Wednesday, January 22, 2025
HomeReforminer di Media2007Nasionalisasi Migas Ala Indonesia

Nasionalisasi Migas Ala Indonesia

Pri Agung Rakhmanto
Bisnis Indonesia, 12 Juli 2007

Tuntutan nasionalisasi industri migas belakangan ini kembali mengemuka. Setidaknya ada tiga hal yang memicu munculnya kembali tuntutan ini.

Pertama, adanya sentimen nasionalisme yang terkoyak melihat kenyataan bahwa industri migas kita sejak dikembangkan secara intensif di awal era Order Baru, ternyata hingga saat ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Sekitar 90% dari produksi minyak kita dihasilkan oleh perusahaan asing.

Kedua, adanya suatu keprihatinan terhadap kenyataan yang ada bahwa sumber daya migas yang sudah sejak lama dikembangkan dan dimanfaatkan tersebut ternyata belum mempu memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Data Bank Dunia 2006 menunjukkan bahwa sekitar 109 juta jiwa penduduk Indonesia (hampir 50%) masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketiga, adanya fenomena nasionalisasi industri migas yang terjadi di Bolivia dan Venezuela yang hingga hari ini ternyata dapat berjalan relatif aman, lancar, dan berdampak positif bagi kemakmuran di kedua negara tersebut.

Pertanyaannya, akankah nasionalisasi migas kembali terjadi di Indonesia ataukah hanya akan menjadi sebatas wacana saja? Utopia nasionalisasi Membayangkan Indonesia akan mengikuti langkah Bolivia dan Venezuela dalam menasionalisasi industri migasnya dalam kondisi sekarang ini tampaknya hanya akan menjadi sebuah mimpi. Sebuah utopia.

Dengan karakteristik keragu-raguan kepemimpinan nasional yang ada saat ini dan dengan mainstream ekonomi neoliberal yang dianut yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai panglima, nasionalisasi migas ala Bolivia dan Venezuela hampir dapat dipastikan tak akan terjadi di Indonesia dalam waktu dekat ini.

Ditambah lagi dengan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap utang luar negeri dan ekonomi global yang begitu besar. Utopia nasionalisasi migas tampak terlihat jelas di depan mata. Walapun itu semua tak dapat dijadikan sebagai justifikasi ataupun legitimasi untuk tidak melakukan nasionalisasi, tetapi itu adalah realita yang ada saat ini dan suka atau tidak suka memang menjadi faktor penghambat yang jelas tak dapat dielakkan.

Lalu, tak adakah celah bagi bangsa ini untuk dapat mewujudkan nasionalisasi industri migasnya agar tak hanya berhenti sebatas wacana saja? Barangkali, satu hal yang patut kita jadikan pegangan bersama terlebih dahulu adalah dalam hal hakekat nasionalisasi itu sendiri. Dalam konteks ini, nasionalisasi industri migas tidak harus selalu diartikan dalam bentuk pengambilalihan kembali industri migas oleh negara atau perusahaan nasional, tetapi justru lebih kepada implementasi yang lebih nyata untuk mengelola industri migas demi kepentingan nasional (baca: kesejahteraan rakyat).

Jadi, dapat dikatakan disini bahwa nasionalisasi migas pada hakekatnya adalah pengutamaan kepentingan kesejahteraan rakyat dari pengelolaan industri migas itu sendiri. Berpegang pada hal itu, dalam konteks migas Indonesia saat ini, ada beberapa langkah nasionalisasi migas ala Indonesia yang rasanya cukup realistis dan sangat perlu untuk segera diwujudkan.

Pertama, nasionalisasi dalam bentuk penghematan cost recovery migas yang pada 2006 lalu jumlahnya tak kurang dari US$7,5 miliar (hampir Rp. 70 trilyun!) dan terindikasi sangat tidak efisien. Indikasi penyimpangan cost recovery sebesar Rp18,07 triliun yang ditemukan BPKP (Kompas, 24/1/2007) harus ditindaklanjuti dengan pengawasan yang lebih ketat dan tindakan tegas lain yang lebih konkret, termasuk dengan pengembalian cost recovery yang tidak semestinya kepada negara. Kedua, nasionalisasi dalam bentuk mengubah kebijakan ekspor-impor minyak mentah yang selama ini diindikasikan sarat dengan aktifitas perburuan rente oleh segelintir elit di dalamnya.

Ekspor minyak semestinya hanya dilakukan setelah kebutuhan domestik terpenuhi, sehingga kita tidak perlu mengimpor minyak mentah dengan biaya yang lebih mahal. Tak kurang dari Rp3 triliun-Rp4 triliun rupiah per tahun uang negara kemungkinan besar dapat dihemat di sini. Ketiga, nasionalisasi dalam bentuk kontrol dan perhitungan yang lebih akurat dalam penentuan besarnya subsidi BBM, yang dalam tiga tahun terakhir ini jumlahnya selalu melebihi Rp60 triliun dan sebenarnya sangat terbuka kemungkinannya untuk dapat ditekan.

Kalau saja ketiga bentuk nasionalisasi migas ala Indonesia ini dapat dilakukan secara jujur dan konsisten, sangat mungkin akan ada ‘suntikan’ puluhan triliun rupiah uang negara yang sebenarnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tentu masih banyak lagi bentuk nasionalisasi migas lain yang mestinya dapat kita dilakukan, termasuk pilihan untuk melakukan renegosiasi terhadap kontrak-kontrak migas yang ada.

Tetapi jika ketiga contoh sederhana itu saja tidak mampu dan tidak berani dilakukan, tak usahlah kita berharap akan ada peningkatan kesejahteraan rakyat dari sektor migas, pun ketika nasionalisasi migas ala Bolivia dan Venezuela diterapkan di Indonesia.

Oleh : Pri Agung Rakhmanto

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments