Pri Agung Rakhmanto
Wartaekonomi, Sabtu, 26 Juli 2008 11:04 WIB
Baru-baru ini pemerintah telah mengeluarkan 17 item dari daftar perhitungan cost recovery dalam melakukan eksplorasi migas di Tanah Air. Beberapa di antaranya adalah biaya konsultan hukum yang tidak terkait, tax consultant fee, biaya public relations tanpa daftar penerima manfaat, biaya community development, dana site restoration, technical training untuk ekspatriat, biaya merger atau akuisisi, biaya bunga atas pinjaman, dan pembebanan PPh pihak ketiga. Menurut saya, pencoretan itu sebetulnya bukan barang baru. Itu memang item-item yang semestinya tidak mendapatkan persetujuan dalam cost recovery.
Selama ini, ke-17 item tersebut dapat dimasukkan ke dalam perhitungan cost recovery karena isi kontrak bagi hasilnya memang longgar. Alhasil, ke-17 item itu bisa masuk atau bisa mendapatkan persetujuan dalam perhitungan cost recovery. Langkah untuk menghapus ke-17 item itu merupakan langkah positif dan layak diapresiasi, tetapi sebetulnya item-item itu bukan hal yang prinsipiil dalam peningkatan efisiensi cost recovery karena ke-17 item yang dicoret itu adalah hal-hal yang lebih bersifat administratif. Artinya, bukan core atau inti dari masalah cost recovery bisa efisien atau tidak. Ke-17 item itu hanya mencapai 10% – 15% saja dari keseluruhan nilai cost recovery.
Apabila ingin meningkatkan efisiensi dari cost recovery secara lebih signifikan, semestinya pemerintah menyelidiki langsung hal-hal yang berhubungan langsung dengan operasi perminyakan. Misalnya, hal-hal yang berhubungan dengan pengadaan alat-alat dan barang-barang untuk keperluan operasi. Penghapusan ke-17 item itu bisa dipandang hanya lips service saja. Artinya, tidak akan sampai menyentuh ke akar permasalahannya. Masalah inti cenderung belum akan disentuh dalam jangka pendek. Mungkin dalam pengajuan hak angket DPR tentang kenaikan harga BBM, masalah inti dalam perhitungan cost recovery bisa masuk menjadi bagian inti dari angket DPR tersebut.
Harga Minyak Dunia Kemungkinan besar harga minyak dunia memang masih akan tetap tinggi. Bahkan, mungkin akan sama atau lebih tinggi dari prediksi OPEC yang mencapai US$170 per barel. Mengapa? Pertama, karena kondisi perekonomian Amerika Serikat, yang dalam hal ini nilai tukar mata uangnya terus mengalami devaluasi atau pelemahan. Hal itu mengakibatkan para investor akan tetap memandang bahwa berinvestasi di pasar komoditas, yaitu minyak, akan lebih menjanjikan keuntungan besar.
Kedua, karena pelaku-pelaku utama yang bisa berpengaruh terhadap pergerakan harga minyak, seperti OPEC dan Amerika Serikat, yang notabene di belakangnya banyak perusahaan minyak raksasa, tidak memberikan sinyal positif yang bisa membuat harga minyak turun. Artinya, sebagai produsen minyak utama, semestinya mereka tahu betul berapa sesungguhnya biaya produksi yang mereka keluarkan untuk menghasilkan minyak. Jadi, semestinya kalau pelaku-pelaku utama itu memang ingin harga minyak turun, mereka bisa mengeluarkan statement. OPEC, misalnya, bisa menyatakan bahwa mereka sebetulnya memproduksi minyak hanya dengan biaya dalam rentang, katakanlah, US$90 – 100 per barel, atau mereka bisa juga mengatakan bahwa mereka menjual minyak dengan harga hanya US$9-100. Itu bisa menjadi sinyal positif sehingga harga minyak akan turun. Pasar pasti akan bereaksi bahwa sebetulnya pada level itulah harga yang wajar. Akan tetapi, yang terjadi tidak demikian. Bahkan OPEC malah memprediksikan harga minyak hingga US$170 per barel. Tentu saja ini bukan sinyal positif untuk turunnya harga minyak. Namun, itu justru akan membuat banyak orang makin berlomba-lomba memburu surat-surat perdagangan berjangka minyak. Jadi, saat ini yang terjadi bukan permintaan minyak dalam arti secara fisik minyak itu akan betul-betul dipakai, melainkan permintaan terhadap surat-surat berharga yang isinya kontrak minyak. Sebab, secara riil, konsumsi minyak di tingkat dunia semestinya tidak meningkat atau tinggi karena pertumbuhan ekonomi dunia sekarang turun di bawah 3% dari sebelumnya yang di atas 3%.
Negara-negara yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan konsumsi minyak hanyalah Cina dan India. Itu pun dengan catatan pertumbuhan ekonomi Cina juga sedang menurun dari di atas 11% menjadi di bawah 9%. Jadi, secara fundamental tidak ada alasan bahwa konsumsi minyak di tingkat dunia secara riil meningkat. Dampak ke APBN dan Dunia Usaha Harga minyak dunia saat ini sudah mencapai sekitar US$150 per barel. Kalau level ini bertahan hingga akhir tahun, artinya secara rata-rata tingkat Indonesia Crude Price (ICP) kita berada pada kisaran US$130 per barel. Dengan demikian, kemungkinan besaran subsidi yang harus ditanggung pemerintah, untuk subsidi BBM dan LPG, bisa mencapai Rp184 triliun. Jika ditambah dengan subsidi listrik yang bisa mencapai Rp87 triliun, maka total subsidi mencapai Rp272,9 triliun. Ini adalah titik kritis APBN. Artinya, hanya pada tingkat itulah APBN masih bisa menanggung subsidi setelah menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu. Dampaknya bagi dunia usaha, tergantung pada kebijakan pemerintah nantinya. Akan tetapi, yang jelas, sekarang pun sudah terjadi efek inflasi karena kenaikan harga BBM lalu. Sektor industri sendiri juga sudah harus membeli BBM dengan harga pasar, dan itu bisa menaikkan biaya produksi hingga 10% secara umum.
Saran saya, di tengah tingginya harga minyak dunia sekarang, sebaiknya pemerintah berani untuk lebih tegas dalam pengefisienan cost recovery. Jangan terlalu khawatir investor akan lari karena insentif yang paling ampuh untuk berinvestasi adalah harga minyak yang sedang tinggi saat ini. Jadi, investor akan tetap tertarik berinvestasi karena harga minyak yang tinggi walaupun mereka harus menekan cost recovery. Kemudian, dalam menyikapi harga minyak dunia yang tinggi, mestinya dari sekarang sikap pemerintah sudah harus jelas: apakah memutuskan akan kembali menaikkan harga BBM apabila harga minyak dunia makin tinggi atau memutuskan tetap bertahan habis-habisan dengan APBN yang ada pada berapa pun harga minyak dunia nantinya. Mengapa butuh kejelasan? Supaya pemerintah bisa mempersiapkan diri pada kedua pilihan kebijakan itu.
Apabila ingin menaikkan harga BBM, maka dari sekarang pemerintah perlu menyiapkan program pengalihan subsidi yang produktif. Misalnya, pembangunan infrastruktur padat karya atau pembenahan sistem transportasi umum. Diharapkan, sifatnya jangan dadakan, sehingga ujung-ujungnya BLT lagi. Sebaliknya, jika tidak ingin menaikkan harga BBM karena alasan politis, sudah harus jelas juga dari sekarang pos-pos APBN mana yang masih bisa diutak-atik. Dunia usaha juga sudah harus mengantisipasi dari sekarang. Bukan tidak mungkin pemerintah akan mengambil keputusan yang cukup drastis dalam arti kembali menaikkan harga BBM. Jadi, efisiensi usaha yang makin ketat sudah harus dimulai dari sekarang. Namun, saya yakin dunia usaha telah melakukannya dengan sendirinya sebagai respons. Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi Pertambangan dan Energi. Tulisan ini disarikan dari wawancara.