Komaidi – Deputi Direktur ReforMiner Institute
Indonesia Finance Today, 12 Juli 2011
Pengenalan penggunaan bahan bakar gas sebagai alternatif bahan bakar minyak untuk sektor transportasi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 1995. Akan tetapi, payung kebijakan terhadap pengembangan bahan bakar gas baru diterbitkan 10 tahun kemudian sejak penggunaan perdana bahan bakar gas, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0048/2005 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) serta Pengawasan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain, LPG, LNG, dan Hasil Olahan yang Dipasarkan di Dalam Negeri.
Payung hukum pengusahaan dan penggunaan bahan bakar gas tersebut kemudian dilengkapi lagi dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 141/2007 tentang Penggunaan BBG Untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19/2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Bahan Bakar Gas yang Digunakan untuk Sektor Transportasi dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2932 K/12/MEM/2010 tentang Harga Jual Bahan Bakar Gas yang Digunakan untuk Transportasi di Wilayah Jakarta.
Dalam perjalanannya, program pengembangan dan penggunaan bahan bakar gas di dalam negeri hanya timbul tenggelam. Diwacanakan dan mengemuka ketika terjadi krisis, harga minyak meningkat dan subsidi energi membengkak. Namun, wacana pengembangan tidak terdengar lagi ketika krisis tersebut sudah berlalu.
Berdasarkan catatan, program konversi bahan bakar gas untuk transportasi sebenarnya juga telah diluncurkan berulang kali. Akan tetapi, kebijakan dan program yang diluncurkan tersebut tidak pernah bertahan lama dan berkesinambungan, tidak mempunyai platform yang jelas, dan tidak ada konsistensi.
Kebijakan Parsial
Dari sejumlah kebijakan dan program bahan bakar gas yang pernah ada, belum ditemukan adanya kebijakan yang terpadu dan berkelanjutan. Program konversi bahan bakar gas hanya merupakan kebijakan yang parsial, lebih sering hanya merupakan program satu instansi tertentu, sementara instansi lain tidak tahu menahu, apalagi mendukung.
Padahal, jika mengacu pada permasalahan subsidi bahan bakar minyak yang ada, pengembangan bahan bakar gas relevan dan merupakan isu strategis. Berdasarkan kajian ReforMiner, jika kuota bahan bakar minyak bersubsidi (premium dan solar) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 dapat dikonversi ke bahan bakar gas, nilai penghematan yang didapat Rp 105,19 triliun (acuan harga bahan bakar gas swasta, Rp 3.600/liter setara premium) sampai dengan Rp 142,83 triliun (acuan harga bahan bakar gas PT Pertamina, Rp 2.562/liter setara premium).
Baik dengan acuan harga bahan bakar gas Pertamina maupun harga swasta, nilai penghematan konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas tersebut lebih besar dibandingkan dengan total anggaran subsidi bahan bakar minyak yang dianggarkan di Anggaran Negara 2011. Karena itu, jika pengembangan dan pengusahaan bahan bakar gas dilakukan dengan konsisten dan sungguh-sungguh, permasalahan subsidi bahan bakar minyak?masalah klasik yang hampir selalu berulang di setiap tahun?semestinya dapat terselesaikan.
Negara Lain
Fokus terhadap pengembangan dan pengusahaan bahan bakar gas pada dasarnya tidak hanya dilakukan di Indonesia. Isu ramah lingkungan dan pertimbangan biaya penyediaan bahan bakar gas yang relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak juga mendorong negara-negara lain mengembangkan bahan bakar gas.
Jika di Indonesia pengembangan bahan bakar gas cenderung timbul-tenggelam, pemerintah di negara-negara lain memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong dan merealisasikan pengembangan bahan bakar gas.
Adapun beberapa pendekatan yang banyak dilakukan dalam mendorong dan merealisasikan pengembangan bahan bakar gas di negara-negara lain adalah: Pertama, pemberian insentif untuk konsumen dan produsen bahan bakar gas. Kedua, kemudahan perizinan dalam pengusahaan bahan bakar gas.
Ketiga, desain fiskal yang lebih menguntungkan bagi pengguna bahan bakar gas. Keempat, memprioritaskan dan merealisasikan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas untuk SPBG. Kelima, memberikan insentif bagi impor kendaraan bahan bakar gas. Keenam, memberikan insentif dan dukungan penuh kepada produksi lokal kendaraan bahan bakar gas dan industri penunjangnya.
Ketujuh, menyelenggarakan konferensi tahunan untuk melakukan sosialisasi bahan bakar gas dan menampung keluhan pihak-pihak yang terlibat dalam program konversi bahan bakar gas. Kedelapan, mengkoordinasikan pihak swasta (bengkel, dealer, produsen kendaraan bahan bakar gas, pengusaha stasiun pengisian bahan bakar gas) dan instansi pemerintahan.
Komitmen yang kuat dalam mendorong dan merealisasikan pengembangan bahan bakar gas yang disertai dengan berbagai kebijakan dan insentif (baik untuk produsen maupun konsumen) yang diberikan oleh pemerintah, menyebabkan realisasi pengembangan bahan bakar gas di negara-negara lain cukup signifikan, sebagaimana ditunjukkan pada tabel.
Kendala Utama
Secara keseluruhan, berdasarkan kajian yang ada dan khususnya dengan melihat perbandingan di negara-negara lain, kendala-kendala utama yang menghambat pengembangan bahan bakar gas di Indonesia adalah sebagai berikut: Pertama, infrastruktur yang masih jauh dari memadai. Kedua, pasokan gas yang tidak dapat diandalkan.
Ketiga, harga gas yang tidak ekonomis. Keempat, biaya konversi yang tinggi. Kelima, tidak adanya insentif bagi pengembangan bahan bakar gas. Keenam, inkonsistensi dan ketidakberlanjutan kebijakan. Karena kendala-kendala tersebut, pengembangan dan pengusahaan bahan bakar gas di Indonesia telah jauh tertinggal oleh negara-negara seperti Malaysia, Iran, China, dan Pakistan yang notabene memulai pengembangan dan pengusahaan bahan bakar gas relatif bersamaan dan bahkan setelah Indonesia.
Dari kajian yang ada, secara umum banyak negara yang berhasil mengembangkan bahan bakar gas, bukanlah karena menjalankan sesuatu yang luar biasa tetapi karena beberapa hal, seperti adanya dukungan yang kuat dan berkesinambungan dari pemerintah, yang kemudian diikuti oleh keterlibatan aktif sektor swasta (para investor).
Juga meninggalkan kebiasaan saling menunggu dalam hal menyiapkan infrastruktur penunjang kebijakan serta menjamin keberlanjutan pasokan gas dan menjamin keberlanjutan pengembangan kendaraan bahan bakar gas dan usaha penunjangnya.
Karena itu, mengingat pengembangan bahan bakar gas nasional masih berada pada tahap awal dan beberapa industri penunjangnya juga belum siap sehingga menyebabkan pengembangan bahan bakar gas belum cukup ekonomis, maka kunci keberhasilan pengembangan dan pengusahaan bahan bakar gas nasional terletak pada kesungguhan dan komitmen pemerintah.