Friday, December 6, 2024
HomeReforminer di Media2006Menanti Gas Alam untuk Energi Sendiri

Menanti Gas Alam untuk Energi Sendiri

Pri Agung Rakhmanto
Bisnis Indonesia, 06 Juli 2006

Dengan total cadangan sebesar 188,34 TSCF (trillion standard cubic feet), atau sekitar 2% dari cadangan gas alam dunia (status 1 Jan. 2005), gas alam merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi Indonesia.

Keberadaannya tak hanya sebagai penghasil devisa, tetapi juga sebagai sumber energi dan bahan baku bagi sebagian industri nasional kita.

Saat ini, dari produksi gas alam nasional yang mencapai 3 TSCF setiap tahunnya, sekitar 54% di antaranya diekspor baik dalam bentuk LNG maupun melalui pipa. Sudah sejak lama, pola pemanfaatan gas alam yang lebih berorientasi kepada ekspor ini oleh banyak kalangan dinilai tidak optimal.

Sejak tertuang di dalam Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) pada 1988 pun sudah dinyatakan bahwa pemakaian gas alam untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya sebagai bahan baku industri yang dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi, harus lebih diutamakan. Berbagai kebijakan tentu juga telah diambil, di antaranya dengan memberikan subsidi harga gas kepada beberapa industri dalam negeri.

Tetapi, hasil yang dicapai dapat dikatakan masih belum cukup menggembirakan. Saat ini, tingkat pemanfaatan gas di dalam negeri, di luar pemakaian sendiri (own use) oleh penghasil gas dan yang dibakar (flare gas), barulah berkisar 25% saja dari total produksi yang ada.

Pemanfaatannya adalah untuk pembangkit listrik, gas kota, bahan baku elpiji, industri semen, industri pupuk dan industri petrokimia. Peranan gas alam di dalam pemakaian energi final dalam energy mix nasional saat ini pun masih tak jauh beranjak dari angka 17%-19% (sekitar 63% pemakaian energi final masih didominasi oleh BBM).

Seiring dengan tingginya harga minyak dunia akhir-akhir ini, wacana untuk lebih mengutamakan pemakaian gas untuk kebutuhan dalam negeri kembali mengemuka. Tak tanggung-tanggung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri yang telah menyatakan hal tersebut. Juga telah diserukan untuk tidak memperpanjang kontrak gas untuk ekspor yang akan berakhir pada 2009.

Rencana untuk mengganti sebagian BBM di sektor transportasi dengan bahan bakar gas (BBG) juga telah digaungkan kembali. Di samping untuk mendukung kebijakan diversifikasi energi dari BBM ke gas, seruan dan rencana kebijakan tersebut tentu juga dimaksudkan agar pemanfaatan gas alam nasional dapat makin optimal.

Semangat dari kebijakan untuk kembali lebih mengutamakan pemanfaatan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan semangat diversifikasi BBM ke gas tentu patut kita dukung. Harapan agar pemakaian gas dapat lebih optimal dan benar-benar memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat pun kembali terbersit.

Tetapi, tampaknya harapan itu masih tetap harus menunggu waktu. Data yang ada menunjukkan bahwa keterbatasan infrastruktur gas-berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi, stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), dan terminal regasifikasi gas-merupakan permasalahan utama yang dapat menghambat rencana dan kebijakan yang ada.

Permintaan gas dalam negeri sebagian besar masih terpusat di Pulau Jawa, sementara cadangan gas yang sebagian besar belum dimanfaatkan berada di luar Pulau Jawa (Natuna 54,2 TSCF, Kalimantan Timur 47,4 TSCF, dan Papua 24,1 TSCF).

Infrastruktur yang dapat menyalurkan gas dari titik-titik suplai di Sumatera, Natuna, Kalimantan Timur, dan Papua ke titik-titik permintaan di daerah Jawa relatif masih sangat terbatas. Bahkan sebagian besar memang belum tersedia. Bahkan di daerah yang berdekatan dengan sumber gas itu sendiri jaringan pipa distribusinya masih sangat terbatas. Hal ini tentu menjadi satu kendala serius yang dapat menyebabkan pemanfaatan gas nasional akan makin jauh dari harapan.

Sama halnya dengan kesadaran untuk lebih mengutamakan pemakaian gas untuk kebutuhan dalam negeri, permasalahan keterbatasan infrastruktur gas ini pun sebenarnya telah disadari sejak lama. Bahkan juga selalu dituangkan ke dalam kebijakan-kebijakan energi yang ada. Akan tetapi, upaya konkret untuk mengatasi masalah keterbatasan infrastruktur ini rasanya berjalan sangat lambat. Sebagai contoh, jumlah SPBG di seluruh Indonesia dari 1996 hingga kini hanya ada sekitar 28 buah saja, 14 diantaranya di Jakarta dan tidak seluruhnya dapat berfungsi.

Data yang ada juga menunjukkan bahwa perencanaan pengembangan jaringan pipa transmisi dan distribusi yang ada cenderung belum established, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang terkait, seperti halnya untuk kalangan investor dan industri pengguna gas.

Dalam kurun waktu 2000-2004 saja terdapat banyak perubahan jadwal rencana yang rasanya cukup untuk memberikan sedikit gambaran bahwa perencanaan pengembangan infrastruktur gas yang ada memang belum established.

Bahwa suatu rencana bersifat dinamis tentu sah-sah saja dan mungkin memang dalam kondisi tertentu tidak dapat dihindari. Tetapi, untuk perencanaan setingkat pengembangan infrastruktur gas yang sangat strategis bagi kepentingan nasional, perencanaan yang terlalu mudah/banyak diubah-ubah rasanya justru menggambarkan bahwa perencanaan itu sendiri belum matang.

Sebagai contoh, ruas pipa transmisi dari Balikpapan-Banjarmasin ke Semarang yang semula direncanakan selesai pada 2005 ternyata hingga 2004 masih dalam tahap studi. Dengan demikian jadwal penyelesaiannya pun diubah menjadi tahun 2010.

Selalu molor

Selain itu jaringan pipa distribusi di Jawa Barat yang semula direncanakan selesai pada 2002, ternyata pada 2004 juga baru dalam tahap studi dan perizinan. Dalam rencana yang baru, ruas pipa tersebut dijadwalkan selesai pada tahun 2010. Dengan melihat pengalaman yang ada, rasanya juga tak ada jaminan bahwa rencana yang baru ini pun akan dapat direalisasikan tepat waktu.

Hal-hal semacam ini mungkin terlihat sederhana, tetapi pengaruh ketidakpastian yang ditimbulkannya dapat membawa implikasi negatif yang luas pada banyak hal. Pihak investor tentu tak akan dengan mudah menanamkan modalnya untuk sesuatu yang tidak pasti.

Kalangan industri pengguna gas pun akan bersikap wait and see untuk terlebih dulu memastikan apakah nantinya suplai gas untuk industrinya akan benar-benar dapat terjamin. Akibatnya terjadi saling tunggu, sehingga pada akhirnya pengembangan infrastruktur gas akan makin tertunda.

Sebelum menunjuk faktor ketidakpastian akan kondisi sosial, politik dan ekonomi nasional yang lebih luas dan juga faktor ketiadaan dana sebagai penghambat, semestinya aspek kepastian tentang rencana pengembangan infrastruktur gas itu sendiri yang harus terlebih dahulu dibenahi.

Master Plan dari pengembangan industri yang akan menggunakan gas juga semestinya diintegrasikan dengan rencana pengembangan infrastruktur gas yang ada.

Tak hanya itu, informasi yang lebih komprehensif tentang analisis keekonomian (NPV, IRR, dan lain-lain) dalam hal investasinya, beserta prosedur birokrasi yang harus dilalui juga semestinya ada dan menjadi satu paket dari keseluruhan mapping dan perencanaan yang dilakukan.

Setidaknya hal itu akan memberikan gambaran awal yang lebih pasti bagi semua pihak yang terkait dengan upaya pengembangan gas alam nasional.

Jadi, harapan untuk mencapai pemanfaatan gas alam di dalam negeri yang lebih optimal dapat lebih cepat terwujud, dan tidak hanya sekadar menjadi penantian yang tidak pasti.

Pri Agung Rakhmanto Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Politik di Universiteit Twente, Belanda, saat ini Direktur Eksekutif Reforminer Institute

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments