PRI AGUNG RAKHMANTO;
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Kompas, 11 Juli 2011
Permasalahan terkait subsidi BBM seperti tak pernah usai. Kurang lebih selama satu dekade terakhir, dari tahun ke tahun bangsa ini selalu berkutat dengan masalah ini. Anggaran subsidi BBM membengkak, APBN tertekan, pemerintah maju mundur menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM, hampir selalu terjadi di setiap tahun anggaran. Hal pokok yang selalu dipersoalkan sehingga menjadikan ?dilema? bagi pemerintah ini sebenarnya juga masih selalu sama, yaitu bahwa kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi sehingga akan meningkatkan angka kemiskinan. Pemerintah, terlebih yang mementingkan pencitraan dengan angka-angka makro, sangat mengkhawatirkan resiko ini, baik secara ekonomi maupun politik. Di sisi lain, upaya konkret yang sistematis dan komprehensif untuk mengurangi besaran subsidi BBM secara signifikan, katakanlah dengan mengembangkan energi alternatif seperti bahan-bakar gas (BBG) dan bahan-bakar nabati (BBN) untuk sektor transportasi, juga tak kunjung dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Yang ada hanya beragam wacana dan rencana pembatasan BBM yang tak jelas sehingga juga tak ada wujudnya hingga kini. Alhasil, dalam masalah subsidi BBM bangsa ini jalan di tempat.
Memelihara masalah
Bahwa kita hingga saat ini masih terus berkutat dengan masalah subsidi BBM ini sesungguhnya agak mengherankan. Mengherankan, karena publik sebenarnya sebagian besar sudah sangat memahami bahwa subsidi BBM lebih banyak sisi negatifnya daripada manfaatnya. Lebih mengherankan, karena di kalangan para penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif, mayoritas sebenarnya juga sudah sama-sama mahfum bahwa subsidi BBM pada gilirannya tetap harus dihapuskan. Subsidi tetap akan diberikan, tidak dalam bentuk subsidi terhadap harga BBM, tetapi langsung kepada pengguna yang berhak atau kepada masyarakat tidak mampu dalam bentuk jaminan dan perlindungan sosial. Namun, yang terjadi, dengan pemahaman umum, dan khususnya pemahaman para penyelenggara pemerintahan yang sudah sedemikian, toh tak membuat bangsa ini secara kolektif bersama-sama bergerak untuk keluar dari masalah ini. Yang terjadi justru kita secara kolektif terus memelihara masalah ini. Politisi, selalu menggunakan momentum dan kebijakan kenaikan harga BBM sebagai alat untuk menyudutkan dan mendegradasi legitimasi pemerintah. Padahal, tidak jarang, dalam banyak rapat kerja dengan pihak eksekutif, mereka sebelumnya telah menyetujui dan mendukungya. Pansus hak angket BBM, yang mempermasalahkan kenaikan harga BBM pada 2008 lalu, adalah salah satu wujudnya. Pemerintah, di kala memiliki kewenangan dan momentum untuk keluar dari masalah ini, pun ternyata juga juga hanya menjadikannya sebagai instrumen politik untuk menaikkan popularitas, dengan menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali (!), dari Rp. 6.000 per liter menjadi Rp. 5.500, Rp. 5.000, dan kembali lagi ke harga semula Rp. 4.500. Jadi, dengan kata lain, kita sendirilah sebenarnya yang terus menerus memelihara masalah subsidi BBM ini, meskipun sudah sama-sama mengetahui dampak dan konsekuensi negatif apa yang bakal kita hadapi ke depannya.
Konsensus nasional
Dengan konstruksi permasalahan yang ada, dimana persoalan mendasar sebenarnya terletak pada ketiadaan kemauan (atau ketidakmauan) politik dari kita sendiri untuk keluar dari masalah subsidi BBM ini, maka penyelesaiannya pun tidak akan cukup dan tidak akan bisa jika hanya langsung menggunakan instrumen dan kebijakan teknis. Kita memerlukan konsensus nasional terlebih dahulu untuk secara sadar dan kolektif bersama-sama bergerak keluar dari masalah subsidi BBM ini. Konsensus nasional yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya berupa kesadaran dan pemahaman bersama akan perlunya penghapusan subsidi BBM sebagaimana yang sudah ada saat ini, tetapi adalah konsensus nasional dalam pengertian adanya kesepakatan nasional secara formal antara pemerintah dan DPR untuk secara bertahap mengurangi dan menghapus subsidi BBM ini secara sungguh-sungguh. Wujud konkretnya adalah dengan kebijakan dan program tahunan yang mengikat yang dituangkan ke dalam Undang-Undang (UU) APBN dalam suatu kurun waktu tertentu, katakanlah 2012 ? 2014. Jadi, dalam setiap UU APBN tahun berjalan, harus tercantum secara jelas dan eksplisit (tidak multitafsir) kebijakan apa yang harus dilakukan pemerintah. Misalkan, menaikkan harga BBM sebesar 10% setiap tahun hingga harga non-subsidi tercapai, atau dengan melakukan konversi bensin premium sebanyak 2 juta kilo liter per tahun ke BBG dan BBN selama periode tertentu.
Undang-Undang, yang di dalam konteks ini adalah UU APBN, adalah produk kesepakatan politik formal antara pemerintah dan DPR yang berisikan apa yang akan dilakukan pemerintah dalam suatu tahun anggaran berjalan dengan pengawasan dari DPR. Jadi undang-undang itu sendiri pada hakekatnya adalah formalisasi dari konsensus nasional itu sendiri. Formalisasi konsensus nasional tentang penghapuasan subsidi BBM (ke dalam UU APBN) menjadi penting karena hal itu bersifat mengikat untuk dilaksanakan. Formalisasi konsensus juga menjadi sangat penting sebagai dasar hukum tertulis yang tidak memungkinkan masing-masing pihak yang berkonsensus untuk bisa berkelit dari apa yang sudah ditetapkan dan menjadi kesepakatan bersama. Jika pemerintah tak menjalankan, maka pemerintah berarti melanggar peraturan perundangan dan dapat dikenakan sanksi. Sebaliknya, jika DPR ataupun para politisi yang ada di dalamnya kemudian memainkan manuver politik dan melakukan politisasi terhadapnya, pemerintah dan masyarakat pun dapat bersama-sama menggugat bahwa mereka tak dapat melakukan itu karena secara formal telah berkonsensus dan menyetujuinya.
Berpijak pada pengalaman terdahulu dan kondisi yang ada, hanya dengan konsensus nasional yang dituangkan ke dalam peraturan perundangan formal itulah kita bisa melangkah maju untuk keluar dari masalah klasik subsidi BBM ini. Tanpa itu, sepuluh tahun lalu kita membicarakan subsidi BBM, hari ini kita membicarakan subsidi BBM, dan sepuluh tahun yang akan datang kita pun masih akan membicarakan subsidi BBM yang sama. Pilihan untuk maju, jalan di tempat, atau mundur, ada pada kita sendiri.