Tempo, 14 September 2018
TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dengan kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) murah. Menurut Komaidi kebijakan BBM murah memang baik untuk menjaga daya beli masyarakat.
“Tetapi di sisi yang lain, kebijakan BBM murah akan menimbulkan beban fiskal karena berdasarkan UU Keuangan Negara selisih harga penetapan dan harga keekonomian harus dibayar oleh negara/pemerintah,” kata Komaidi dalam keterangan tertulis, Jumat 14 September 2018.
Komaidi melihat kondisi saat ini berbeda dengan kondisi pada semester II 2014 hingga akhir 2017, di mana harga minyak berada pada trend yang rendah dan nilai tukar rupiah relatif stabil. Kondisi saat itu, kata Komaidi, relevan jika pemerintah menerapkan kebijakan harga BBM murah.
Sementara saat ini, menurut Komaidi, realisasi perkembangan harga minyak dan nilai tukar rupiah tercatat terdeviasi cukup jauh dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
“Rata-rata harga minyak dunia pada Agustus 2018 tercatat sekitar US$ 72,44 per barel, sementara asumsi APBN 2018 ditetapkan US$ 48 USD/barel. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama Agustus 2018 tercatat sebesar Rp 14.560 per dolar AS, sementara asumsi APBN 2018 ditetapkan Rp 13.400/USD,” ujar Komaidi.
Menurut Komaidi dengan deviasi dua variabel utama dari harga minyak dan nilai tukar rupiah tersebut, sesungguhnya harga BBM subsidi, harga BBM khusus penugasan, dan harga BBM umum, sudah perlu disesuaikan.
Komaidi dengan menggunakan asumsi rata-rata harga minyak dan nilai tukar selama Agustus 2018, PPN (10 persen), PBBKB (5 persen), biaya kilang, biaya distribusi, margin badan usaha, dan margin SPBU (10 persen), kisaran harga keekonomian BBM berdasarkan jenis, yaitu:
– Harga BBM jenis Premium Rp 8.500 per liter versus harga penetapan Rp 6.450 per liter
– Harga BBM jenis Solar Rp 8.300 per liter versus harga penetapan Rp 5.150 per liter
– Harga BBM jenis Minyak Tanah Rp 11.300 vs harga penetapan Rp 2.500 per liter
“Berdasarkan volume solar dan minyak tanah subsidi yang ditetapkan dalam APBN 2019 dan konsumsi Premium 2019 diasumsikan sama dengan outlook 2018, pada 2019 mendatang terdapat tambahan beban fiskal sekitar Rp 45 triliun yang harus dialokasikan untuk menutup selisih harga BBM,” ujar Komaidi.
Komaidi mengatakan tidak hanya untuk BBM subsidi (solar dan minyak tanah) dan BBM khusus penugasan (premium), harga BBM umum (Pertalite, Pertamax dan jenis lain yang tidak subsidi) pada dasarnya juga perlu disesuaikan.
“Hal tersebut terkonfirmasi dari data harga BBM umum RON yang sama di pasar Indonesia pada periode Agustus-September 2018 tercatat lebih rendah dari harga yang diberlakukan di negara tetangga seperti Singapura, Philipina, Thailand, Vietnam, dan Laos,” kata Komaidi.
Komaidi menilai, jika pemerintah menahan harga BBM Subsidi dan BBM Khusus Penugasan untuk melindungi daya beli masyarakat, hal tersebut baik, tetapi terdapat konsekuensi fiskal dari kebijakan tersebut.