Pelakubisnis.com, 10 Januari 2019
Desember lalu negara-negara eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC sepakat menurunkan produksi minyak sebesar 1,2 juta barel sehari. Keputusan ini diambil dalam rangka mengontrol harga minyak. Pemangkasan produksi tersebut akan dilakukan mulai Januari 2019. Sejauhmana kebijakan ini mampu mendongkar harga minyak?
Head of Asia Pacific Oil and Gas JP Morgan Scott Darling yang dikutip dari CNBC International mengatakan pertemuan OPEC pada Desember lalu, hanya melakukan di paruh pertama atau tidak setahun penuh, maka skenario ini diprediksi harga minyak akan berada di kisaran US$ 55 untuk 2019.
Menurut Scott faktor-faktor yang dapat menjaga harga minyak lemah pada 2019 termasuk permintaan minyak mentah yang lesu dan ketidakpastian atas kepatuhan penuh dari anggota OPEC, termasuk juga produsen terbesar Arab Saudi, atas pengurangan pasokan 1,2 juta barel per hari yang disepakati, sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.
Dalam beberapa bulan terakhir, Saudi meningkatkan produksi lebih dari 1 juta barel per hari. Sekarang, kerajaan akan memotong sekitar 900.000 barel per hari hanya dalam dua bulan. Harga minyak sedang berjuang. Pihak kerajaan membutuhkan minyak mentah Brent naik secara signifikan untuk menyeimbangkan anggarannya.
Sementara mengacu data Bloomberg yang melibatkan 24 analis, harga Brent tahun 2019 bisa bertengger di level US$ 70 per barel. Adapun harga Brent, pada akhir Desember lalu sebesar US$ 53,79 per barel untuk kontrak Maret 2019. Sedangkan perkiraan untuk West Texas Intermediate adalah US$61,13 per barel pada 2019. Adapun harga WTI, Senin (12/31) sebesar US$ 45,81 per barel untuk kontrak Februari 2019.â€Pasokan dan permintaan global akan mencapai keseimbangan yang baik di tahun 2019.†kata Michael Tran, ahli strategi komoditas di RBC Capital Markets LLC.
Sedangkan Direktur Eksektufi ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan faktor yang membuat industri minyak dan gas bumi (migas) lebih baik adalah membaiknya pertumbuhan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi ini akan menyebabkan permintaan minyak meningkat.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi global itu boleh jadi mendorong harga minyak naik ke level yang lebih baik. Sehingga menggairahkan iklim investasi. Berdasarkan data , investasi migas sejak 2014 hingga 2017 terus turun. Tahun 2014, investasinya bisa mencapai US$ 21,7 miliar, tahun 2015 sebesar US$ 17,9 miliar, tahun 2016 sebesar US$ 12,7 miliar dan 2017 mencapai US$ 11 miliar.
Sementara itu, hingga kuartal III tahun 2018, investasi migas hanya US$ 8 miliar. SKK Migas menargetkan investasi hulu migas sampai akhir tahun ini hanya 79% dari target atau sekitar US$ 11,2 miliar dari target sepanjang tahun ini sebesar US$ 14,2 miliar, sebagaimana dikutip dari katadata.co.id.
Presiden IPA, Tumbur Parlindungan, ada lima hal yang akan dikerjakan IPA bersama pemerintah tahun depan (2019). Pertama, mendorong percepatan penyederhanaan perizinan di sektor hulu migas. Kedua, mendorong pemerintah segera menerbitkan aturan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atas PP 27/2017 tentang Pengembalian Biaya Operasi dan Perpajakan Gross Split. Hal ini penting agar aturan tersebut bisa terealisasi dengan cepat. Ketiga, optimalisasi fasilitas master list untuk impor barang penunjang kegiatan migas. Keempat, pemberlakuan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang wajar di kegiatan hulu migas. Terakhir, mendorong percepatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas.
Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai, iklim investasi sektor ESDM, utamanya migas, di Indonesia dipandang belum begitu menarik bagi investor. Selain kerangka regulasi dan insentif, faktor politik seperti Pemilu di 2019 juga menjadi pertimbangan.
Namun demikian, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, perusahaan-perusahaan kelas dunia akan berinvestasi di negara-negara yang dianggap aman. “Kalau kita dari segi keamanan tidak bisa jamin, mereka akan mencari negara yang lebih aman,†kata Arcandra, sebagaimana dikutip dari tribunnews.com searaya menambahkan apabila perusahaan-perusahaan dunia yang bergerak di sektor hulu migas tidak berminat untuk berinvestasi, maka akan menjadi sebuah kerugian bagi Indonesia.
Upaya yang dilakukan SKK Migas selama 2018 tergolong berhasil. Betapa tidak, dari target 100% sesuai APBN, pencapaian cadangan migas nasional atau RRR (Reserve Replacement Ratio) hingga akhir 2018 telah terlampaui hingga 106,58%. Begitu pula dengan penerimaan negara dan perbaikan tata kelola yang telah dilakukan. Semua komponen pada dua aspek itu mendapat penilaian positif. Beragam kebijakan pemerintah di sektor hulu migas, memberi pengaruh positif bagi pencapaian penerimaan negara yang mencapai US$ 17.5 miliar atau 147% dari target US$11.90 Miliar berdasarkan APBN 2018.
Sementara kepastian investor bersedia mengikuti aturan gross split dan membayar dana KKP, merupakan prestasi besar dalam kegiatan pengelolaan industri hulu migas di Tanah Air. Nilai investasi dalam proposal yang disetujui oleh SKK Migas untuk perpanjangan blok, mencapai US$ 50 – 70 miliar. Investasi tersebut untuk proses produksi migas selama 20 tahun. Pemerintah terus menyusun strategi yang lebih mendukung upaya peningkatan lifting, penghematan anggaran APBN, pencapaian positif RRR (Reserve Replacement Ratio), maupun beragam kebijakan terkait business process lainnya, agar target KPI di 2019 dapat tercapai, sebagaimana dikutip dari Buliten SKK Migas, BUMI, edisi Desember 2018.
Kedepannya, tentu akan semakin banyak tantangan yang harus dijawab SKK Migas pada 2019, termasuk memenuhi target pemerintah lewat APBN 2019. Evaluasi dari pencapaian di 2018, menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk melanjutkan capaian positif dan perbaikan tata kelola migas di tahun-tahuan berikutnya.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pencapaian positif yang berhasil dilakukan SKK Migas selama 2018 akan dilanjutkan. Upaya ini akan dilaksanakan dengan strategi yang lebih mendukung upaya peningkatan lifting, penghematan anggaran APBN, pencapaian positif RRR, maupun beragam kebijakan terkait business process lainnya.
Dari data Deputi Perencanaan, jumlah program kerja dalam buku usulan WP&B 2019 yang telah disampaikan oleh KKKS sebelum rapat pembahasan WP&B 2019 berlangsung, menunjukkan tren peningkatan positif. Jumlah kegiatan di 2019 meningkat jika dibandingkan dengan 2018 antara 100 – 300%.
Namun demikian ada beberapa hambatan yang mungkin mempengaruhi investasi hulu migas 2019. Salah satunya terkait regulasi sektor migas yang hingga kini belum rampung. Revisi UU Migas yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2011, tapi tak kunjung selesai.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya, sebagaimana dikutip dari katadata, pesimistis regulasi anyar itu dapat rampung tahun 2019. “Di tahun politik 2019 sulit harapkan ada revisi UU besar seperti migas. Paling baru tahun 2020 terlaksana,†kata Berly.
Hambatan lain adalah proses perizinan sebagaimana diterapkan di daerah tersebut. Kondisi demikian, membuat iklim investasi sektor migas menjadi terganggu. Padahal, percepatan perizinan di tingkat hulu dapat meningkatkan pemasukan kas negara dan daerah atas kekayaan sumber daya alamnya.
Pengamat dari Forum Kajian Energi Mashuri, mengatakan investasi migas membutuhkan adanya kepastian hukum, baik di pusat hingga daerah. Masalahnya, kata dia, selama ini masih ada sejumlah kendala di daerah yang belum sejalan dengan keinginan percepatan itu.
“Kendala pertama itu daerah, kedua sinkronisasi kebijakan, dan yang ketiga pengawalan kebijakan,†katanya kepada Okezone usai diskusi ‘Dampak Percepatan Perijinan Hulu Migas Bagi Peningkatan Investasi Migas’ di Saung Serpong, Tangerang Selatan, awal November lalu, sebagaimana dikutip dari okezone.com.
Namun demikian, Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagut, Hanif Rusjdi, dalam kegiatan Forum Humas, beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kegiatan ini sebagai upaya pemerintah mencari solusi terkait proses perizinan dan pengadaan tanah bagi kegiatan eksplorasi. Kegiatan Forum Humas merupakan kegiatan rutin tahunan dalam rangka menyamakan persepsi untuk kelancaran kegiatan operasional migas di daerah. Salah satu hal yang dibahas adalah Permen LHK No. 27 Tahun 2018 tentang Pinjam Pakai Kawasan Hutan. “Permen LHK ini memangkas birokrasi dalam kegiatan survei seperti seismik, sehingga prosesnya bisa lebih cepat,†ungkap Hanif.
Paling tidak, perlu ada kepastian hukum dalam melakukan kegiatan eksplorasi maupun ekspoitasi hulu migas. Bila identifikasi masalah tersebut dapat diselesaikan, harapan untuk meningkatan investasi sektor hulu migas 2019 terbuka lebar. Semoga.