Kontan.co.id; 27 Agustus 2023
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengemukakan sedang membahas secara internal opsi mengalirkan subsidi ke Pertamax (RON 92) untuk meningkatkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) beroktan lebih tinggi dan emisi lebih rendah.
Dari sisi lingkungan, Pengamat Lingkungan Hidup Universitas Indonesia, Budi Haryanto menjelaskan wacana penghapusan Pertalite dengan memberikan subsidi ke Pertamax sangat bagus bagi kualitas udara. Sumber utama pencemar transportasi adalah emisi kendaraan akibat emisi BBM berkualitas rendah.
“Pertalite kualitasnya masih rendah, di bawah Standard Euro 2. Namun konsumsinya paling dominan dibandingkan BBM jenis lain. Sedangkan negara tetangga sudah pakai BBM standard Euro 4 dan negara maju bahkan sudah Euro 6,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (27/8).
Sebagai informasi saja, semakin tinggi standar Euro yang digunakan, maka akan semakin kecil batas kandungan gas karbon dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, volatil hidrokarbon, dan partikel lain yang berdampak negatif pada manusia dan lingkungan.
Euro IV memiliki kandungan nitrogen oksida, bagi kendaraan berbahan bakar bensin tidak melebihi 80 milligram per kilometer, 250 miligram per kilometer untuk mesin diesel, dan 25 milligram per kilometer untuk diesel particulate matter. Singkatnya, Euro IV merupakan bahan bakar dengan kandungan sulfur nilai maksimal 50 ppm.
Adapun BBM Pertamina yang sudah lolos emisi Euro 4 ialah Pertamax dan Pertamax Turbo. Kandungan sulfur Pertamax maksimal 500 ppm, sementara kandungan sulfur Pertamax Turbo tidak lebih dari 50 ppm.
Budi menyatakan, jika pada akhirnya penghapusan Pertalite dilakukan, seharusnya pemerintah bisa menyediakan Pertamax atau Pertamax Turbo lebih banyak.
Namun, untuk mengurangi polusi, tidak bisa hanya bertumpu pada sektor transportasi saja. Menurutnya demi mengatasi situasi darurat kualitas udara di kota-kota besar, upaya yang bisa ditempuh ialah mengendalikan sumber pencemar secara serempak.
“Ini sangat penting untuk keberhasilan mengurangi polusi. Sektor transportasi, pembangkit PLTU dan industri manufaktur harus mengurangi emisinya serempak karena merupakan sumber utama polusi udara,” tegasnya.
Dari sisi fiskal, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyatakan dampak menggeser kompensasi BBM Pertalite ke Pertamax tergantung pada seberapa besar yang akan ditanggung pemerintah.
“Secara sederhana, seharusnya anggaran kompensasi energi akan lebih besar karena harga BBM Pertamax lebih mahal dari Pertalite yang RON-nya lebih rendah. Namun, segala sesuatunya masih tergantung subsidinya dan seperti apa mekanismenya,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Sejatinya, pergeseran konsumsi ke RON 92 tentu akan sejalan dengan yang diamanatkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai baku mutu emisi gas buang. Pada Permen itu, intinya mensyaratkan konsumsi BBM berkadar oktan di atas 91. Artinya, Pertamax memenuhi baku mutu itu.
Dari sisi lingkungan, menurut Komaidi, dampak peningkatan konsumsi Pertamax terhadap penurunan emisi tidak terlalu signifikan lantaran kadar oktannya hanya selisih dua, dari RON 90 ke RON 92.
Jika penurunan emisinya mau lebih signifikan, lanjut Komaidi, konsumsi energi fosil bisa digeser ke bahan bakar gas (BBG) yang beremisi paling rendah jika dibandingkan BBM dan batubara.
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menambahkan, wacana pemberian subsidi ke Pertamax harus berhati-hati. Realitanya, penikmat subsidi BBM sebagian besar adalah golongan mampu sehingga perlu diperjelas target yang disasar Pemerintah.
Meski nantinya sudah dikucurkan subsidi, Putra melihat, sangat mungkin harga jual BBM Pertamax tetap lebih mahal dari Pertalite karena kadar oktannya yang lebih tinggi.
“Meski instrumen harga adalah faktor terkuat, namun pemerintah juga harus terus menelusuri mekanisme kendali lainnya,” ujarnya.
Putra memaparkan, menggeser konsumsi Pertalite ke Pertamax akan memberikan dampak bagi penurunan emisi di sektor transportasi. Tetapi menurutnya, juga penting untuk pemerintah mencoba lebih berani membatasi standard efisiensi konsumsi BBM kendaraan (fuel economy)
Berdasarkan studi, rata-rata kendaraan ringan Indonesia sekitar 40% lebih boros BBM dibanding di India dan ada korelasi erat antara konsumsi BBM dan emisi di jalanan.
“Tren semakin banyaknya mobil-mobil pribadi besar di jalanan Jakarta juga patut dipertanyakan bila Indonesia serius dalam mengendalikan konsumsi BBM-nya. Konsumen adalah aktor penting dalam konsumsi BBM namun produsen otomotif juga penting jadi sorotan karena merekalah ‘pembentuk’ dari pasar kendaraan,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Putra, pemerintah sebaiknya juga berhati-hati dalam menyematkan alasan lingkungan di balik setiap perubahan harga energi karena berpotensi membentuk sentimen negatif terhadap transisi energi ke depan.
Selain mengalihkan ke BBM beroktan tinggi, salah satu upaya pengurangan emisi di sektor transportasi bisa memanfaatkan biofuel.
Putra menyatakan, bioenergi dapat memiliki emisi lebih rendah namun perlu ada kejelasan mengenai sustainability dari rantai suplainya.
“Bioenergi bisa memiliki efek sampingan lain seperti peralihan fungsi lahan yang juga berimbas terhadap emisi, karenanya diperlukan sustainability governance yang kuat,” tandasnya.