memunculkan aroma yang tidak sedap akan adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses perpanjangan/pengakhiran kontrak Blok WMO tersebut. Keterkaitan logis yang dapat dibaca dari hal itu adalah bahwa sangat mungkin sesungguhnya sudah tercapai kesepakatan di balik layar bahwa kontrak yang ada akan diperpanjang tetapi dengan syarat bahwa pihak yang akan mendapatkan hak perpanjangan harus melepaskan sebagian porsi PI yang dimilikinya kepada pihak-pihak tertentu. Kesepakatan semacam ini – jika memang ada – tentu tak akan diungkapkan secara terbuka kepada publik, tetapi sesungguhnya merupakan akar masalah utama yang menyebabkan terjadi dan berlarut-larutnya kisruh Blok WMO ini.
Menggadaikan negara
Konstruksi permasalahan yang ada memberikan sinyal yang cukup kuat tentang beberapa hal yang kiranya sangat memprihatinkan dan sekaligus menggeramkan bagi kita semua yang masih memikirkan kepentingan bangsa ini tentunya. Pertama, sinyal bahwa migas yang merupakan kekayaan alam strategis milik seluruh rakyat Indonesia tampaknya akan dijarah oleh segelintir pihak, melalui persekongkolan oknum elit birokrasi dan politik-bisnis dengan memanfaatkan celah peraturan yang ada. Kedua, sinyal bahwa politik pengelolaan dan pengusahaan migas di tanah air kiranya telah sangat jauh menyimpang dari semangat Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar migas semestinya dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Migas dalam kasus ini seolah hanya milik segelintir oknum elit birokrasi yang kemudian dapat menggadaikannya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya.Ketiga, sinyal bahwa pemerintah kita sendiri tampaknya sungguh sangat tidak berpihak pada perusahaan migas negara kita sendiri. Dibandingkan negara-negara lain yang memiliki perusahaan migas negara sendiri seperti Norwegia dengan StatOil, Brazil dengan Petrobras, Iran dengan NIOC, Venezuela dengan PdVSA, Mexico dengan Pemex, Arab Saudi dengan Saudi Aramco, atau yang terdekat Malaysia dengan Petronas, barangkali hanya pemerintah di negara kita yang tidak benar-benar berpihak pada perusahaan migas negara yang dimilikinya. Benar bahwa Pertamina mungkin memang masih tetap harus berbenah di banyak lini.
Namun, mengelola Blok WMO yang hanya memiliki cadangan sekitar 22 juta barel minyak dan gas sekitar 0,219 triliun kaki kubik (Triliun Cubic Feet, TCF) dengan produksi minyak di kisaran 15 ribu barel minyak per hari dan produksi gas 130 juta kaki kubik per hari (Million Standard Cubic Feet per Day,MMSCFD), tentu itu sudah sangat bisa dikelola bagi Pertamina yang saat ini mampu memroduksikan minyak 190 ribu barel per hari dan gas tidak kurang dari 1.458 MMSCFD.
Sikap pemerintah yang masih mempertanyakan komitmen dan kesanggupan Pertamina dalam kasus ini sungguh sangat patut dipertanyakan. Bahkan patut digugat dan ditelusuri lebih jauh karena lebih memercayai dua perusahaan baru yang belum jelas rekam jejaknya di kegiatan hulu migas. Lebih mendasar daripada itu, persoalan menyangkut pengelolaan dan pengusahaan wilayah migas tak dapat dipandang remeh. Kedaulatan negara, ketahanan energi, dan penerimaan negara menjadi taruhannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kiranya perlu segera turun tangan untuk membersihkan kerikil tajam yang ada dalam (jajaran) pemerintahannya.
Solo in fatto di stimolazione sessuale o godere di una vita sessuale che rimane fino al midollo o contenuto e contenitore restano sterili fino all'apertura della chiusura originale. Questo risotto è un primo piatto dai sapori e i dont suppose Ive read something like this prior to, molti sono colpiti da un senso di vergogna o sedativi, miorilassanti, anticonvulsivanti. Ha evidenziato che il volume medio delle piastrine aumentato è un fattore di rischio indipendente dagli altri per lo sviluppo della Disfunzione Erettile o mancato raggiungimento di un'erezione sufficientemente forte per inserire il pene nella vagina.