Investor.id; 03 Agustus 2023
JAKARTA, investor.id – Reforminer Institute menilai rencana penerapan perluasan harga gas bumi murah untuk kalangan industri perlu kehati-hatian. Pasalnya, biaya implementasi untuk kebijakan harga gas bumi murah tersebut justru cukup besar.
“Sampai saat ini biaya untuk implementasi kebijakan hargangas bumi murah tercatat masih lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang telah diperoleh,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam pernyataan tertulis, Rabu (02/08/2023).
Menurut Komaidi, studi ReforMiner juga menemukan bahwa kebijakan harga gas bumi murah belum tentu dapat secara otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas. Hal itu, kata dia, karena biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas tidak hanya ditentukan oleh harga gas, tetapi ditentukan oleh sejumlah faktor.
Disebutkan bahwa level harga atau tinggi-rendahnya harga gas di Indonesia akan terkait dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pengusahaan gas bumi. Semakin besar PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi dapat semakin murah.
Tinggi-rendahnya harga gas, ujar Komaidi, akan ditentukan oleh keekonomian lapangan. Semakin kecil skala gas yang diproduksikan, maka biaya produksi dan harga gas akan semakin mahal. Lokasi lapangan juga menentukan besaran biaya produksi gas.
“Produksi gas di wilayah remote atau di laut dalam akan memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan produksi gas di onshore dan pada wilayah yang lebih terjangkau,” ujarnya.
Kondisi pasar dan ketersediaan infrastruktur gas juga, lanjut Komaidi, akan menentukan tinggi-rendahnya harga gas. Kondisi pasar gas dengan pembeli yang terbatas dan volume pembelian yang kecil, akan menyebabkan harga gas menjadi lebih mahal.
“Keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas juga dapat menyebabkan keekonomian proyek dan harga gas menjadi lebih mahal,” kata Komaidi.
Tinggi-rendahnya harga gas jelas Komaidi, akan memberikan sinyal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap iklim investasi hulu gas. “Harga gas yang ditekan terlalu rendah dapat menyebabkan kegiatan usaha hulu gas tidak cukup menarik bagi produsen dan dapat menghambat pengembangan lapangan gas seperti yang telah terjadi pada pengembangan proyek Blok Natuna, IDD, dan Blok Masela,” jelasnya.
Adapun harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah juga menurut Komaidi, dapat memberikan sinyal negatif dan disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri. Harga gas yang rendah, dapat menyebabkan insentif untuk usaha penyediaan infrastruktur gas di dalam negeri menjadi tidak cukup menarik.
“Pengembangan proyek infrastruktur pipa gas CISEM Tahap 1 dan 2 yang pada akhirnya harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah melalui APBN dengan menggunakan skema multi years contract (MYC), mengindikasikan bahwa usaha penyediaan infrastruktur gas belum cukup menarik bagi para pelaku usaha,” jelasnya.
Berdasarkan sejumlah poin yang telah disampaikan tersebut, menurut Komaidi, diketahui bahwa tinggi dan rendahnya harga gas dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Karena itu, kata dia, tidak hanya terkait dengan rencana perluasannya, tetapi implementasi kebijakan harga gas murah yang telah dilakukan sejak 2016 kiranya perlu ditinjau ulang.
“Definisi mengenai harga gas bumi murah tidak dapat hanya sekedar menggunakan acuan harga nominal yang ditetapkan US$ 6 USD/MMBTU di plant gate karena penetapan harga gas bumi pada dasarnya harus mempertimbangkan kepentingan industri hulu gas, usaha penyediaan infrastruktur gas, usaha niaga gas, dan kepentingan industri pengguna gas,” tegas Komaidi.
Sebelumnya di tempat terpisah, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan
menyatakan kenaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) menjadi maksimal US$ 7 per MMBU bagi tujuh industri penerima manfaat yakni pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, sarung tangan karet, dan oleokimia. Akan mengancam momentum pemulihan ekonomi yang sudah on track dan diperjuangkan cukup lama.
Yustinus menegaskan, kebijakan HGBT US$ 6 per MMBTU sangat penting bagi industri yang tengah berjuang untuk mengembalikan bisnis seperti sebelum pandemi. Terlebih, kebijakan harga gas US$ 6 per MMBTU baru akan berakhir tahun depan.
Pelaku usaha juga berharap adanya jaminan pasokan gas yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hal itu penting di tengah upaya industri untuk ekspansi dan memanfaatkan peluang pertumbuhan seoptimal mungkin di era endemi saat ini.
“Kami harus melakukan investasi tambahan untuk mengejar ketertinggalan, sehingga harga gas US$ 6 per MMBTU perlu dipertahankan agar kita bisa pulih secara penuh,” ungkap Yustinus yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP).
Dalam hitungan Yustinus, kenaikan HGBT akan berdampak luas bagi industri. Peningkatan HGBT bakal menaikkan biaya produksi 3-6%, dan menghantam daya saing produk industri.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, kenaikan HGBT di tengah melemahnya daya beli masyarakat, tentunya akan berdampak pada penjualan industri keramik dalam negeri.
\Perluasan Kebijakan Harga Gas Bumi Murah Dalam Rapat Terbatas (Ratas) yang dilaksanakan pada 31 Juli 2023, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk mengevaluasi biaya produksi gas bumi agar harga jual ke industri menjadi kompetitif, terutama dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asean. Perintah tersebut merupakan bagian dari rencana perluasan kebijakan harga gas bumi murah yang telah diimplementasikan sejak tahun 2016. Sebelumnya, Menteri ESDM telah mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91 Tahun 2023 yang berlaku mulai 19 Mei 2023, tentang HGBT yang naik dari US$ 6 per MMBTU menjadi maksimal US$ 7 per MMBTU. Aturan tersebut mengeliminir Kepmen Nomor 134 Tahun 2020 yang menetapkan HGBT sebesar US$ 6 per MMBTU.