Kompas, 13 Juni 2014
JAKARTA,Pemerintah harus tegas, konsisten, dan transparan menyangkut segala hal dalam renegosiasi kontrak dengan PT Freeport Indonesia. Ketegasan dan konsistensi tersebut harus selaras dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Masukan itu disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Sumber Daya Alam Indonesia Marwan Batubara di Jakarta, Kamis (12/6).
Menurut Pri Agung, gagasan menerbitkan nota kesepahaman (MOU) antara pemerintah dan PT Freeport untuk memastikan perpanjangan kontrak tidak dikenal dalam aturan. Hal itu justru memunculkan kesan seolah-olah pemerintah saat ini berniat memperpanjang kontrak, tetapi tidak berani mengambil keputusan perpanjangan secara definitif.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang memicu dan mendorong perpanjangan kontrak harus dibahas sekarang? Padahal, kontrak Freeport akan berakhir tahun 2021. Pemerintahan sekarang akan berakhir beberapa bulan mendatang dan pemerintahan yang baru akan segera terbentuk,” kata Pri Agung.
Tak boleh ditukar
Kesediaan PT Freeport membangun pabrik pengolahan (smelter), menurut Pri Agung, tidak terkait dengan perpanjangan kontrak. Pembangunan smelter merupakan amanat undang-undang yang harus dijalankan. Perpanjangan kontrak tidak boleh ditukar dengan kewajiban membangun smelter.
Marwan Batubara menyebutkan, pembahasan renegosiasi kontrak harus sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Enam poin tentang renegosiasi tetap harus dipatuhi. Poin-poin itu adalah luas wilayah pertambangan, penerimaan negara (royalti), kewajiban divestasi, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral, kelanjutan operasi, serta pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri.
“Perlu diakui, PT Freeport butuh jaminan perpanjangan kontrak setelah mereka menyatakan kesediaan membangun smelter. Tentu mereka tak ingin investasi smelter menjadi sia-sia jika kemudian kontrak tak diperpanjang, kata Marwan.
Kewenangan
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi VII DPR menegaskan, pembahasan perpanjangan kontrak PT Freeport bukan kewenangan pemerintahan saat ini. Berdasarkan undang-undang, perpanjangan kontrak bisa diajukan lagi dua tahun sebelum masa kontrak habis.
“Freeport akan habis masa kontraknya pada tahun 2021. Artinya, pembahasan perpanjangan dilakukan pada tahun 2019. Itu bukan urusan pemerintah sekarang, melainkan pemerintah yang baru nanti, ujar Jero.
Kemajuan
Menurut Jero, sudah ada kemajuan dalam renegosiasi kontrak dengan PT Freeport Kemajuan itu antara lain PT Freeport telah menyetor uang jaminan 115 juta dollar AS kepada pemerintah untuk membangun smelter. Adapun perihal divestasi PT Freeport sejauh ini baru disepakati 30 persen.
“Soal pemberian uang jaminan untuk membangun smelter itu beda dengan persoalan perpanjangan kontrak, kata Jero.
Dalam kesempatan terpisah,Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah mengatakan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, perpanjangan kontrak PT Freeport paling cepat dilakukan pada tahun 2019.
“Memang presiden periode 2014-2019 yang akan menentukan hal ini,kata Firmanzah.
Dia mengungkapkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sikap tidak akan mengambil kebijakan strategis dalam sisa masa jabatannya hingga Oktober 2014.
Mengenai larangan ekspor mineral mentah, menurut Firmanzah, sikap Presiden sama dengan para menteri, yakni smelter harus dibangun oleh perusahaan tambang. Renegosiasi pemerintah dengan perusahaan tambang harus dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku.