Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
KORAN SINDO : 27 Februari 2012
Pada 28 Desember 2011 diundangkan tiga peraturan menteri keuangan (PMK) sekaligus untuk pengaturan di sektor minyak dan gas bumi.
Tiga PMK tersebut adalah PMK No 256.011/2011 tentang Batasan Pengeluaran Alokasi Biaya Tidak Langsung Kantor Pusat yang Dapat Dikembalikan dalam Penghitungan bagi Hasil dan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi; PMK Nomor 257/PMK.011/ 2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Penghasilan Participating Interest; dan PMK Nomor 258/PMK.011/2011 tentang Batasan Maksimum Biaya Remunerasi Tenaga Kerja Asing untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi.
Tiga PMK tersebut merupakan kebijakan pelaksana atau aturan turunan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan informasi yang ada, diundangkannya tiga PMK tersebut sudah direncanakan sejak lama. Hanya, proses pengundangannya masih menunggu hasil peninjauan kembali (PK) atas PP No 79/2010 yang diajukan oleh Indonesia Petroleum Association (IPA). https://mostbet-games.net/es_cl/
Catatan atas PMK Migas
Mengacu pada hierarki perundangan dan substansi yang tertuang di dalamnya, terbitnya PMK Migas tersebut merupakan kecenderungan bentuk campur tangan non-stakeholder migas yang terlalu dalam terhadap pengaturan sektor migas. Pasalnya, PP No 79/2010 yang menjadi dasar terbitnya PMK tersebut bukan aturan turunan atas UU Migas,yang seharusnya menjadi payung hukum utama di dalam pengelolaan sektor migas.
Akibatnya, implementasi PMK tersebut menjadi tidak efisien mengingat substansi yang ada di dalamnya pada dasarnya telah diatur pada kontrak (PSC) dan juga diatur di dalam peraturan lembaga/badan yang terkait seperti Kementerian ESDM dan BP Migas. Terbitnya PMK Migas tersebut tidak lebih hanya sebagai salah satu instrumen untuk menggali potensi penerimaan dari sektor migas yang oleh sejumlah pihak diyakini masih sangat besar.
Terbitnya tiga PMK Migas tersebut juga tidak terlepas dari situasi dan nuansa yang berkembang belakangan ini. Adanya keinginan kuat dari parlemen (DPR) untuk membatasi besaran cost recovery dan target peningkatan penerimaan pajak yang ditetapkan sebesar 72 % dari total penerimaan negara.
Selain itu,aturan tersebut juga muncul karena adanya sentimen negatif terhadap industri migas yang dianggap tidak transparan dalam membayar kewajiban kepada negara sehingga mendorong terbitnya regulasi tersebut.
Target Produksi Minyak 1 Juta Barel
Tidak berselang lama setelah terbitnya PMK Migas, pada 10 Januari 2012 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 2/2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Regulasi tersebut menginstruksikan kepada 11 (sebelas) kementerian/ lembaga, Badan Pertanahan Nasional (BPN), BP Migas, para gubernur, dan para bupati/wali kota, untuk mendukung pencapaian target produksi minyak bumi nasional yang ditetapkan paling sedikit rata-rata 1,01 juta barel per hari pada 2014.
Dalam konteks substansi,inpres tersebut cenderung bertentangan dengan tiga PMK Migas yang telah diterbitkan. Jika Inpres No 2/2012 menginstruksikan semua pihak mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi (memberi kemudahan) untuk mencapai target produksi minyak bumi nasional yang telah ditetapkan, ketentuan yang tertuang di dalam tiga PMK Migas justru menjadi disinsentif bagi perkembangan iklim investasi di sektor migas.
Bahkan,industri migas melalui Indonesia Petroleum Association (IPA) sejak awal menilai bahwa PP yang menjadi dasar terbitnya tiga PMK Migas tersebut bermasalah. Dalam konteks koordinasi, terbitnya regulasi yang cenderung bertolak belakang tersebut mencerminkan adanya permasalahan yang sangat serius dalam hal koordinasi antar instansi pemerintah, baik dalam lintas sektoral maupun lintas regional.
Koordinasi antarinstansi pemerintah hingga sejauh ini masih menjadi barang yang mahal. Akibatnya, hampir sebagian besar instansi pemerintah hanya cenderung fokus pada kepentingan dan target kinerja sektor masing-masing. Bahkan, sering kali target kinerja yang ditetapkan oleh masing-masing sektor tersebut justru tidak sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.
Dalam hal pencapaian target produksi minyak nasional misalnya, sebagian besar kebijakan sektoral seperti kebijakan sektor kehutanan, ling-kungan hidup, perpajakan, tata guna lahan, dan implementasi otonomi daerah, justru cenderung menghambat pencapaian target tersebut.
Karena itu, sepanjang koordinasi lintas sektoral, lintas regional, dan harmonisasi kebijakan, belum berjalan dengan baik, target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari kiranya hanya bagus dalam dokumen kebijakan namun sulit untuk direalisasikan.