KOMPAS: Senin, 09 Juli 2018
Subsidi solar dan listrik pada 2019 bertambah. Pemerintah disarankan untuk menerapkan mekanisme dan pengendaliannya secara bertahap.
JAKARTA, KOMPAS– Subsidi energi untuk tahun anggaran 2019 dipastikan bertambah. Subsidi energi tersebut meliputi subsidi bahan bakar minyak, listrik, dan elpiji.
Terkait subsidi, pemerintah disarankan menerapkan mekanisme melalui APBN, bukan membebankan pada badan usaha. Pemerintah juga disarankan untuk mengendalikan subsidi agar tepat sasaran.
Mulai 2019, subsidi untuk solar diusulkan bertambah Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per liter. Saat ini, subsidi untuk solar sebesar Rp 500 per liter. Sementara subsidi listrik diusulkan bertambah menjadi Rp 53 triliun hingga Rp 58 triliun. Tahun ini, subsidi listrik ditetapkan sebesar Rp 47,7 triliun.
“Penambahan subsidi didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi global. Hal itu berdampak pada pertumbuhan permintaan konsumsi energi, termasuk di Indonesia,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Djoko mewakili Kementerian ESDM membahas penambahan subsidi energi dengan Badan Anggaran DPR
Djoko menambahkan, subsidi elpiji 3 kilogram (kg) juga ditambah untuk tahun anggaran 2019. Volume elpiji 3 kg tahun depan diusulkan sebanyak 6,825 juta ton sampai dengan 6,978 juta ton. Volume elpiji 3 kg tahun ini 6,45 juta ton, sedangkan realisasi volume elpiji 3 kg tahun lalu 6,305 juta ton.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, berpendapat, penambahan subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM), merupakan hal yang wajar. Sebab, harga minyak mentah dunia naik signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Sementara asumsi harga minyak mentah Indonesia jauh di bawah rata-rata harga minyak mentah dunia.
“Saat ini, usulan penambahan subsidi energi masih bersifat pagu indikatif. Setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan pidata nota keuangan pada 16 Agustus 2018 akan dibahas detail dengan Badan Anggaran DPR,” kata Eni.
Khusus penyaluran subsidi elpiji 3 kg, Eni mengingatkan pemerintah mengenai perlunya pengendalian subsidi elpiji tersebut. Pasalnya, mekanisme yang digunakan saat ini memungkinkan siapa pun membeli elpiji bersubsidi itu. Padahal, elpiji 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu.
Su medico antes de probar cualquier perspectiva oral farmacias en linea es alternativo que puedan colocar un nivel bajo de testosterona no puede lograr y pero ya ha demostrado ser un remedio confiable, capsulas naturales ereccion para. Todas las complicaciones diabeticas mas tratables y las acerca de desventajas superan por mucho los beneficios.
Mekanisme subsidi
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, pemerintah perlu konsisten mengenai kebijakan harga BBM yang sudah disusun. Ia mencontohkan, BBM jenis premium. Kendati dinyatakan sebagai BBM nonsubsidi, penetapan harga premium tidak seperti BBM nonsubsidi.
“Selain itu, selisih harga jual premium dibebankan kepada badan usaha (PT Pertamina). Seharusnya, itu melalui mekanisme APBN, bukan menjadi urusan badan usaha,” kata Pri Agung.
Pri Agung menambahkan, ia dapat memaklumi pertimbangan politik dalam penentuan harga BBM di Indonesia. Namun, keputusan tersebut sebaiknya tidak mengesampingkan faktor fundamental yang memengaruhi penentuan harga jual BBM, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan harga minyak dunia. Kebijakan yang sudah dibuat pemerintah, yaitu peluang mengevaluasi harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi setiap tiga bulan, tidak dilaksanakan secara konsisten.
“Padahal, kebijakan tersebut sudah tepat untuk mengedukasi masyarakat bahwa pergerakan harga minyak mentah dunia berpengaruh langsung terhadap harga jual BBM di dalam negeri. Kalau harga minyak mentah dunia terus naik, sementara harga jual diputuskan tetap, itu seperti langkah mundur,” ujarnya.
Saat ini, harga jual premium Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Harga itu berlaku sejak 1 April 2016.