Pri Agung Rakhmanto
Kandidat doktor Ilmu Ekonomi Politik Universiteit Twente, Belanda
Bisnis Indonesia, 17 Juni 2006
Sudah sejak lama subsidi harga minyak tanah dirasakan membebani perekonomian nasional. Saat ini, dengan tingginya harga minyak dunia, subsidi pemerintah untuk minyak tanah diperkirakan mencapai lebih dari Rp25 triliun. Tak mengherankan pemerintah pun berupaya mencari jalan keluar untuk mengurangi pemakaian minyak tanah oleh masyarakat yang mencapai 10 juta kilo liter per tahun itu.
Kebijakan yang hendak ditempuh saat ini adalah rencana penarikan kompor minyak untuk digantikan dengan kompor elpiji yang akan diimplementasikan pada 2007. Semangat dari kebijakan tentu baik, yaitu diversifikasi energi dan penghematan anggaran. Namun, jika kebijakan ini ditelaah lebih seksama ada beberapa hal mendasar yang mungkin patut ditinjau kembali.
Pertama, dari sisi normatif, kebijakan menarik kompor minyak tanah dari pasaran (paling lambat 2007) dapat dikatakan merupakan kebijakan yang cenderung bersifat memaksa, khususnya terhadap masyarakat kecil. Kebijakan ini juga dapat mematikan industri rakyat yang bergerak dalam produksi kompor minyak tanah.
Umumnya, dengan beban ekonomi yang makin berat, masyarakat menengah ke bawah akan beralih ke sumber energi lain yang lebih murah seperti kayu bakar, bukannya ke elpiji. Secara alamiah, tanpa harus dipaksa, kebanyakan masyarakat akan beralih dari minyak tanah ke elpiji ketika taraf kehidupan ekonomi dan daya belinya meningkat.
Kedua, dari sisi tekno-ekonomi, kebijakan ini justru dapat menimbulkan masalah-masalah lain. Infrastruktur dan sistem distribusi untuk pengadaan elpiji masih sangat terbatas, sehingga sulit untuk diimplementasikan dalam skala nasional. Pengadaan tabung elpiji mini yang sangat mungkin berasal dari impor juga akan makin memberatkan keuangan negara dan membuat perekonominan nasional makin tergantung kepada pihak luar.
Rencana penjualan elpiji dengan harga yang disubsidi juga dapat menyebabkan penyelundupan elpiji ke luar negeri karena disparitas harga yang ada. Pengalihan subsidi harga ini (dari subsidi harga minyak tanah ke subsidi harga elpiji) tetap akan menimbulkan distorsi pasar.
Hal ini pada dasarnya juga tidak konsisten dengan kebijakan sektor energi nasional yang dikatakan akan makin diarahkan menuju mekanisme pasar. Ketiga, kebijakan ini juga ibarat mementahkan kembali kesepakatan bahwa pemanfaatan gas bumi dalam negeri semestinya lebih diprioritaskan sebagai bahan baku untuk industri (petrokimia, pupuk, dan lain-lain) yang dapat menghasilkan nilai tambah lebih tinggi, bukan hanya sekadar untuk bahan bakar.
Secara singkat, ditinjau dari aspek sosial, dan politik ekonomi energi yang lebih luas, kebijakan substitusi minyak tanah ke elpiji ini dapat dikatakan tidak memiliki landasan pemikiran yang cukup kokoh. Bagi masyarakat awam pun, kebijakan ini cenderung membingungkan. Karena itu, adakah alternatif kebijakan lain yang mungkin dapat memberikan hasil lebih baik?
Berdasarkan analisis penulis, kebijakan untuk mendorong pemanfaatan briket batu bara sebagai substitusi minyak tanah rasanya dapat menjadi suatu alternatif yang mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik. Setidaknya ada beberapa alasan.
Pertama, pemerintah telah menguasai teknologi pengembangan dan pemanfaatan briket batubara, dan telah mempunyai pengalaman dalam hal itu. Produksi briket batubara saat ini sekitar 100.000 ton per tahun dan seluruhnya terserap oleh pasar dalam negeri. Dari aspek implementasinya kebijakan ini rasanya jauh lebih feasible dan rasional.
Kebijakan energi
Hal ini juga konsisten dengan kebijakan energi yang telah ditetapkan sendiri oleh pemerintah sejak lama, baik dalam Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) 1988 maupun Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2003 yang telah menggariskan bahwa pemakaian briket batu bara harus makin didorong untuk menggantikan minyak tanah.
Kedua, harga keekonomian 1 kg briket batu bara (dengan kandungan kalori 11.009 kilo kalori, setara dengan 1,15 liter minyak tanah) adalah sebesar Rp900, jauh lebih murah dibandingkan harga eceran tertinggi minyak tanah sebesar Rp2.250.
Dengan demikian tanpa memberikan subsidi pun briket batu bara secara ekonomis sudah jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan minyak tanah. Berbeda dengan kebijakan substitusi minyak tanah ke elpiji di mana pemerintah berencana masih tetap akan memberikan subsidi harga elpiji sekitar Rp1.800 per kg.
Ketiga, pemanfaatan briket batu bara akan menghidupkan industri kerakyatan dalam produksi briket yang lebih bersifat padat karya, sehingga, kebijakan ini dapat membantu mengembangkan perekonomian daerah pedesaan, membuka lapangan pekerjaan baru, dan mengurangi angka kemiskinan.
Data yang ada menunjukkan bahwa usaha seperti koperasi mampu memproduksikan briket batu bara. Beberapa pabrik briket yang berada di luar Jawa juga dapat memperluas penetrasinya hingga ke luar Jawa.
Selain untuk keperluan rumah tangga, briket batu bara selama ini juga telah dapat dimanfaatkan untuk berbagai industri ekonomi rakyat (industri rumahan, industri kecil dan menengah)
Keempat, ketersediaan cadangan batubara Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan cadangan gas bumi. Rasio cadangan batu bara Indonesia terhadap produksinya saat ini adalah lebih dari 100 tahun, sedangkan rasio cadangan gas bumi terhadap produksinya hanya sekitar 48 tahun.
Ditinjau dari hal ini, potensi peningkatan produksi briket batu bara masih sangat potensial dan keamanan pasokannya relatif jauh lebih terjamin dibandingkan pasokan elpiji.
Kelima, adanya anggapan bahwa briket batu bara berbahaya bagi kesehatan juga kurang beralasan. Dari berbagai penelitian yang dilakukan, termasuk oleh BPPT dan Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara DESDM, ditemukan bahwa briket batu bara jenis berkarbonisasi (super), tidak membahayakan kesehatan karena asap dan bau yang dilepaskan dapat diminimalkan sampai pada tingkat yang aman.
Berdasarkan hal-hal di atas, kiranya ada baiknya jika rencana kebijakan substitusi minyak tanah ke elpiji ini ditinjau kembali. Mengingat ada pilihan kebijakan lain yang rasanya dapat memberikan hasil yang lebih baik. Mungkin akan lebih baik jika pemerintah segera menindaklanjuti kembali kebijakan untuk mendorong pemanfaatan briket batu bara yang sudah lama digariskan dibandingkan harus memulai dari tahapan pilot project untuk substitusi minyak tanah ke elpiji. Upaya sosialisasi yang lebih nyata kepada masyarakat mutlak dilaksanakan secepatnya. Mapping dan proyeksi permintaan minyak tanah dalam negeri ke depan beserta informasi kebutuhan investasi pabrik briket batu bara yang lebih komprehensif harus segera dibuat agar implementasi kebijakan pemanfaatan briket batu bara dapat segera direalisasikan.