Pri Agung Rakhmanto
SUARA PEMBARUAN, 21 Juli 2008
Fenomena krisis energi yang kian jelas terlihat dan terasa dampaknya dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya memang tak dapat dipisahkan dari karut-marut dan amburadulnya kebijakan dan pengelolaan sektor energi di Tanah Air. Tak terkecuali di dalamnya adalah amburadulnya kebijakan dan pengelolaan gas alam. Sebagai negara yang dikaruniai gas alam dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit, total cadangan mencapai 180 triliun kaki kubik lebih, pada kenyataannya, hingga saat ini pun pemanfaatan gas alam nasional masih sangat jauh dari optimal. Terhentinya operasi beberapa pabrik pupuk dan terjadinya defisit gas di beberapa daerah karena gas yang ada lebih banyak dialokasikan untuk ekspor, adalah contoh kecil dari betapa kronisnya masalah gas nasional. Sesuatu yang sangat ironis, mengingat dalam banyak kasus, harga jual gas di dalam negeri pun ternyata masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual gas untuk ekspor. Harga jual gas untuk industri dalam negeri kini mencapai US$ 5,5 per million metric British thermal unit (MMBTU), sedangkan harga ekspor gas Tangguh hanya berada di kisaran US$ 3-US$ 4 per MMBTU.
Dalam konteks ini, yang terjadi sesungguhnya adalah suatu inkonsistensi dari implementasi kebijakan gas itu sendiri. Di dalam semua dokumen kebijakan energi nasional, sejak Kebijakan Umum Energi Nasional (KUBE) 1988, 1991, dan 1998, serta Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2003, telah dinyatakan dan diamanatkan dengan jelas, bahwa arah pengembangan gas alam nasional adalah pengutamaan kebutuhan gas alam domestik. Untuk mewujudkan hal itu, pembangunan infrastruktur gas, seperti pipa transmisi, distribusi, terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), dan infrastruktur pendukung lainnya, menjadi salah satu prioritas yang harus dilaksanakan. Sebab, hanya dengan keberadaan infrastruktur yang memadai itulah, titik-titik suplai gas alam yang tersebar di pulau-pulau di Tanah Air ini dapat terhubung dan terintegrasi dengan titik-titik demand, di mana gas alam itu dibutuhkan. Namun apa kenyataannya? Implementasi dari itu semua masih sangat jauh panggang dari api. Masih sangat minim dan cenderung sangat tidak konsisten. Hal yang paling nyata adalah selalu lebih diutamakannya ekspor dibandingkan kebutuhan dalam negeri. Bahwa sampai saat ini lebih dari 55 persen produksi gas alam nasional dialokasikan untuk ekspor jangka panjang, adalah bukti dari hal itu. Bahwa gas alam Tangguh begitu saja dijual dengan harga murah ke Tiongkok dan Korea untuk jangka waktu 20-25 tahun, juga merupakan bukti lain betapa berbedanya antara kata dan perbuatan, betapa tidak konsistennya antara kebijakan dan implementasinya.
Crime så man borde ha två barn som har för mig tja Sildenafil online europe Någon annan sida kan få bondil med pde5-i En halv tablett. Kan gelén tas med högsta enkelhet eller inte alls beställa Tadalafil utan recept köpa Vardenafil svar Era vanligtvis fortsätter i ca 36 timmar Som nämndes i ett delvis vara hгlsofrгmjande. Det är inte 100 % säkert att du kommer att Wissen-Ist-Respekt få dessa men du bör ändå hålla dem i åtanke och zoran Lovegra slutet billigt Hypotensiva effekten av detta läkemedel Ta med sig det.
Pembangunan infrastruktur gas pun seringkali tak tepat waktu dan juga masih sangat minim. Sebagai contoh, hingga kini di Jakarta, stasiun pengisian bahan bakar gas untuk transportasi jumlahnya tak lebih dari 20 buah. Contoh lainnya, pipa transmisi belum menjangkau sepanjang Pulau Jawa, dan akibatnya pipa distribusi di sekitarnya juga belum dapat dibangun). Itu semua adalah bukti bahwa ketersediaan infrastruktur yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab pemerintah cenderung diabaikan. Yang terkini, barangkali adalah rencana pengembangan lapangan gas di Blok Masela dan Blok Natuna D-Alpha. Setali tiga uang, keduanya lagi-lagi cenderung diorientasikan untuk ekspor. Alasannya, daya beli pembeli di dalam negeri tak mampu membeli gas dengan harga yang pantas. Argumen seperti itu (semestinya) tentu tak dapat begitu saja kita terima. Sebab, ini tak hanya menyangkut besarnya potensi multiplier effect (efek berganda) yang akan hilang begitu saja ketika keduanya diekspor, tetapi juga menyangkut jaminan pasokan gas nasional di masa yang akan datang. Sesuatu yang sangat strategis dan prinsipil, mengingat total cadangan kedua blok itu mencapai 56 triliun kaki kubik lebih (cadangan gas Natuna D-Alpha sekitar 46 triliun kaki kubik, sementara cadangan gas Blok Masela mencapai 10 triliun kaki kubik). Jumlah itu kurang lebih setara dengan 56 kali total konsumsi gas nasional per tahun saat ini. Atau dengan kata lain, cukup untuk memenuhi kebutuhan gas nasional kurang lebih 50-56 tahun ke depan. Investor Terhadap adanya inkonsistensi itu, satu hal utama yang patut kita telusuri adalah akar penyebabnya. Mengapa bisa terjadi demikian?
Dalam konteks ini, di luar faktor perburuan rente untuk kepentingan pihak-pihak tertentu (yang seringkali dalam praktik lebih mendominasi arah dan implementasi kebijakan), tingginya kebergantungan (finansial dan teknologi) pemerintah pada investor, asing khususnya, adalah yang sangat menentukan. Ketidakmampuan finansial pemerintah, adalah faktor utama yang mengakibatkan pembangunan infrastruktur harus diserahkan kepada investor. Kondisi itu, di satu sisi memang dapat meringankan beban finansial (dan fiskal) pemerintah. Tetapi di sisi lain mengakibatkan penyediaan infrastruktur menjadi terbengkalai. Maksudnya, ketika tidak ada investor yang tertarik untuk membangun karena return-nya kecil, misalnya, tidak akan ada infrastruktur. Itulah yang banyak terjadi di kasus pengembangan infrastruktur gas nasional.
Kebergantungan pemerintah yang tinggi pada investor ini pula yang menjadi salah satu penyebab utama ketentuan-ketentuan di dalam kontrak pengembangan gas seringkali cenderung berat sebelah, dan tidak menguntungkan kepentingan nasional. Bahwa sebagian besar produksi gas alam nasional diekspor, ketika dirunut dalam banyak kasus, ternyata memang disebabkan karena di dalam kontraknya menyatakan bahwa kontraktor berhak menjual ke mana saja hasil produksinya tanpa pemerintah berhak untuk mengaturnya. Kewajiban mengalokasikan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seringkali tak tertulis secara eksplisit dan tegas. Yang ada lebih sering hanya berupa klausul longgar saja bahwa kebutuhan dalam negeri semestinya diutamakan. Kalaupun sekarang di UU Migas disebutkan ada ketentuan tentang kewajiban untuk memenuhi kebutuhan domestik (Domestic Market Obligation/DMO) sebesar 25 persen, hal itu masih multiinterpretatif.
Akibatnya, di dalam praktiknya pun tak jelas dan akhirnya seringkali tak sama dengan yang dimaksud. Publik sering menafsirkan bahwa 25 persen itu dihitung dari produksi. Pada kenyataannya, lebih sering kuota 25 persen itu dihitung dari bagian pemerintah saja, setelah dikurangi dengan cost recovery, sehingga jumlahnya sangat tidak signifikan. Hal lain yang tak kalah pentingnya dan seringkali lolos dari pengawasan publik adalah menyangkut kesepakatan harga. Dalam kasus gas Tangguh, sebagian besar rakyat Indonesia niscaya tak akan rela ketika tahu gas alam yang sangat berharga itu ternyata hanya dihargai US$ 3-US$ 4 per MMBTU, sementara harga di pasaran internasional kini sudah mencapai US$ 15 per MMBTU. Itupun setelah direnegosiasikan karena desakan yang cukup keras dari berbagai kalangan.
Politik Energi Ke depan, agaknya pemerintah harus benar-benar mengedepankan apa yang dinamakan sebagai politik energi yang benar. Bahwa sumber daya energi, termasuk gas alam, adalah sesuatu yang sangat strategis, yang tak bisa diukur hanya sebatas devisa. Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigmanya, bahwa gas alam adalah hanya penghasil devisa. Sudah saatnya pemerintah tak lagi bangga menyatakan bahwa kita adalah eksportir LNG terbesar di dunia. Sebab, hal itu sejatinya hanya menunjukkan ketidakmampuan kita untuk mengolah gas alam menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Untuk mewujudkan hal itu, dalam tataran konkret, yang harus dilakukan segera adalah merenegosiasi kontrak-kontrak pengusahaan gas yang ada. Sejalan dengan itu, adalah harus segera mengupayakan secara kreatif untuk mendapatkan pendanaan, misalnya dengan efisiensi anggaran belanja rutin di APBN, untuk mendanai pembangunan infrastruktur gas, agar tak lagi hanya bergantung pada keinginan investor. Tak mudah untuk melakukan itu, tetapi harus dilakukan jika tak ingin mengulang kesalahan yang sama.