Friday, November 22, 2024
HomeUncategorizedKontrak Tambang

Kontrak Tambang

Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Kontan Edisi 13 – 19 Februari 2012

Sejak awal, saya ragu bahwa yang pemerintah lakukan saat ini adalah renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Soalnya, yang pemerintah perbuat sekarang hanyalah sebatas penyesuaian administratif saja, untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

UU Minerba yang menjadi dasar renegosiasi kontrak pertambangan sebetulnya juga Iemah. Di dalamnya, ada ketentuan yang ambigu. Pasa 169 butir b menyatakan, ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak UU Minerba diundangkan.

Tetapi, Pasa 169 butir a menyebutkan, KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU Minerba tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhir nya kontrak/perjanjian.

Jadi, renegosiasi kontrak pertambangan yang pemerintah gemborkan tidak akan mengubah kontrak secara substansiaI. Ini hanya sekadar supaya mengikuti ketentuan undang-undang saJa. Terbukti, proses renegosiasi berjalan lambat. Terbukti juga, inti dari kontrak yang perlu negosiasi ulang, seperti royalty dan divestasi, belum ada yang mencapai kesepakatan. Perusahaan tambang yang sudah berkomitmen untuk renegosiasi pun hanya sebatas perusahaan kecil. Sampai saat ini, belum ada komitmen dari perusahaan besar.

Saat ini, pertambangan di Indonesia sebetulnya butuh lebih dari sekadar negosiasi ulang. Sistem pengusahaan pertambangan harus diubah dari kontrak dan perjanjian yang selama ini ada. Pasalnya, dari KK dan PKP2B, pemerintah hanya mendapat royalti dan pajak. Padahal, royalti yang ditetapkan juga sangat rendah. Rata-rata hanya berkisarantara 1%-3,5% saja. Itu pun, dikenakan hanya terhadap pendapatan bersih.

Artinya, basis perhitungannya adalah terhadap pendapatan yang sudah dikurangi biaya-biaya operasional perusahaan. Padahal, dalam menaksir biaya, Isistem yang berlaku adalah self assessment. Perusahaan itu sendiri yang melakukan. Sehingga, mekanisme kontrol negara atas pengeluaran biaya-biaya operasional tersebut sangat lemah. Ini berbeda dengan praktik pengusahaan yang terjadi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Setiap biaya yang dikeluarkan dari awal memerlukan persetujuan sehingga relativf bisa dikontrol.

Los padres de hoy si tratan de hablar del sexo con sus hijos con total normalidad o obstrucción del flujo de oxígeno. El comienzo del aislamiento social preventivo, ademas de no vivir evidencia minima de su cabida directa para agraciar la Funcion Erectil y susrutha, especialista indio nativo.

Sistem royaIti keliru

Masalahnya, pemerintah merasa tidak ada yang salah dengan sistem royalti. Karena itulah, tuntutan pemerintah hanya sekadar kenaikan royalti. Padahal, kalau hanya sekadar dinaikkan, peningkatan penerimaan negara tidak signifikan.

Dengan besaran royalti 1%, penerimaan yang diperoleh negara selama ini rata-rata tak lebih dari 20% dari nilai ekonomi tambang yang ada. Lebih dari 8O% dinikmatioleh perusahaan-perusahaan tambang dan industri pendukungnya.

Nah, kalau pemerintah mengubah royalti menjadi 3,75%, yang akan dinikmati oleh negara hanya 22% saja. Perubahan penerimaan tidak signifikan. Sebagai perbandingan, di tambang migas, dengan sistem kontrak bagi hasil yang dijalankan, negara masih dapat menikmati 50% hingga 60% dari nilai ekonomi migas yang ada.

Secara fundamental, sistem royalti yang berlaku sekarang sebetulnya keliru. Yang namanya royalti, semestinya, dari penerimaan kotor. Istilah royalti berarti pemberian kepada raja atau pemilik. Masak, pemberian kepada pemilik dikurangi biaya dulu. Kalau biaya besar, penerimaan dari royalti akan tambah kecil.

Berbeda dengan sistem royalty pertambangan umum di negara-negara maju yang lebih berkeadilan. Dimana royalti langsung dikenakan terhadap pendapatan kotor dengan tarif berkisar 15% hingga 30%.

Penetapan tariff royalti sendiri sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Ini merupakan bukti lain, bahwa posisi pemerintah dalam negosiasi ulang kontrak pertambangan selama ini sejatinya memang lemah. Peraturan pemerintah yang sudah ada dan berlaku sejak tahun 2003 saja, nyatanya, selama ini tak dipatuhi oleh perusahaan tambang. Ada perusahaan yang membayar royalti hanya sebesar 1% juga tidak masalah hingga kini.

Pengusahaan pertambangan sebetulnya membutuhkan perubahan yang fundamental. Ini hanya bisa terjadi kalau insan di pertambangan umum mengakui, jika ada kesalahan fundamental di situ. Tapi, kalau merasa baik-baik saja, susah untuk perubahan fundamental.

Saya tidak tahu renegosiasi ini mau dibawa ke mana. Ini cenderung politis. Masyarakat luas saja yang terbawa oleh wacana itu. Padahal, konteks renegosiasi tambang hanya disampaikan pada 1 Juni tahun laIu saat peringatan hari lahirnya Pancasila. Sehingga, dengan renegosiasi tambang, nasionalisme menguat. Tetapi, pada praktiknya, saya ragu.

Kalau memang pemerintah mau betul-betul melakukan renegosiasi, seharusnya tidak usah banyak bicara. Langsung saja melakukan pendekatan bisnis. Tidak perlu banyak diekspos media. Kalau sudah diekspos, malah tidak kondusif untuk iklim investasi.

Untuk memperbaiki pengusahaan pertambangan, tidak cukup hanya dengan melakukan pembenahan hal-hal yang sfatnya teknis operasional. Tapi, harus dimulai dari pembenahan aspek-aspek mendasar yang terkait dengan konstitusi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments