Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di Media2011Pengamat: Terapkan Harga Premium Fluktuatif

Pengamat: Terapkan Harga Premium Fluktuatif

Media Indonesia, 22 Maret 2011

JAKARTA–MICOM: Ketidakpastian program pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat pemerintah dinilai tidak kredibel. Pasalnya, ketidakpastian program yang berkali-kali mundur itu menimbulkan banyak sekali spekulasi baik bagi pelaku bisnis maupun masyarakat umum.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi Media Indonesia, Senin (21/3) malam.

“Semestinya sudah harus tegas, pembatasan tidak hanya ditunda tetapi dibatalkan. Sudah jelas tidak akan efektif kebijakan itu,” tandas Pri Agung.

Lebih lanjut, Pri Agung menilai penghematan subsidi BBM dapat diakomodasi melalui perubahan anggaran di dalam pembahasan APBN-P pada Mei atau Juni mendatang.

Untuk jangka panjang, ia mengusulkan penyesuaian harga BBM subsidi secara berkala. Dengan begitu, pemerintah dapat memastikan besaran subsidi konsisten dengan apa yang ditetapkan APBN. Dengan asumsi harga minyak (Indonesia Crude Price/ICP) US$80/barel dan nilai tukar rupiah 9.250 per dolar AS, serta premium Rp4.500.

Pri Agung mengatakan persentase harga subsidi premium terhadap harga keekonomian dapat ditentukan 65,59%. Persentase itulah yang dipertahankan, setidaknya selama tahun anggaran yang bersangkutan.

Dalam menanggapi itu, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Herawati Legowo mengatakan, usulan ReforMiner Institute akan menjadi masukan dan dirapatkan secara internal. Untuk sementara, pemerintah akan terus mempersiapkan infrastruktur dan sistem kendali pengaturan BBM bersubsidi. Namun, ia belum memastikan sampai kapan penundaan program tersebut. “Sampai terasa memungkinkan, keadaan stabil dan lebih baik. Kita belum tahu,” cetusnya.Seperti diketahui, pemerintah dan DPR sepakat menunda pembatasan BBM bersubsidi yang rencananya dilaksanakan pada 1 April 2011. Kesimpulan raker Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR yang membidangi energi, Senin (21/3) menilai tingginya inflasi pangan dan energi serta disparitas harga yang begitu tinggi antara premium bersubsidi dan pertamax menjadi alasan mundurnya program itu.

Media Indonesia, 22 Maret 2011 Jakarta – PEMERINTAH diminta mengkaji kontrak blok minyak yang bakal berakhir dalam waktu dekat sebagai salah satu strategi menggenjot produksi (lifting) minyak dalam negeri.

Pasalnya, blok-blok yang kebanyakan kontraknya dipegang kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asing tersebut selama ini tidak memberikan kontribusi optimal dalam memasok minyak ke pasar domestik.

Deputi Direktur ReforMiner Institute Komaidi mengatakan, pada prinsipnya negara mesti lebih mendorong korporasi dalam negeri untuk menggarap ladang-ladang minyak yang ada. Praktik tersebut, kata dia, sudah lazim dilakukan di negara lain sebagai cara meningkatkan lifting minyak nasional.

Secara khusus Komaidi menunjuk Pertamina sebagai pihak yang bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk melakukan tugas terse-but. “Sudah sepantasnya pemerintah mendorong Pertamina selaku BUMN migas menjadi tuan rumah di negeri sendiri.”

Ia menambahkan, berdasarkan data setelah akuisisi atau setelah masa kontrak berakhir, pada beberapa blok yang dikembalikan kepada pemerintah dan diserahkan kepada Pertamina terdapat kecenderungan produksinya meningkat. Di antaranya blok Onshore West Java (ONWJ), blok Sanga-Sanga di Tarakan, Kalimantan Timur, dan blok Limau, Sumatra Selatan.

“Sangat mungkin jika blok-blok itu diserahkan ke Pertamina, lifting minyak nasional akan naik,” ujar Komaidi, kemarin.

Sebelum ini, pemerintah dipusingkan dengan pencapaian lifting minyak yang masih jauh dari target APBN 2011 sebesar 970 ribu barel per hari (bph). Berdasarkan data BP Migas, realisasi lifting saat ini baru tercapai 906 ribu bph atau 6,5% di bawah asumsi APBN 2011.

Data itu juga memperlihat-kan kontraktor di sejumlah blok belum mencapai target produksi. Kodeco baru mencapai 16 ribu bph dari target 29 ribu bph, dan Chevron Pacific Indonesia kurang 10 ribu bph dari target 370 bph. ConocoPhillips Ind Ltd kurang 9.000 bph dari target 61 ribu bph, dan

CNOOC SES Ltd kurang 2.000 bph dari target 40 ribu bph.

West Madura

Untuk mengantisipasi rendahnya produksi, pemerintahmelalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana melakukan evaluasi lifting setiap dua hari sekali serta membidik beberapa blok untuk diupayakan menambah lifting minyak sebesar 31 ribu-36 ribu bph. Selain itu, menurut DirjenMinyak dan Gas Bumi ESDM Evita Herawati Legowo, pemerintah kini tengah mengkaji pengalihan kontrak blok migas West Madura yang akan berakhir Mei 2011. Meski belummemastikan apakah operator utama blok akan beralih dari perusahaan Kodeco ke Pertamina, pemerintah mengupayakan porsi saham BUMN migas itu bertambah.

“West Madura sebentar lagi rampung. Targetnya penyelesaian perpanjangan kontrak blok migas tersebut 31 Maret 2011,” ujar Evita.

Blok West Madura pertama kali ditandatangani pada 7, Mei 1981 dengan porsi kepemilikan saham Pertamina 50%, Kodeco 25,, dan CNOOC 25%. Produksi minyak di blok itu mencapai 19 ribu bph.

Direktur Utama Pertamina Karen Agusnawan menyatakan Pertamina telah mengajukan diri menjadi pemegang saham mayoritas blok tersebut. Bahkan, Pertamina meminta pemerintah mengeluarkan mandat pengalihan operator sampai ada kepastian perpanjangan kontrak blok West Madura.

“Kami optimistis perseroan mampu mempertahankan laju produksi blok West Madura hingga 19 ribu barel per hari dari realisasi saat ini yang hanya 13 ribu bph,” tutur Karen, beberapa waktu lalu.

VIVAnews, 21 Maret 2011 ReforMiner Institute meniliai kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diwacanakan pemerintah selama ini cukup rasional. Namun, potensi distorsi kebijakan itu cukup tinggi, sehingga tidak implementatif dan tidak efektif dalam menyelesaikan masalah saat ini maupun di masa akan datang.

Kebijakan kenaikan harga BBM yang hanya dilakukan pada saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terancam jebol –seperti yang dilakukan pemerintah– selama ini cukup rasional, implementatif, dan efektif untuk mengatasi permasalahan untuk jangka pendek. Tetapi, kebijakan itu tidak cocok untuk jangka panjang karena bersifat ad hoc.

“Terbukti, setiap kali terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia –seperti saat ini– APBN kembali tertekan penambahan defisit karena membengkaknya subsidi BBM dan subsidi energi lainnya (LPG dan listrik),” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews.com di Jakarta. “Berangkat dari hal itu, ReforMiner Institute mengusulkan untuk diterapkannya kebijakan harga BBM subsidi yang berfluktuasi,” ujar dia.

Menurut Pri Agung, secara prinsip kebijakan itu pada dasarnya adalah mengunci persentase harga BBM subsidi atau premium terhadap harga keekonomiannya pada tingkat tertentu dan membiarkannya mengikuti pergerakan harga minyak mentah yang ada. Jadi, pada saat harga minyak mentah naik, harga BBM yang diberlakukan juga akan naik. Sebaliknya, pada saat harga minyak mentah turun, harga BBM juga akan turun.

Walaupun berfluktuasi, harga BBM tersebut merupakan harga yang disubsidi pemerintah dengan besaran tertentu yang dijaga konstan sepanjang tahun anggaran berjalan. Hal itu merupakan cerminan komitmen dari negara untuk memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi harga. “Fluktuasi atau penyesuaian harga BBM yang berlaku dapat dilakukan sekali atau dua kali dalam satu bulan,” ujarnya.

Dalam pandangan Pri Agung, ada tiga hal penting yang menjadi tujuan utama dari diterapkannya kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi ini. Pertama, APBN dapat terbebas dari permasalahan klasik subsidi BBM yang diakibatkan oleh gejolak atau tingginya harga minyak. Kedua, Indonesia sebagai negara produsen minyak dapat mulai menikmati keuntungan ketika harga minyak meningkat atau tinggi.Ketiga, agar perekonomian negara ini secara keseluruhan (pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat luas) terbiasa dengan harga BBM yang bergerak naik turun, sehingga lebih adaptif terhadap dinamika perekonomian yang terjadi sepanjang waktu.

Berdasarkan kajian ReforMiner Instititute, untuk APBN 2011, besaran persentase tertentu harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya adalah 65,59 persen untuk premium, 64,31 persen solar, dan 36,41 persen bagi minyak tanah. Artinya, dengan harga premium Rp4.500 per liter, solar Rp4.500 per liter, dan minyak tanah Rp2.500 per liter saat ini, negara mensubsidi masing-masing sebesar 34,41 persen, 35,69 persen, dan 63,59 persen.

“Persentase harga BBM subsidi dan harga keekonomiannya sebesar 65,59 persen (premium), 64,31 persen (solar), dan 36,41 persen (minyak tanah) inilah yang akan dijaga konstan sepanjang tahun anggaran 2011. Ini berjalan jika kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi ini diterapkan,” kata Pri Agung.

Dengan mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) saat ini US$100 per barel, sedangkan asumsi-asumsi makro APBN lainnya masih dianggap tetap terpenuhi, kajian ReforMiner Institute menghitung bahwa persentase harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya saat ini hanya mencapai 53,57 persen untuk premium, 52,50 persen solar, dan 29,70 persen bagi minyak tanah. Kondisi ini jika dipertahankan, Pri Agung melanjutkan, akan memberikan dampak negatif terhadap APBN jika harga minyak mentah dunia terus meningkat. Untuk itu, sebagai langkah awal di dalam mengimplementasikan kebijakan BBM subsidi berfluktuasi ini diperlukan penyesuaian harga BBM terlebih dahulu. Penyesuaian ini diperlukan untuk membuat agar APBN tetap dapat bersifat positif netral terhadap pergerakan harga minyak mentah dunia.

Kajian ReforMiner Institute menghitung, penyesuaian harga BBM yang diperlukan pada titik harga ICP US$100 per barel masing-masing adalah menjadi Rp5.510 per liter untuk premium, Rp5.512 per liter solar, dan Rp3.065 per liter bagi minyak tanah. “Ini akan menjadi titik awal untuk kemudian kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi dapat diterapkan,” ujarnya.

ReforMiner Institute pada prinsipnya berharap agar dampak pergerakan harga minyak mentah bersifat netral pada APBN. Dengan membuat dampaknya menjadi netral, menurut Pri Agung, dalam kebijakan ini dapat disebutkan negara tidak mengambil untung dari penurunan harga minyak. Tetapi, negara konsisten memberikan subsidi BBM kepada masyarakat dengan menurunkan harganya.

Pola kebijakan yang sama dapat diterapkan pada tahun-tahun anggaran berikutnya dengan mengunci terlebih dahulu besaran persentase alokasi anggaran subsidi BBM terhadap belanja negara total. Dengan parameter volume BBM subsidi yang akan selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan mengunci persentase alokasi anggaran subsidi BBM pada angka tertentu, maka persentase harga BBM subsidi terhadap harga keekonomiannya dengan sendirinya akan menyesuaikan.

“Dengan menerapkan kebijakan harga BBM subsidi berfluktuasi ini, APBN dan perekonomian nasional secara keseluruhan diharapkan dapat terbebas dari ancaman gejolak harga minyak dan ke depannya dapat menjadi lebih sehat,” ujarnya. (art)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments