PRI AGUNG RAKHMANTO
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
Pendiri ReforMiner Institute
Opini – Kompas, Rabu, 25 Juli 2012
Berdasarkan data pemerintah, diketahui dari 72 Wilayah Kerja eksplorasi dan eksploitasi migas yang ada, sampai 2012terdapat 29 Wilayah Kerja yang akan habis masa kontraknya. Pada 2012 saja terdapat 8 wilayah kerja migas yang akan berakhir masa kontraknya. Pada 2018 dan 2020, masing-masing terdapat 8 dan 7 wilayah kerja yang akan berakhir masa kontraknya.
Publik umumnya menuntut agar hak pengelolaan blok migas tersebut nantinya diserahkan kepada pihak nasional. Dalam hal ini khususnya kepada Pertamina, sebagai representasi perusahaan migas negara, dengan melibatkan BUMD sebagai representasi daerah. Namun, pertimbangan pemerintah seringkali tidak selalu sejalan dengan logika dan keinginan publik.
Pemerintah sejauh ini telah menetapkan tiga kriteria sebagai dasar pertimbangan dalam perpanjangan atau pengakhiran kontrak. Pertama, blok migas dengan potensi cadangan (reserves) besar dan kinerja operator (Kontraktor Kontrak Kerja Sama, KKKS) sebelumnya bagus, dapat diusulkan perpanjangan kontrak dengan melibatkan Pertamina dan BUMD sebagai pemegang sebagian participating interes
Kedua, blok migas dengan cadangan menengah dan kinerja KKKS sebelumnya rendah, diusulkan diberikan kepada Pertamina dengan melibatkan BUMD dan KKKS sebelumnya sebagai pemegang sebagian participating interest
Ketiga, blok migas dengan cadangan kecil dan kinerja KKKS sebelumnya rendah, diusulkan untuk dilakukan tender terbuka.
Pertimbangan teknis
Ketiga kriteria di atas dapat dipahami dari sudut pandang teknis, yaitu dalam konteks untuk mempertahankan tingkat produksi dari blok yang ada dan untuk menjaga hubungan yang baik dengan KKKS sebelumnya. Sekaligus juga untuk memberikan sinyal kepada KKKS lainnya yang masih menjalankan kontrak di blok migas lain: bahwa pemerintah bersahabat dengan mereka.
Dengan kata lain, ada kekhawatiran dari pemerintah bahwa jika blok migas yang memiliki cadangan besar, diserahkan kepada pihak nasional produksinya akan menurun. Juga ada kekhawatiran bahwa jika hal itu dilakukan, maka KKKS lainnya, terutama KKKS besar, kemudian akan mengalihkan investasinya ke portofolio atau negara lain.
Kekhawatiran ini logis karena fokus pemerintah selama ini memang (hanya) pada pencapaian produksi. Dan, menjadi semakin logis karena di sektor hulu migas pemerintah sejak dulu memang tidak mengambil posisi untuk bersedia menanamkan investasi serta melakukan eksplorasi dan produksi migas sendiri.
Dengan kekhawatiran semacam itu, keberpihakan pemerintah dalam mendorong perusahaan migas milik negara sendiri terlihat menjadi setengah hati. Dari kriteria di atas, terlihat bahwa Pertamina hanya akan mendapatkan hak pengelolaan untuk blok-blok migas dengan skala cadangan kelas menengah. Itu pun dengan syarat: kinerja KKKS sebelumnya di blok tersebut rendah.
Dengan kondisi seperti ini Pertamina akan semakin sulit menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Dari sudut pandang keberpihakan dan pemberdayaan perusahaan migas negara dan penguatan elemen ketahanan energi nasional, kriteria di atas tidak sejalan.
Kriteria di atas pada dasarnya juga kontraproduktif dengan upaya menarik investasi eksplorasi baru untuk menemukan cadangan-cadangan migas baru dalam skala besar yang sangat diperlukan bagi keberlanjutan produksi dan pasokan migas nasional ke depan. Jika blok migas dengan cadangan kecil hanya ditawarkan dengan tender terbuka, secara logika akan sulit mendapatkan peminat dan sampai kapanpun cadangan di blok tersebut akan kecil.
Strategis
Mestinya, di blok migas dengan cadangan kecil itulah pemerintah dapat memainkan salah satu strateginya dalam kaitan dengan perpanjangan atau pengakhiran kontrak. Intensifikasi eksplorasi lanjut pada blok migas dengan cadangan kecil dan ekstensifikasi eksplorasi awal pada daerah frontier seperti halnya di wilayah Indonesia Timur ataupun di laut dalam, mestinya menjadi bagian dari posisi tawar dan komitmen yang diminta pemerintah kepada KKKS besar di dalam kaitan dengan perpanjangan atau pengakhiran kontrak.
Dengan kata lain, kontrak tak bisa diperpanjang sekadar hanya dengan kriteria kinerja KKKS sebelumnya yang dinilai tinggi. KKKS besar dengan kinerja tinggi justru harus dipaksa agar bersedia melakukan investasi skala besar untuk mampu meningkatkan produksi dan menambah cadangan nasional secara signifikan dan berkelanjutan secara paralel.Sebab, mereka memiliki keunggulan modal, teknologi dan pengalaman.
Berakhirnya masa kontrak mestinya juga harus bisa dijadikan alat tawar bagi pemerintah untuk memberikan jalan bagi ekspansi Pertamina di luar negeri. Jadi, bisa saja kontrak diperpanjang dan Pertamina tidak mendapatkan hak pengelolaan di dalam negeri. Namun, Pertamina harus mendapatkan gantinya atau setidaknya participating interesttertentu di luar negeri, di wilayah yang potensial tetapi dengan resiko rendah dimana KKKS tersebut juga memiliki operasi, misalkan di Timur Tengah atau Afrika.
Dengan demikian, aset nasional baik di dalam maupun di luar negeri dalam wujud produksi dan cadangan secara keseluruhan akan bertambah. Migas adalah sumber energi strategis dan berakhirnya masa kontrak blok migas juga adalah hal strategis. Untuk itu, pemerintah juga harus berpikir dan bertindak strategis: jangan sekadar teknis!