Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
MEDIA INDONESIA, Kamis, 12 Januari 2012
Berkaitan dengan pengaturan BBM bersubsidi, pilihan pemerintah tampaknya sudah mengerucut pada kebijakan pembatasan. Ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU 22/2011 tentang APBN 2012, yang menyebutkan pengendalian anggaran subsidi BBM dilakukan melalui kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, serta pernyataan bahwa keputusan presiden (keppres) tentang Pengaturan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi akan keluar dalam waktu dekat, mempertegas bahwa pemerintah telah bulat pada pilihan tersebut.
Sebagai upaya memberikan solusi yang komprehensif, pemerintah menyampaikan bahwa pelaksanaan program pembatasan pada tahun ini disertai dengan program konversi BBM ke BBG. Hal tersebut diklaim akan meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya, pemilik kendaraan pribadi yang sebelumnya menggunakan BBM bersubsidi dapat beralih menggunakan BBG yang harganya lebih murah ketimbang harga BBM bersubsidi sekalipun.
Kesiapan dan konsistensi
Meski seolah merupakan pilihan kebijakan yang tepat, pelaksanaan program pembatasan dan konversi BBM ke BBG masih diragukan oleh sejumlah pihak. Benarkah pemerintah siap dan akan konsisten menjalankan program tersebut? Jika melihat ke belakang, kiranya pertanyaan tersebut tidaklah berlebihan. Rencana kebijakan yang sama juga pernah disosialisasikan bahwa akan diimplementasikan pada 2011. Pembatasan BBM yang direncanakan dan disosialisasikan sejak 2010 tersebut mengalami beberapa kali penjadwalan ulang di dalam implementasinya dan hingga berakhirnya tahun anggaran 2011 nyatanya tidak direalisasikan.
Berkaitan dengan program konversi BBM ke BBG, beberapa negara yang telah berhasil mengembangkan BBG untuk sektor transportasi karena mereka mampu mengimplementasikan kebijakan yang komprehensif, melibatkan multisektoral, serta konsisten dalam pelaksanaanya.
Meski terdapat beberapa perbedaan, langkah-langkah yang menyebabkan berhasilnya pengembangan BBG di negara-negara tersebut diantaranya: (1) komitmen kuat pemerintah untuk mempromosikan BBG (Pakistan misalnya, tidak kurang melakukan 3.000 workshop tentang BBG), (2) memberikan kemudahan proses perizinan untuk memasarkan BBG, (3) memprioritaskan jaringan gas alam untuk SPBG, (4) membebaskan bea impor dan pajak penjualan atas impor mesin, perlengkapan, kit dan silinder BBG, (5) memberikan insentif bagi impor kendaraan BBG, (6) mendukung penuh produksi lokal kendaraan BBG dan perlengkapan penunjang lainnya, (7) memberikan insentif pajak dan diskon biaya bengkel untuk kendaraan BBG, (8) meluncurkan berbagai program pendanaan untuk konversi BBM ke BBG, dan (9) melibatkan bengkel dan dealer secara penuh dalam program konversi BBM ke BBG.
Sementara itu, berkaitan dengan konversi BBM ke BBG di Tanah Air, pemerintah menargetkan tidak kurang dari 1,2 juta unit kendaraan yang akan dikonversi pada tahap awal. Dengan praktik di negara-negara lain bahwa satu SPBG idealnya melayani 500 kendaraan, setidaknya dibutuhkan sekitar 2.400 SPBG untuk mendukung program pemerintah tersebut. Kalaupun dipaksakan satu SPBG melayani 1.000 kendaraan, paling tidak masih dibutuhkan sekitar 1.200 SPBG. Padahal di Indonesia saat ini baru tersedia 16 SPBG (hanya delapan yang aktif) yang kesemuanya baru ada di wilayah Jabodetabek. Dengan sempitnya waktu, membangun 1.000 hingga 2.000 unit SPBG kiranya bukan pekerjaan mudah. Karena itu, program pembatasan BBM yang akan dilaksanakan per April 2012 dapat dikatakan masih jauh dari siap.
Efisiensi Kebijakan
Selain belum siapnya infrastruktur, efisiensi kebijakan konversi BBM ke BBG juga merupakan permasalahan tersendiri. Jika target kebijakan adalah penghematan anggaran subsidi pada APBN 2012, konversi BBM ke BBG bukanlah opsi kebijakan yang tepat. Jika dipaksakan diimplementasikan per April 2012, sementara infrastruktur penunjang masih terbatas, secara realistis program tersebut baru dapat diimplementasikan di wilayah Jabodetabek. Berkaitan dengan itu, jika semua kendaraan pribadi tidak diperbolehkan lagi mengakses premium dan solar bersubsidi, penghematan anggaran subsidi yang didapat oleh pemerintah hanya sekitar Rp 12,78 triliun. Padahal, jika pilihan kebijakan ialah menaikkan harga premium dan solar Rp 1.000 per liter, penghematan subsidi yang didapatkan mencapai sekitar Rp 38,30 triliun.
Selain relatif tidak efisien dalam penghematan anggaran subsidi, pembatasan BBM bersubsidi juga rumit dalam pelaksanaanya. Program tersebut menuntut adanya pengawasan yang ekstra dan selalu dibayangi oleh terjadinya distorsi (penyalahgunaan) akibat adanya disparitas harga yang besar. Selain itu, dengan sepeda motor yang masih diperbolehkan mengakses BBM bersubsidi, sementara sistem transportasi masal masih bermasalah, sangat mungkin pengguna mobil pribadi (utamanya kelas menengah bawah) berpindah menggunakan sepeda motor. Dengan begitu, meski program pembatasan dilaksanakan, tidak ada jaminan bahwa kuota BBM bersubsidi yang telah ditetapkan tidak akan terlampaui.
Berkaitan dengan pelaksanaan program konversi BBM ke BBG tesebut, hal yang perlu diluruskan dan disampaikan kepada publik ialah tidaklah tepat jika peruntukkanya semata-mata untuk menghemat anggaran subsidi APBN 2012. Bahwa kebijakan tersebut baik dalam jangka panjang, kiranya semua pihak sependapat.
Akan tetapi, bahwa implementasi kebijakan tersebut membutuhkan koordinasi lintas sektoral dan waktu yang panjang juga perlu diketahui publik. Karenanya, jika kebijakan pembatasan dilaksanakan per April 2012, ketersediaan BBG sebagai alternatif pilihan sebagaimana yang dimaksud oleh pemerintah kiranya masih jauh dari memadai. Konsekuensinya, dipastikan pemilik kendaraan pribadi dipaksa menggunakan Pertamax dan sejenisnya yang harganya telah mencapai dua kali lipat harga BBM bersubsidi.