WartaEkonomi; 10 Januari 2023
Fahmy mengingatkan pemerintah untuk dapat mewaspadai agar dalam menciptakan pasar kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di dalam negeri tidak dikuasai oleh produk impor.
“Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik, Pemerintah harus mewapadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor dan perusahaan asing, seperti industri otomotif konvensional,” ujar Fahmy dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (20/12/2022).
Fahmy mengatakan, untuk dapat mengantisipasi hal tersebut terjadi, maka pemerintah harus mensyaratkan pemberian insentif kendaraan listrik. Salah satunya adalah tidak hanya keharusan pabrik di Indonesia, tetapi juga harus mensyaratkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 75 persen.
“Pemerintah harus mensyaratkan juga transfer teknologi, khususnya technological capability dalam waktu lima tahun. Kalau persyaratan tersebut dipenuhi, pada saatnya kendaraan listrik dapat diproduksi sendiri oleh anak-bangsa, yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan luar negeri,” ujarnya.
Menurutnya, jika pasar dalam negeri sudah terbentuk, tanpa disuruh pun PLN pasti akan berinvestasi dalam Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) di seluruh wilayah Indonesia, lantaaran SPLU merupakan investasi yang prospektif.
Untuk penyediaan SPLU tersebut, PLN seharusya menggandeng penguasaha UMKM yang tersebar di seluruh wilayah Inonesia. Selain itu, PLN juga harus secara istiqomah menjalankan program migrasi dari penggunaan batu bara ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
“Melaui insentif kendaraan listrik ini diharapkan ke depan akan tercipta penggunaan energi ramah lingkungan dari hulu hingga hilir, sehingga bukan mustahil bagi Indonesia mencapai zero carbon pada 2060,” ungkapnya.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan pemberian subsidi untuk pembelian kendaraan listrik (EV) hanya akan dinikmati perusahaan asing terutama, produsen Wuling dari China dan Hyundai dari Korea Selatan.
“Dengan adanya subsidi pembelian EV ini akan membuat perusahaan-perusahaan tersebut akan memproduksi EV secara masif dan menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan banyak keuntungan. Sementara Indonesia hanya kebagian bebannya saja yang membuat subsidi ini seperti menyubsidi China dan Korea. Semuanya merek-merek kendaraan buatan luar negeri. Tidak ada mobil nasional,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).
Achmad mengatakan subsidi seharusnya bisa menghidupkan industri dalam negeri. Menurutnya, akan sangat rasional jika subsidi ini diberikan jika Indonesia memproduksi kendaraan listrik nasional sehingga keuntungannya adalah buat negara.
Lanjutnya, impor EV merupakan impor dengan kategori heavy. Hal ini akan menyebabkan peningkatan nilai impor yang berpotensi merusak neraca perdagangan.
“Kita hanya memberi keuntungan buat asing di mana demand produk kendaraan listrik akan meningkat dari waktu ke waktu. Sangat bodoh jika Indonesia tidak ambil bagian atas peluang jangka panjang ini,” ujarnya.
Selain itu, yang akan menjadi persoalan ada infrastruktur yang belum memadai, di mana subsidi hanya diberikan di kota-kota besar saja yang sudah terdukung secara infrastruktur, sehingga akan terjadi ketidakadilan.
Dengan kondisi tersebut, seharusnya pemerintah dapat lebih memperhatikan faktor lainnya sebelum mengeluarkan kebijakan. Menurutnya, subsidi baru bisa dilakukan seandainya infrastruktur tidak merata.
Lebih lanjut, Achmad menyebut daripada memberikan subsidi EV lebih baik pemerintah memperbaiki transportasi publik yang menggunakan listrik untuk mengurangi emisi karbon dan mengurai kemacetan.
Termasuk dalam rangka menekan inflasi, pemerintah bisa memprioritaskan subsidi BBM, dan stimulasi untuk membuka lapangan-lapangan kerja baru sebagai antisipasi angka PHK yang sudah mulai terjadi.
“Walau bagaimanapun pemerintah harus punya sense of crisis sebagai pengemban amanat rakyat dengan mengedepankan persoalan yang sedang terjadi sebagai skala prioritas. Jadi subsidi pembelian kendaraan belum tepat dilakukan untuk saat ini,” tutupnya.
Transisi Energi Tidak Hanya Lewat Kendaraan Listrik
Novia Xu mengatakan dalam mendorong penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), efisiensi penggunaan energi juga harus dilakukan.
Dalam artian bahwa pembangunan ekosistem rendah karbon tidak serta merta hanya lewat penggunaan kendaraan listrik, tapi non-bermotor atau transportasi umum penting.
“Keamanan dan kenyamanan transportasi umum bermanfaat untuk semua (inklusif), misalnya siswa yang belum bisa berkendara,” ujarnya.
Novia mengatakan, subsidi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang dilakukan oleh pemerintah jika dikaitkan dengan memengaruhi subsidi energi rasanya sulit untuk dinilai.
Sulit untuk melihat dampak dari subsidi mobil atau motor listrik karena faktor yang memengaruhi besaran subsidi energi tidak hanya penggunaan kendaraan pribadi.
“Tapi juga penggunaan untuk industri, kemudian dipengaruhi juga oleh harga energi di dunia karena Indonesia masih price taker sebagai net importir,” ujarnya.
Sementra itu Ekonom Centre of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendi Manilet mengatakan kebijakan insentif mobil listrik memang menjadi salah satu langkah yang bisa berpeluang untuk mencapai target pengurangan karbon.
“Hanya saja, pemberian insentif konversi kendaraan listrik tentu tidak bisa bekerja sendiri mengingat, salah satu penyebab meningkatnya emisi karbon adalah pembebasan lahan dan juga asap buangan dari salah satunya PLTU,” ujar Yusuf saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Yusuf mengatakan, kebijakan tersebut tentunya akan mendorong angka kendaraan listrik, namun dibutuhkan waktu apalagi dibutuhkan waktu untuk membangun infrastruktur kendaraan listrik, termasuk di dalamnya tempat melakukan recharging baterai di seluruh Indonesia.
“Menurut saya dalam jangka panjang, ada peluang konversi kendaraan listrik akan menurunkan subsidi energi pada APBN,” ujarnya.
Namun, butuh berapa lama dan seberapa besar akam meringankan APBN, bergantung pada seberapa besar nominal subsidi yang diberikan.
“Kepada jenis kendaraan apa diberikan dan kemampuan atau respons konsumem otomotif dalam melakukam konversi kendaraannya,” ungkapnya
Harus Perhatikan Kapasitas Fiskal
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) harus memperhatikan kemampuan fiskal.
“Saya kira bagus untuk akselerasi kendaraan listrik dan tentu dilihat juga kemampuan fiskalnya sampai sejauh mana,” ujar Komaidi saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Rabu (21/12/2022).
Komaidi mengatakan kebijakan ini dapat dikatakan positif jika untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Pasalnya memperbanyak kendaraan listrik merupakan bagian yang harus dilakukan untuk mencapai hal tersebut.
“Hanya saja nanti dilihat kira-kira kapasitas fiskalnya seperti apa, jangan sampai mengganggu keseimbangan yang lain,” ujarnya.
Komaidi menyebut untuk dapat mencapai tujuan pemerintah demi menghemat subsidi energi melalui kendaraan listrik tidak dapat diperkirakan secara seutuhnya. Menurutnya, hal tersebut bergantung sampai berapa kapasitas yang mampu disubsidi dan penetrasi kendaraan listriknya sendiri.
“Nanti kalau bisa banyak, tentu bisa menghemat, tapi kalau enggak banyak kan belum tentu bisa menghemat juga, di satu sisi mungkin dari konsumsi BBM-nya iya, tapi kan nanti mereka juga konsumsi listrik, ada aspek yang lainnya. Sementara listriknya masih disubsidi nih, jadi juga perlu dihitung sehingga tidak over optimis saja pemerintah,” ungkapnya.
Lanjutnya, jangan sampai kelewatan optimis, di mana seolah-olah hanya BBM saja yang kurang, tetapi di sisi lain ada juga subsidi listrik yang diberikan pemerintah dan ini harus dikalkulasi secara utuh selisihnya berapa.
“Intinya tetap ada penghematan, artinya subsidi listriinya jauh lebih murah dibandingkan dengan subsidi BBM-nya, tapi apa pun itu lihatnya harus lebih utuh atau lebih lengkap, kalau enggak utuh nanti khawatirnya akan jadi salah kalkulasi,” ucapnya.
Harapan Palsu
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai program subsidi pembelian kendaraan listrik hanya memberi harapan palsu kepada masyarakat.
Pasalnya informasi yang sempat menghebohkan ternyata tidak ada alokasinya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
“Hanya bikin gaduh saja. Masyarakat selalu di-PHP-in. Program yang belum jelas implementasinya sebaiknya pemerintah tidak menyampaikan ke publik. Karena jiika masyarakat berharap dan tidak tertunaikan akan mengesankan bahwa pemerintah mempermainkan harapan rakyat,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/12/2022).
Ditambah lagi dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu yang menyebutkan APBN 2023 belum memasukkan anggaran untuk subsidi kendaraan listrik.
“Dia pun menegaskan bahwa untuk nilai anggaran subsidi sebesar Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp40 juta untuk mobil berbasis hybrid, Rp8 juta untuk motor listrik, dan Rp5 juta untuk konversi motor listrik masih belum difinalkan,” ujarnya.
Achmad mengatakan, besaran angka subsidi untuk pembelian mobil listrik senilai Rp80 juga dan mobil berbasis hybrid sebesar Rp40 juta sangatlah fantastis mengingat angka tersebut hanya bisa didapatkan oleh orang dengan ekonomi kelas atas.
Berbanding terbalik dengan bantuan sosial yang hanya berada di angka Rp600 ribu, dengan begitu ini berpotensi bisa mengakibatkan kecemburuan sosial.
“Subsidi kendaraan listrik ini hanya akan menguntungkan perusahaan asing saja karena saat ini yang menguasai pasar kendaraan listrik adalah China dan Korea,” ungkapnya.
Menurutnya, ambisi negara ini kurang besar dalam industri kendaraan. Jika kendaraan listrik ini dijadikan solusi sebagai kendaraan yang ramah lingkungan yang mengurangi emisi karbon, maka seharusnya dari saat ini program yang didahulukan adalah membangun industri kendaraan listrik.
Ditambah lagi dengan kondisi Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia yang mana nikel merupakan bahan baku baterai.
“Jika produksi nikel dikuasai oleh Indonesia (bukan oleh China atau asing) dan juga memproduksi baterai dan kendaraan listrik, maka Indonesia akan mengalami lompatan besar dalam ekonomi,” ucapnya.
Achmad mengungkapkan jika mampu melakukan itu, maka yang terjadi adalah Indonesia bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Pasalnya, dahulu negara yang menjadi raksasa ekonomi adalah negara yang menguasai minyak, sementara energi berbahan fosil semakin habis dan sekarang beralih ke penggunaan baterai.
Kemudian juga Indonesia dapat memproduksi kendaraan listrik yang baterainya dihasilkan di dalam negeri, sehingga keuntungan akan masuk ke dalam negeri.
“Dampaknya adalah harga kendaraan listrik yang dibuat di dalam negeri akan lebih murah, jadi tidak perlu ada lagi wacana subsidi kendaraan listrik,” ujar Achmad.
Meski begitu, tantangannya akan sangat besar karena perusahaan kendaraan listrik asing akan tersaingi dan terpinggirkan. Namun, Indonesia akan mempunyai posisi kuat untuk bekerja sama dalam penyediaan baterai yang telah dikuasai negara dari hulu ke hilir.
“Pertanyaannya, apakah Indonesia tidak punya SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan? Apakah Indonesia tidak mampu mengadakan peralatan untuk memproduksi kendaraan? Jika jawabannya “iya”, maka Indonesia susah untuk menjadi negara maju, program pendidikan Indonesia dianggap gagal jika tidak mampu mencetak SDM yang mampu merancang dan membuat kendaraan,” tutupnya.