Pri Agung Rakhmanto
SINDO, 01 September 2008
Seiring tingginya harga minyak mentah dunia yang terus berfluktuasi,belakangan ini satu demi satu masalah yang menunjukkan betapa karut-marutnya sektor energi nasional, khususnya terkait pengelolaan sumbersumber energi di Tanah Air,terlihat lebih kasatmata di depan publik.
Di samping masalah kisruh pembayaran royalti batu bara yang penyelesaiannya belum jelas hingga saat ini, masalah seputar kontrak penjualan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Tangguh adalah satu contoh lain yang untuk saat ini bahkan dapat dikatakan sangat krusial untuk segera dicarikan pemecahannya.
Sebagaimana mungkin telah banyak diketahui khalayak, pangkal permasalahan dari kontrak penjualan gas alam Tangguh ini pada dasarnya terletak pada formula harga jual yang disepakati. Secara lebih spesifik, persoalannya adalah pada mengapa formula harga jual gas alam cair Tangguh,khususnya yang diekspor ke Fujian, China, untuk jangka waktu 25 tahun terhitung mulai 2010 nanti dipatok pada batas harga minyak maksimal USD38 per barel? Bahkan sebelum dinegosiasikan pada 2006, dipatok pada batas atas harga minyak hingga hanya USD25 per barel saja sehingga harga jualnya pun menjadi sangat rendah, hanya USD2,4 USD/MMBTU. Setelah negosiasi pada 2006, harganya pun hanya menjadi USD3,8 USD/MMBTU. Masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga gas di pasaran internasional saat ini yang dengan harga minyak mencapai USD110-120 per barel sudah mencapai kisaran USD15-120 USD/MMBTU.
Konsekuensinya, jika tidak ada perubahan dan kontrak tersebut benar-benar dipatuhi, potensi kerugian dari opportunity loss yang ada sepanjang masa kontrak bisa mencapai USD70 miliar atau lebih dari Rp700 triliun. Menjadi pertanyaan kita semua kemudian bahwa mengapa itu semuabisaterjadi? Dimana dan apa rasionalitas dari penggunaan formula harga jual gas yang dibatasi dengan harga minyak hingga hanya pada level USD25 per barel atau USD38 per barel itu yang berlaku terus-menerus sepanjang masa kontrak? Benar bahwa pada saat kontrak ditandatangani pada 2002, harga minyak hanya berada di kisaran USD20 per barel. Namun,bukankah harga minyak selalu berfluktuasi dan bukankah sebelumnya juga sudah berulang-ulang terjadi harga minyak lebih tinggi dari itu?
Jauh sebelum itu,negara kita juga sudah punya pengalaman menjual gas alam cair ke luar negeri, LNG Arun dan LNG Bontang, dengan formula harga yang lebih rasional, yang mengikuti pergerakan harga minyak dunia tanpa batas atas. Sebegitu bodohkah bangsa kita hingga sumber energi yang sangat bernilai dan strategis itu begitu saja mudah digadaikan dengan kontrak jual beli yang begitu absurd? Yang lebih mendasar,mengapa kasus LNG Tangguh ini seolah hanya menjadi pengulangan dari kasus-kasus lain di negeri ini (kasus Freeport dan kontrak lama gas Natuna D-Alpha misalnya) yang juga mengobral sumber-sumber daya alam yang strategis di Tanah Air melalui kontrak-kontrak yang (selalu) berat sebelah? Tak bisakah kita sebagai bangsa keluar dari jebakan tersebut untuk bisa menghasilkan kontrak pengusahaan energi yang benar-benar bisa memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang sesungguhnya?
Berkenaan dengan kasus LNG Tangguh ini,ada beberapa hal yang mungkin dapat kita baca di sini. Pertama adalah bahwa sepertinya terlalu naif jika mengatakan bahwa bangsa ini atau paling tidak pihak-pihak yang mewakili negara ini dalam negosiasi LNG Tangguh tersebut bodoh sehingga begitu saja dapat menyepakati kontrak jual beli dengan formula yang sangat merugikan tersebut. Memang benar bahwa tidak ada yang tahu harga minyak akan bergerak ke level berapa.Namun bahwa menggunakan harga minyak USD25 per barel atau USD38 per barel sebagai batas atas dari formula harga yang disepakati sematamata hanya karena kebodohana kita sendiri rasanya juga sangat tak cukup masuk akal. Bukan saja karena sudah cukup banyak ahli yang lebih dari sekadar kompeten dalam hal itu yang duduk dipemerintahan,tetapijugakarena negara ini pun sesungguhnya telah 20 tahun lebih berpengalaman menjual gas Arun dan Bontang ke pasar internasional.
Maka, hal yang paling mungkin terjadi sesungguhnya di sini adalah hanya suatu kebodohan yang disengajaa. Dalam arti,sangat mungkin ada pihak-pihak tertentu, golongan elite di negeri ini, yang justru menikmati keuntungan-keuntungan yang sangat besar dari buruknya kontrak LNG Tangguh tersebut. Intervensi dan tekanan politik dari elite kekuasaan pada masa penandatanganan kontrak adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi dalam hal ini. Dengan kata lain, kita tak perlu terlalu heran jika kontrak LNG Tangguh yang bagi sebagian besar anak bangsa ini dirasa sangat tidak rasional dan sangat merugikan, bagi pihak-pihak yang diuntungkan, kontrak tersebut justru dirasa sangat rasional dan bahkan seakan tak ada cela.
Kedua, sangat jelas terlihat bahwa paradigma pengembangan dan pengelolaan sumber energi,gas alam khususnya, di Tanah Air belum beranjak dari kecenderungan bahwa gas alam hanyalahkomoditaspenghasil devisa andalan yang orientasinya jangka pendek semata.Tak kurang dan tak lebih. Bahwa ada klausul- klausul dalam kontrak yang sangat merugikan kepentingan nasional,cenderung kemudian dapat diabaikan selama kontrak pengusahaan gas Tangguh tersebut dapat menghasilkan sejumlah devisa sesuai target ekonomi-politik tertentu dan dalam kurun waktu tertentu pula. Bahwa gas alam Tangguh yang cadangan terbuktinya mencapai 14 triliun cubic feetatau kira-kira setara dengan 14 kali tingkat konsumsi gas nasional saat ini adalah salah satu sumber energi yang sangat menentukan kelangsungan dan ketahanan energi nasional di masa yang akan datang, tampaknya itu bukan merupakan faktor penting yang harus dimasukkan ke dalam klausul kontrak atau formula harga jual gas yang ada.
Ketiga adalah bahwa kedaulatan negara atas sumber energi cenderung hanya terjadi secara normatif di atas kertas atau hanya secara de jure dalam konstitusi UUD 1945. Secara de facto wujud kedaulatan negara atas sumber energi tersebut dalam kasus LNG Tangguh ini dapat dikatakan nyaris tak ada. Tidak saja dalam aspek finansial di mana negara terhitung sangat dirugikan oleh formulasi harga dalam kontrak tersebut dengan opportunity loss-nya untuk mendapatkan harga yang lebih baik,tetapi secara fisik pun dapat dikatakan bahwa negara secara de facto sebenarnya tak lagi menguasai gas alam Tangguh tersebut. Dari dua trains LNG Tangguh yang ada,tak satu pun produksinya dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan energi nasional. Semuanya telah dialokasikan untuk ekspor dengan jangka waktu yang panjang, 20-25 tahun. Karena itu, dari sisi energy security hampir tak ada manfaat riil yang benar-benar dapat diperoleh dari pengusahaan gas Tangguh tersebut.
Dari hal-hal di atas,kiranya tak dapat ditawar-tawar lagi bahwa negosiasi ulang terhadap kontrak LNG Tangguh adalah suatu keharusan yang mendesak untuk dilakukan. Negosiasi hendaknya tak hanya ditujukan pada perubahan formulasi harga yang lebih benarbenar rasional (bagi semua pihak) dan lebih berkeadilan,tetapi juga pada ketentuan menyangkut kewajiban memenuhi kebutuhan gas dalam negeri (domestic market obligation). Juga pada aspek fleksibilitas kontrak menyangkut perubahan lain demi kepentingan nasional yang sangat mungkin dibutuhkan suatu saat seiring perkembangan keadaan yang mungkin ada di masa depan.Tak perlu ragu untuk segera melakukan itu karena kita, rakyat dan negara Indonesia, dan bukan rakyat dan negara lain, adalah pemilik yang sah atas gas alam Tangguh tersebut.(*) Pri Agung Rakhmanto Direktur Eksekutif ReforMiner Institute